Banyuwangi - Intoleransi, kekerasan, dan bullying, masih menjadi musuh besar dunia pendidikan di Indonesia. Faktor kemajuan teknologi ditambah pergaulan anak didik di era milenial ini menjadi salah satu faktor utama masih terjadinya kasus intoleransi, kekerasan, dan bullying di sekolah. Karena itu, kolaborasi antara pendidik atau guru dan orang tua menjadi kunci untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi. “Kolaborasi antara pengajar dan orangtua adalah poin penting untuk melaksanakan pencegahan intoleran, kekerasan dan bullying. Ini menjadi tantangan dalam membangun madrasah moderat dan inklusif,” ujar Direktur Eksekutif Damar Institute M Suaib Tahir, Lc, MA, PhD,. Pernyataan itu diucapkan Suaib saat menjadi narasumber “Pelatihan Guru dan Siswa Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan”’ dan Bullying di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (15/5/2024). Pelatihan ini adalah bagian dari program “Sekolah Damai” yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) berkolaborasi dengan Duta Santri Jawa Timur dan Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur. “Pemahaman kebiasaan anak didik serta kolaborasi guru dan keluarga harus diperkuat. Selain itu, peran pemimpin madrasah atau sekolah juga sangat penting berupa visi, komitmen, keteladanan, dukungan, dan pemberdayaan,” imbuh tenaga ahli kontra narasi BNPT ini. Pada kesempatan itu, Suaib juga memaparkan fenomena intoleransi yang kemudian menjadi awal seseorang menjadi radikal, dan kemudian meningkat menjadi teroris. Menurutnya, para guru perlu memahami masalah ini. Pasalnya, sasaran utama penyebaran paham radikal terorisme saat ini adalah generasi muda jug kaum perempuan. Ia mengungkapkan, tahun 2023 , di Indonesia tidak ada aksi terorisme sama sekali atau zero attack terrorism. Tapi perlu diketahui bahwa penyebaran paham radikal terorisme masih terus berkembang baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dan itu berawal dari sikap intoleransi. “Pencegahan infiltrasi paham radikal terorisme harus dilakukan oleh bapak ibu terhadap siswa dan siswi yangg memiliki kecenderungan radikal. Teroris ada karena adanya radikalisme, maka itu pendidikan kita utamakan karena hanya pendidikan dan agama yang mampu mencegah seseorang terpapar paham radikal,” ungkap jebolan Al Azhar Mesir ini. Ia menegaskan bahwa peran guru dan stakeholder adalah membuat kebijakan untuk kepentingan anak didik, juga sosialisasi dan sebagainya. Selain itu, harus dibuat mekanisme pelaporan apabila terjadi intoleransi, kekerasan, dan bullying. Juga harus ada tim pengaduan dan tindak lanjut pengaduan.

Kolaborasi Antara Guru dan Orang Tua Kunci Pencegahan Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying di Lingkungan Sekolah

Banyuwangi – Intoleransi, kekerasan, dan bullying, masih menjadi musuh
besar dunia pendidikan di Indonesia. Faktor kemajuan teknologi
ditambah pergaulan anak didik di era milenial ini menjadi salah satu
faktor utama masih terjadinya kasus intoleransi, kekerasan, dan
bullying di sekolah. Karena itu, kolaborasi antara pendidik atau guru
dan orang tua menjadi kunci untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi.

“Kolaborasi antara pengajar dan orangtua adalah poin penting untuk
melaksanakan pencegahan intoleran, kekerasan dan bullying. Ini menjadi
tantangan dalam membangun madrasah moderat dan inklusif,” ujar
Direktur Eksekutif Damar Institute M Suaib Tahir, Lc, MA, PhD,.

Pernyataan itu diucapkan Suaib saat menjadi narasumber “Pelatihan Guru
dan Siswa Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam
Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan”’ dan Bullying di Pondok
Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu
(15/5/2024). Pelatihan ini adalah bagian dari program “Sekolah Damai”
yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia (BNPT RI) berkolaborasi dengan Duta Santri Jawa Timur dan
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur.

“Pemahaman kebiasaan anak didik serta kolaborasi guru dan keluarga
harus diperkuat. Selain itu, peran pemimpin madrasah atau sekolah juga
sangat penting berupa visi, komitmen, keteladanan, dukungan, dan
pemberdayaan,” imbuh tenaga ahli kontra narasi BNPT ini.

Pada kesempatan itu, Suaib juga memaparkan fenomena intoleransi yang
kemudian menjadi awal seseorang menjadi radikal, dan kemudian
meningkat menjadi teroris. Menurutnya, para guru perlu memahami
masalah ini. Pasalnya, sasaran utama penyebaran paham radikal
terorisme saat ini adalah generasi muda jug kaum perempuan.

Ia mengungkapkan, tahun 2023 , di Indonesia tidak ada aksi terorisme
sama sekali atau zero attack terrorism. Tapi perlu diketahui bahwa
penyebaran paham radikal terorisme masih terus berkembang baik di
dunia nyata maupun dunia maya. Dan itu berawal dari sikap intoleransi.

“Pencegahan infiltrasi paham radikal terorisme harus dilakukan oleh
bapak ibu terhadap siswa dan siswi yangg memiliki kecenderungan
radikal. Teroris ada karena adanya radikalisme, maka itu pendidikan
kita utamakan karena hanya pendidikan dan agama yang mampu mencegah
seseorang terpapar paham radikal,” ungkap jebolan Al Azhar Mesir ini.

Ia menegaskan bahwa peran guru dan stakeholder adalah membuat
kebijakan untuk kepentingan anak didik, juga sosialisasi dan
sebagainya. Selain itu, harus dibuat mekanisme pelaporan apabila
terjadi intoleransi, kekerasan, dan bullying. Juga harus ada tim
pengaduan dan tindak lanjut pengaduan.