Jakarta – Peneliti Bidang Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Budi Sugandha Nazam mengaku sangat aneh dengan klaim kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) terhadap penembakan yang dilakukan Stephen Craig Paddock (64) di Mandalay Bay, Las Vegas, Amerika Serikat (AS). Klaim itu membuktikan bahwa ISIS telah kehilangan pamor dan langsung mengakui bahwa teror itu dilakukan oleh militan mereka.
Klaim ISIS itu sudah dibantah Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat yang menyatakan, ISIS sama sekali tidak terlibat. “Yang melakukan klaim bahwa Stephen Craig Paddock adalah militan ISIS adalah media mereka sendiri yaitu, Amaq News. Hal itu sudah dibantah oleh FBI yang menyatakan “He (Stephen Craig Paddock-red) just a lone wolf, not a terorist,” kata Budi Sugandha Nazam dalam siaran persnya yang diterima ‘damailahindonesiaku’, Rabu (4/10/2017).
Dikatakan, upaya klaim yang dilakukan ISIS justru ingin menunjukkan bahwa ISIS tengah kehilangan pamor. Sebab di era Presiden AS Donald Trump, perhatian pemerintah berkurang pada aksi-aksi yang dilakukan ISIS. “Yang ramai di medsos saat ini adalah masalah framming pelakunya, bukan teroris. Apalagi dalam konferensi pers yang diadakan Donald Trump, tidak menyinggung kalau peristiwa penembakan brutal itu dianggap tindakan teroris,” jelasnya.
Kasus penembakan brutal itu dapat dilihat dari sudut pandang kepemilikan senjata. Karena itu, sudah saatnya pemerintah AS meninjau kembali Undang-Undang (UU) tentang Kepemilikan Senjata di AS. Karena, beberapa jam pasca teror penembakan brutal itu, isu tentang pengetatan kepemilikan senjata kembali mencuat dan salah satunya disuarakan Hillary Clinton.
Namun, tidak sedikit pihak yang menentang ide pengetatan senjata itu. Bahkan, justru mengangkat isu bahwa pelaku adalah keturunan psikopat, dan masalah keamanan hotel yang lemah. Apalagi ada 10 senjata otomatis bisa lolos masuk kamar Stephen Craig Paddock. Ke depannya, pemerintah AS harus lebih berani memutuskan UU Kepemilikan Senjata ini. Jangan sampai keinginan pemerintah untuk mengakomodir hak warga untuk melindungi diri dari kriminalitas dan terorisme, justru di salahgunakan untuk membunuh warga lain yang tidak berdosa.
Menurutnya, dalam 2 tahun terakhir minimal ada 4 kasus penembakan massal yang terjadi di AS. Pertama, tahun 2015 di Detroit ada kasus penembakan yang mengakibatkan 1 korban meninggal dan 9 luka-luka. Kedua, juga ada penembakan massal di Gereja South Caroline (tahun 2015) dengan 9 korban meninggal. Ketiga, di klub malam Orlando, Negara Bagian Florida, yang menewaskan 49 orang pada Juni 2016 lalu. Keempat di Mandalay Bay Las Vegas yang menewaskan 59 orang dan melukai 527 lainnya.