Jakarta – Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme menuai pro dan kontra.
Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta memahami adanya rasa khawatir dengan pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme. Namun, dia mengingatkan semuanya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme.
“Masyarakat tidak perlu kuatir terhadap pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Bagaimanapun juga, nyata di Indonesia bahwa terorisme sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa dan negara,” ucap Wayan, Senin, (18/5).
Menurut dia, dengan mengacu UU Nomor 5 Tahun 2018, memberikan waktu untuk melahirkan peraturan pelaksanaan. “Dan upaya menyiapkan Rancangan Perpres merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk mengantisipasi penanggulangan terorisme,” jelas Wayan.
Dia juga melihat rasa khawatir tumpang tindih kewenangan TNI dengan kepolisian dan BNPT dalam pemberantasan terorisme. Tentu sebenarnya itu sudah diatur di Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 7 Ayat 2 huruf b angka 3.
“Dalam angka 3 ketentuan tentang OMSP (Operasi Militer Selain Perang) disebutkan bahwa tugas pokok selain perang bagi TNI adalah mengatasi aksi terorisme. Agar tidak menimbulkan kekuatiran dan polemik, maka harus diperjelas dalam Perpres yang akan diterbitkan,” tutur Wayan.
Karena itu perlu diberi catatan, di antaranya, pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme merupakan pilihan terakhir setelah instansi keamanan yang ada tidak cukup mampu untuk mengatasi terorisme. Atau misi menyelamatkan WNI di luar negeri, seperti penyanderaan kelompok teroris Abu Sayyaf.
“Yang terpenting adalah mengatur jika eskalasi ancaman keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara, kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer,” ungkap Wayan.
Selain itu, masih kata dia, prinsip utama yang diatur dalam Perpres harus menekankan pengerahan kekuatan militer dalam OMSP untuk mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik Presiden.
Yang terakhir, pelibatan TNI pada intinya bersifat sementara dalam menangani terorisme. Selain itu, akuntabilitas hukum dalam menangani terorisme sama seperti polisi.
“Di mana TNI harus tunduk pada mekanisme peradilan umum perihal pertanggungjawaban hukumnya, jika terjadi pelanggaran atau kesalahan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Rafendi Djamin, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR), tak menepis kemungkinan adanya niat baik dari TNI untuk membantu menangani persoalan pertahanan dan keamanan.
Apalagi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun memberi ruang kepada tentara untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme.
Masalahnya, banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
“Kalau dicermati, keberadaan Perpres tersebut bukan hanya tidak akan mengurangi ancaman atau mencegah dan melakukan pemulihan (akibat terorisme) secara efektif. Yang berpeluang terjadi justru timbulnya kerancuan di tingkat pelaksanaan,” ujar Rafendi Djamin, dalam keterangannya, Minggu, (17/5).
Menurut Rafendi, isu seputar pelibatan TNI dalam menangani terorisme pada dasarnya masuk ke dalam dua ranah. Yakni, ranah penegakan hukum dan situasi perang. Ranah penegakan hukum itu bukan wilayah TNI, yang tugas dan fungsinya lebih ke urusan pertahanan.
Karena itu, ketika tentara kemudian masuk ke ranah hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan di lapangan karena terjadi tumpang tindih peran dengan badan atau lembaga lain.
“Terutama karena kita punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menurut undang-undang menjadi leading sector dalam pencegahan hingga pemulihan terorisme,” kata Rafendi.