Bom molotov yang dilemparkan oleh Juhanda pada 13 November 2016 lalu, tepat pada pukul 10.10 WITA di gereja Oikumene kelurahan Sengkotek, kota Samarinda Kalimantan Timur – yang akhirnya menewaskan seorang balita usia 3 tahun bernama Intan— selain menyisakan duka yang dalam bagi keluarga korban, peristiwa tersebut juga menyisakan seribu satu pertanyaan yang mengemuka, baik di media maupun dalam masyarakat yang ditujukan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Head line yang muncul pada program TV swasta umunya mengangkat topik besar “Deradikalisasi Gagal?”. Topik perbincangan tersebut mengandung banyak makna, di antaranya; Pertama bahwa program deradikakisasi yang dijalankan BNPT belum berhasil karena masih terjadi aksi anarkisme yang dilakukan oleh mantan narapidana teroris yaitu Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia (32 tahun), selain juga aksi Sultan Aziansyah di Cikokol, aksi Ivan di Medan, dan aksi Nurrahman di Surakarta.
Namun perlu dipahami secara lebih komprehensif bahwa deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini oleh Direkturat Deradikalisasi BNPT, memang ditujukan kepada mantan napi teroris di luar lapas dan napi teroris di dalam lapas, tetapi di lapangan, tidak semua mantan teroris atau mantan napi teroris mengikuti program deradikalisasi BNPT. Mereka yang telah melakukan aksi anarkis tidak termasuk peserta yang bergabung dalam program deradikalisasi. Tidak ada warga binaan atas kasus aksi teror yang ikut program deradikalisasi.
Makna Kedua adalah merupakan perhatian dari seluruh kalangan agar pemerintah lebih serius lagi menjalankan program deradikalisasi dan lebih banyak melibatkan kementerian dan lembaga dalam mengikutkan mantan napi teroris di luar lapas dan napi teroris di dalam lapas, karena keberadaan aksi kejahatan luar biasa ini telah muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia, akan tetapi lembaga pemerintah yang menangani dan menanggulangi tindak pidana terorisme baru enam tahun terakhir hadir di tengah masyarakat dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki, tentu membutuhkan banyak hal dalam mewujudkan harapan masyarakat itu.
Makna Ketiga adalah sebagai topik yang menarik bagi khalayak yang sengaja diangkat oleh media agar masyarakat memberikan perhatian dan atensi dalam mewaspadai menyebarnya paham radikal dan aksi teroris yang selalu mengatasnamakan agama. Konsekwensinya, banyak pengamat dan pemerhati yang akhirnya angkat suara menyarankan ide dan gagasan untuk menanggulangi agar aksi para residivis dapat diantisipasi, terutama saat-saat pelaksanaan ibadah pada semua rumah ibadah atau di tengah keramaian.
Kondisi Deradikalisasi
Perogram deradikalisasi yang sedang digalakkan BNPT baik di dalam lapas maupun di luar lapas mencapai kemajuan dan meraih banyak kesuksesan serta lesson learned. Ini terbukti dengan banyaknya pengakuan masyarakat internasional yang datang ke Indonesia ingin belajar tentang program deradikalisasi yang dijalankan BNPT. Sejak BNPT dibentuk, program deradikalisasi perlahan tapi pasti telah diikuti dan disambut gembira oleh banyak mantan teroris, mantan napi teroris, keluarga, jaringan dan yang terindikasi radikal anarkis. Meski demikian, kondisi obyektif program deradikalisasi dari tahun ke tahun juga semakin terasa kendala dan tantangan yang dirasakan dan dihadapi setiap tim deradikalisasi melaksanakan program yang telah direncanakan sesuai standar pelaksanaan program yang ada dalam setiap kementerian dan lembaga.
Tantangan paling berat yang dihadapi oleh tim deradikalisasi, baik dalam lapas maupun d luar lapas adalah tingginya harapan para warga binaan dalam mewujudkan secara langsung seluruh permintaan dan tuntutan mereka dari negara. Bagi mereka yang menaruh harapan besar pada negara akan terlaksananya program deradikalisasi secara optimal adalah mereka yang telah memahami, merasakan kelebihan dan keuntungan yang diperoleh dari program deradikalisasi, namun ada saja yang masih malu-malu kucing untuk menerima program deradikalisasi karena gengssi menggunakan bantuan yang disiapkan oleh pemerintah, yang bagi mereka adalah “thogut”.
Di sisi lain, ada pula warga binaan yang telah menyadari segala kekhilafan dan segala kesalahan yang telah mereka lakukan pada masa lalu, namun mereka juga menolak untuk mengikuti program deradikalisasi hanya karena didominasi informasi yang tidak valid dan tidak bertanggung jawab yang menyatakan bahwa dana deradikalisasi adalah bantuan dari pihak asing yang mereka jadikan sasaran kebencian sebelumnya.
Tantangan lain yang menjadi kondisi obyektif deradikalisasi adalah tidak sedikit tokoh dan pakar yang memandang bahwa program deradikalisasi merupakan proyek yang menghabiskan anggaran negara karena tidak menyentuh akar masalah. Asumsi ini menjadi masukan berharga bagi pelaksana deradikalisasi uutuk lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi.
Semoga saja bukan karena tidak terlibat dalam menjalankan program deradikalisasi lantas secara lantang “ngomel” melalui media menyatakan bahwa deradikalisasi gagal, deradikalisasi tidak jalan, deradikalisasi menghamburkan anggaran negara, dst. Pada kenyataannya deradikalisasi sukses, deradikalisasi berjalan lancar dan deradikalisasi disambut baik oleh para binaan. Kondisi deradikalisasi yang sebenarnya dapat kami utarakan sebab kami yang merencanakan, melaksanakan, menjalankan dan mengevaluasi program deradikalisasi.
Bukti suksesnya program deradikalisasi di antaranya adalah banyak lembaga merencanakan membentuk program deradikalisasi dan berhasrat terjung langsung melaksanakan program deradikalisasi, di antaranya adalah; Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, bahkan banyak komunitas kampus dan akademisi membentuk pusat deradikalisasi di perguruan tinggi masing-masing.
Hanyalah kelompok radikal teroris dan jaringan radikal yang secara total dan keseluruhan menegaskan bahwa program deradikalisasi gagal, deradikalisasi pendangkalan akidah atau deradikalisasi adalah de-Islamisasi. Tentu bagi masyarakat yang moderat, inklusif, tawasut dan tasamuh tidak harus terlibat dalam pemikiran radikal teroris, dan tidak harus terbawa arus untuk menyimpulkan program deradikaalisasi gagal, sebab ini akan menjadi keberhasilan tersendiri bagi jaringan radikal jika sudah berhasil memprovokasi kelompok moderat mencap program deradikalisasi tudak berhasil.
Deradikalisasi Kondisi
Menarik untuk memperhatikan gelombang atensi yang muncul di masyarakat, terutama yang ada di media cetak, elektronik dan media sosial. Fenomena yang menyita banyak perhatian kita adalah setiap ada aksi ledakan bom, bom bunuh diri atau serangan teroris kepada aparat keamanan, atau pelemparan bom molotov terutama yang menjadi sasaran adalah rumah ibadah seperti yang terjadi di Samarinda Kalimantan Timur. Secara tiba-tiba mencuat topik perbincangan dengan topik yang berulang di seputar “deradikalisasi gagal ?” pemilihan topik yang sedikit provokatif sarat dengan berbagai makna dan interpretasi, tergantung siapa yang membaca dan menafsirkannya.
Tafsiran yang mengarahkan pada makna gagalnya deradikalisasi dengan pengaitan pada peristiwa ledakan bom atau pelemparan bom molotov di atas merupakan bentuk penafsiran yang tidak disertai dengan pemahaman yang baik terkait program deradikalisasi secara holistik, substantif dan institusional kelembagaan. Berangkat dari istilah deradikalisasi yang belum banyak dikenal masyarakat, mulai dari cara penyebutannya yang masih belum langsung lancar bila pertama kali membaca, maknanya, hingga substansi yang dilaksanakan dan ditujukan kepada masyarakat yang telah terpapar dengan radikal anarkisme.
Deradikakisasi kondisi yang dimaksudkan dalam uraian ini bukan hanya yang terpapar paham radikal dideradikalisasi, tetapi kondisi objektif masyarakat tidak menjadikan kondisi yang terjadi pada waktu yang tidak diduga melahirkan sutuasi yang tidak kondusif, suasana yang tidak nyaman, keadaan yang mencekam.
Deradikalisasi sarat dengan makna pembentukan suasana yang selalu sejuk, damai, tenteram, kondisi yang menyibukkan semua lapisan masyarakat selalu berada dalam suasana batin yang tenang. Cipta kondisi yang menyejukkan juga merupakan bagian dari dari upaya menderadikalisasi kondisi yang mengombang-ambing masyarakat. Sebab membiarkan kondisi masyarakat mencekam, menegangkan, mencemaskan berakibat pada struktur kehidupan dalam masyarakat berada dalam suasana yang tidak menentu, labil dapat mempengaruhi keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.
Kondisi yang tenang dapat diwujudkan dalam masyarakat oleh setiap pribadi dan individu yang tergabung komunitas masing-masing, jangan mudah terprovokasi dengan kondisi yang seolah menghasut ketenangan bangsa Indonesia yang rukun dalam beragama, toleran dalam perbedaan dan satu dalam kebhinnekaan. Pihak yang tidak senang dengan kebersamaan di tengah keragaman senantiasa menanti saat yang keruh untuk menghasut antar dan intra umat beragama.
Kondisi global yang harus dideradikalisasi serangan pasukan koalisi membuat semakin terdesaknya pasukan ISIS di Mosul yang berimplikasi pada Kemungkinan munculnya gerakan dan aksi anarkis pada seluruh wilayah di atas jagat pendukung ISIS berada. Menguatnya Islam phobia pasca pemilu Presiden di Amerika Serikat yang dimenangkan oleh partai Demokrat yang mengusung Donald Trump yang sangat getol menyuarakan isu Islam phobia. Arus balik dari kedua kondisi tersebut dapat menciptakan radikalisme baru yang dapat dilakoni oleh simpatisan, pendukung, kelompok militan dan kelompok inti radikal anarkis, tanpa mengatasnamakan jaringan dan kelompok, sebab bukan lagi jaringan lama dan jaringan baru yang penting, tetapi jaringan internet telah membesarkan hegemoni radikalisme dengan aksinya yang tidak manusiawi.
Kondisi yang menyejukkan tentu menjadi harapan dan impian seluruh masyarakat dunia terutama kita yang berada dalam naungan NKRI, wilayah yang sangat dikagumi dan disegani oleh dunia dan belahan benua lainnya yang menyatu secara geografis tetapi berserakan secara ideologis, sebaliknya negara Indonesia yang bertaburan pulau secara geografis namun tetap utuh, satu dan tangguh secara ideologis.
On board Garuda GA 431 Lombok-Jakarta, Selasa 15 November 2016.