KPAI Dorong Sekolah Perkuat Deteksi Dini dan Literasi Digital untuk Cegah Ekstremisme Anak

KPAI Dorong Sekolah Perkuat Deteksi Dini dan Literasi Digital untuk Cegah Ekstremisme Anak

Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerukan langkah nyata untuk menahan laju penyebaran paham ekstrem di kalangan anak dan remaja. Seruan ini muncul pasca insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta yang diduga dilakukan oleh seorang siswa, dan menimbulkan keprihatinan luas terhadap keamanan lingkungan pendidikan.

Komisioner KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, dan Budaya, Aris Adi Leksono, menilai peristiwa itu menjadi alarm bagi dunia pendidikan untuk memperkuat budaya sekolah yang ramah anak sekaligus menutup celah penyebaran paham kekerasan.

“Insiden ini menunjukkan betapa pentingnya membangun ekosistem pendidikan yang aman, empatik, dan mampu membaca perubahan perilaku siswa sejak dini,” ujar Aris di Jakarta, Selasa (11/11).

Menurut hasil pemantauan awal, pelaku diketahui mengalami perubahan perilaku dalam beberapa bulan terakhir—lebih tertutup dan intens mengakses konten bermuatan radikal di dunia maya. KPAI menilai, kombinasi antara tekanan emosional pribadi dan pengaruh narasi ekstrem di ruang digital menjadi pemicu utama tindakannya.

“Media sosial kini menjadi ruang paling rawan bagi anak, karena algoritma dapat memperkuat bias dan intoleransi tanpa disadari. Tanpa literasi digital yang kuat, anak mudah terjebak dalam konten ekstrem yang dikemas seolah-olah bernilai moral,” jelas Aris.

Ia menyoroti pula munculnya fenomena digital grooming ideologis, di mana anak-anak dibujuk perlahan melalui interaksi daring yang tampak ramah, namun bermuatan ajakan ekstrem. Untuk mengatasinya, KPAI mendorong penguatan sistem peringatan dini (Early Warning System) di sekolah, guna mendeteksi perilaku menyimpang seperti isolasi sosial, ujaran kebencian, atau ketertarikan terhadap kekerasan.

Selain itu, KPAI menekankan perlunya kolaborasi antara sekolah, guru bimbingan konseling, psikolog, dan orang tua agar komunikasi dengan siswa berjalan terbuka dan empatik. Pendidikan literasi digital juga disarankan menjadi agenda bersama antara KPAI, Kemenkominfo, KemenPPPA, dan Dinas Pendidikan, agar anak-anak mampu mengenali dan menolak konten berbahaya.

KPAI turut mendorong penyusunan regulasi dan prosedur standar yang memastikan penanganan kasus kekerasan dilakukan cepat, aman, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.

“Baik pelaku maupun korban sama-sama membutuhkan perlindungan dan pendampingan psikososial agar bisa pulih dan kembali ke jalur yang positif,” tegas Aris.

Ia menambahkan, ekstremisme dan kekerasan di sekolah bukan sekadar persoalan individu, tetapi cerminan dari ekosistem pendidikan yang perlu diperkuat melalui kerja bersama antara keluarga, sekolah, komunitas, dan ruang digital. KPAI saat ini telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pihak sekolah, dan aparat kepolisian untuk memastikan penanganan kasus SMAN 72 dilakukan dengan pendekatan perlindungan anak.