Jakarta – Komitmen Taliban untuk memberantas terorisme di Afghanistan mulai diragukan. Saat merebut kekuasaaan tahun lalu, Taliban banyak mengumbar janji antara lain akan memberantas terorisme dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya kaum perempuan.
Tapi kini, janji-janji itu sepertinya hanya isapan jempol belaka. Pemberlakukan syariat Islam ketat membuat kaum perempuan kembali ke terkekang. Pun di konteks terorisme, janji Taliban itu tak terpenuh dengan semakin banyaknya teror dan kelompok teroris yang berada Afghanistan.
Kekhawatiran pun muncul justru dari pendukung Taliban yiatu Rusia, China, dan Iran. Ketiga negara yang selama ini selalu berseteru dengan Amerika Serikat (AS), mulai gusar. Mereka meminta rezim de facto Taliban untuk memenuhi janjinya terkait pemberantasan terorisme.
Kelompok teroris yang diduga berbasis di Afghanistan telah merencanakan dan melakukan serangan terhadap Pakistan, Tajikistan, dan Uzbekistan, menurut pejabat AS. Lebih dari 20 kelompok bersenjata mengklaim hadir di negara yang terkurung oleh daratan itu.
Yang menjadi perhatian khusus adalah kehadiran aktif Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) di Afghanistan, sebuah kelompok pemberontak yang mengklaim beberapa serangan teroris yang terjadi di Pakistan dalam beberapa bulan terakhir.
Pekan lalu, para diplomat senior dari Rusia, China, Iran, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan berkumpul di Tashkent untuk membahas situasi di Afghanistan.
“Para peserta, menunjukkan bahwa semua kelompok teroris yang berbasis di Afghanistan terus menjadi ancaman serius bagi keamanan regional dan global. Mereka mendesak otoritas de facto Afghanistan saat ini agar mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk melenyapkan kelompok-kelompok teroris di negara itu,” bunyi sebuah pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Uzbekistan dikutip dari voa.
Ketika merundingkan penarikan militer AS dari Afghanistan pada 2019-2020, Taliban berkomitmen untuk mengambil tindakan cepat, di wilayah yang berada di bawah kendali mereka, terhadap kelompok-kelompok dan individu-individu yang mengancam keamanan negara mana pun. Taliban, ketika itu sebagai kelompok pemberontak, tidak memiliki kendali atas provinsi atau kota di Afghanistan.
Para ahli mengatakan, di saat menjalankan pemerintahan di negara dengan perbatasan yang rapuh dengan enam negara tetangga, dan tidak memiliki tentara yang mapan serta berada di bawah sanksi internasional, Taliban tampaknya tidak dapat memenuhi harapan regional maupun AS terkait janji kontraterorismenya.
“Taliban memang berjanji untuk menghentikan para militan untuk menggunakan wilayah Afghanistan untuk menebara ancaman ke negara manapun, dan saat ini dengan jelas mereka tidak memenuhi janjinya tersebut: semua orang dapat melihatnya bahwa anggota TTP kini berlindung di Afghanistan dan terus menyerang Pakistan,” ujar Graeme Smith, ahli dari International Crisis Group (ICG).