Konflik SARA dan Hoax, Fokus Utama Calon Panglima TNI

Jakarta – Calon Panglima TNI yang akan menggantikan posisi Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Marsekal Hadi Tjahjanto, masih menjadikan konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dan hoax masih menjadi fokus utamanya. Dia mengingatkan, karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan akan menimbulkan potensi separatisme dan konflik komunal.

Hal itu dikatakan Marsekal Hadi Tjahjanto saat menjalani ‘fit and proper test’ atau uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di Ruang Rapat Komisi I DPR di Jakarta, Rabu (6/12/2017). Hadi Tjahjanto menjadi satu-satunya calon Panglima TNI yang diajukan Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Gatot Nurmantyo yang akan memasuki masa pensiun pada Maret 2018.

Dikatakan, konflik komunal berbasis SARA akan selalu ada dan harus terus diwaspadai. Di era reformasi, demokrasi politik sering mengarah kepada liberalisasi yang berpotensi menjadi liberal dilema. Jika kondisi itu tidak dikelola secara bijaksana, bukan tidak mungkin konflik komunal akan meningkat menjadi konflik vertikal yang berbentuk rongrongan terhadap legitimasi pemerintahan yang sah atau pemberontakan.

“Sesuai doktrin TNI saat ini, maka tugas TNI yang masih sangat relevan adalah TNI sebagai kekuatan penyerang, TNI sebagai kekuatan pertahanan, TNI sebagai kekuatan pendukung, dan TNI sebagai instrumen kekuatan negara yang dapat digunakan untuk kepentingan apapun yang menjadi keputusan politik negara,” kata Hadi Tjahjanto.

Dijelaskan, dalam atmosfer globalisasi yang kompleks, kemajuan teknologi, arus imigrasi manusia, sebaran informasi dan media serta pertumbuhan jaringan yang bersifat multinasional, semuanya menjadi sangat tidak mungkin untuk dikendalikan. Kondisi tersebut mengakibatkan ancaman-ancaman dapat muncul di mana saja dan kapan saja.

“Salah satu dampak yang dapat dirasakan secara nyata adalah berkembangnya paham radikalis di tataran lingkungan strategis nasional. Semua itu memiliki benang merah dengan radikalisme kelompok teror Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan paham radikal lainnya yang berasal Timur Tengah,” jelasnya.

Dia mengatakan, hal lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah sebaran media sosial. Sebaran itu mampu membuat instabilitas dan keresahan masyarakat. Bahkan mobilisasi massa atau konflik sering terjadi padahal mayoritas infonya berasal dari sumber sumber yang kurang jelas atau ‘hoax’.

Di sisi lain, Hadi Tjahjanto menjelaskan, berbagai ancaman tersebut tidak menggantikan ancaman inheren yang dimiliki bangsa dan negara Indonesia. Semua itu adalah sebagai konsekuensi geopolitik yang berupa kepulauan besar dan terletak di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia dan dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.