Jakarta – Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan harus menjadi perhatian dan konsen bersama bagi semua pihak. Pasalnya pendidikan adalah salah satu faktor penting untuk membangun peradaban Indonesia.
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Muhammad Abdullah Darraz, MA., M.Ud. mengatakan bahwa maju tidaknya suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Apakah proses pendidikan itu menghasilkan manusia-manusia yang beradab atau bahkan sebaliknya.
“Semua stakeholder pendidikan, baik itu pemegang kebijakan (baik pemerintah pusat maupun daerah), praktisi pendidikan, maupun masyarakat luas harus memberikan perhatian terhadap kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan seperti intoleransi, kekerasan, dan juga perundungan (bullying),” ujar Muhammad Abdullah Darraz, MA., M.Ud., di Jakarta, Kamis (2/5/2024).
Darraz mengungkapkan bahwa kasus kekerasan dan lainnya yang selama ini terjadi tidak hanya pada sekolah-sekolah umum semata, namun juga terjadi pada institusi pendidikan berbasis keagamaan seperti pondok pesantren.
“Ini harus menjadi perhatian bersama, karena kasus-kasus kekerasan di pesantren telah mencoreng nama baik pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia,” tutur Kader Muda Muhamamadiyah ini.
Lebih lanjut, dirinya menyampaikan bahwa selain kasus kekerasan, kasus-kasus intoleransi di institusi pendidikan juga banyak disebabkan oleh ulah oknum yang terlibat di dalamnya. Menurutnya hal ini karena kurangnya penguatan nilai-nilai toleransi, terutama di sekolah-sekolah yang kutur sosialnya homogen.
Ia mengungkapkan hal semacam ini telah menjadi perhatian utama pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaah. Melalui Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar), Kemendikbud membuat program inisiasi untuk mengarusutamakan nilai-nilai toleransi dan perdamaian dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) di beberapa sekolah di daerah.
Selain itu, Darraz juga menerangkan bahwa pada prinsipnya tidak terjadi disparitas antara sekolah negeri maupun swasta dalam menekankan prinsip toleransi dan moderasi beragama. Meskipun di beberapa kasus, pemerintah kecolongan karena sekolah-sekolah tersebut dijadikan sasaran radikalisasi oleh kelompok radikal.
“Sekolah-sekolah negeri pada beberapa tahun yang lalu, sering dijadikan lahan penyemaian ideologi radikal, karena dianggap sebagai “lahan tak bertuan” bagi kelompok-kelompok radikal,” ucap mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.
Oleh karena itu Darraz berharap wali murid bisa terlibat aktif dalam pengawasan terhadap kehidupan dan interaksi warga sekolah (terutama siswa) di sekolah. Jangan sampai wali murid menyerahkan begitu saja kualitas dan proses pendidikan putera-puterinya kepada pihak sekolah tanpa memberikan perhatian yang memadai.
“Pengawsan terhadap penggunaan gawai/gadget juga harus dilakukan oleh Wali Murid, sehingga anasir negatif yang seringkali diakses oleh peserta didik dapat diminimalisir,” terangnya.
Dirinya berharap agar proses pendidikan semakin menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang berkemajuan, beradab, dan berperikemanusiaan. Dimana peserta didik dapat menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks dan tidak mudah.
“Oleh karena itu proses pendidikan kita harus dapat memberikan bekal bagi peserta didik bukan hanya dengan kekuatan intelektual, namun juga harus dibarengi oleh kekuatan mental dan spiritual, sehingga peserta didik kita menjadi manusia yang utuh yang memiliki moralitas dan jiwa yang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia ini,” ujarnya mengakhiri.