London – Tania Joya menulis sebuah artikel yang di dalamnya berkisah tentang dirinya yang menikah dengan seorang pemimpin ISIS. Joya lahir di London utara pada 1983 dan dibesarkan dalam keluarga Bengali-Bangladesh.
“Saya hanya ingin menjadi orang Inggris, tetapi merasakan tekanan dari keluarga saya untuk menjadi “gadis Muslim yang baik” dan tidak berbaur dengan masyarakat Barat. Keluarga saya tidak berperan. Ketika Anda tidak mempercayai orang tua Anda, Anda belajar untuk tidak mempercayai otoritas sama sekali,” tulisnya, sebagaimana dikutip The Guardian, Selasa (8/9).
Saat Joya berusia 17 tahun, keluarganya pindah ke London timur. Dia mendapat teman baru tetapi mereka sangat konservatif. Seorang gadis religius mempermalukan dirinya karena terlalu Barat. Dia merasa sangat tertekan sehingga hanya ingin menjadi orang baru.
Sepupunya, yang sangat berpengaruh pada dirinya, telah diradikalisasi di sebuah universitas. Dia mengajari saya tentang kekhalifahan. Joya pun membaca banyak fatwa Islam Arab Saudi secara online. Saat itu dia pikir sedang mencari kebenaran.
Pada 2003, Joya berada di aksi anti-perang Irak di London, ketika beberapa pria memberinya secarik kertas dengan nama situs kencan Muslim di atasnya. Di situlah dia bertemu John Georgelas, seorang Amerika Serikat yang masuk Islam. Dia dibesarkan dalam keluarga kelas menengah, multibahasa, dan tampak sangat pintar. Joya mengaguminya.
Joya menikah dengan John pada kunjungan pertamanya ke London, karena tahu itulah satu-satunya cara bisa meninggalkan rumah. Tak lama kemudian, mereka pindah ke Amerika Serikat dan memiliki seorang putra. John menjadi lebih radikal, sama seperti Joya yang berhenti memakai niqab dan menjadi mandiri.
Pada 2006, John dituduh meretas situs web kelompok lobi pro-Israel, dan masuk penjara selama tiga tahun. “Saya masih bergantung secara finansial padanya, dan tidak menyadari bahwa saya berada dalam pernikahan yang penuh kekerasan,” jelasnya.
Ketika John keluar dari masa percobaan, mereka pindah ke Mesir dan kemudian ke Istanbul bersama ketiga anaknya. John ingin pergi ke Suriah, tetapi Joya bersikeras tidak ingin membawa anak-anak ke zona perang. Namun, mereka tidak mampu tinggal di Istanbul, dan John memberi tahu Joya dan keluarganya di Amerika Serikat, bahwa mereka akan pindah ke Antakya di Turki. Tetapi yang terjadi sebaliknya, John, Joya dan anak-anaknya melakukan perjalanan langsung ke perbatasan Suriah.
“Saat kami naik bus di tengah malam, saya tidak menyadari apa yang terjadi. Saya sedang hamil lima bulan, dan merasa lega bahwa saya dan anak-anak dapat duduk dan tidur. Pada saat matahari terbit, kami berada di pos pemeriksaan Suriah dan John memperingatkan saya untuk tidak membuat keributan,” tulis Joya.
Saat Joya menemukan telepon, dia menelepon ibunya dan memberi tahu bahwa John telah berbohong. Joya menangis dan memintanya untuk menghubungi agen FBI yang telah melacaknya selama bertahun-tahun. FBI kemudian memberi tahu bahwa Joya tidak akan dituduh bergabung dengan organisasi ekstremis jika kembali ke Amerika Serikat.
“Di Suriah, kami tidak memiliki air ledeng karena tangki di bagian atas rumah telah ditembak. Saya kekurangan gizi, begitu pula anak-anak. Saya takut kehilangan mereka. John menyalahkan saya karena memberi tahu agen, dan saya sangat marah padanya karena menipu kami. Pada titik ini saya menolak untuk menutup wajah, dan dia mengira saya memalukan. Dia ada di bawah tekanan teman-temannya untuk meninggalkan atau mengendalikan saya,” tulis Joya.
Pada akhirnya, John menunjukkan belas kasihan dan mengatur agar Joya dan anak-anaknya pergi, meskipun harus menunggu tiga pekan untuk keluar karena blokade jalan dan pertikaian. “Dia membayar seorang pedagang manusia untuk mengangkut kami, dan kami terpaksa berlari beberapa mil dan memanjat melalui lubang di kawat berduri, sebelum melompat ke truk di bawah tembakan penembak jitu,” paparnya.
Pedagang manusia itu seharusnya membawa Joya dan anak-anaknya ke terminal bus, tetapi malah meninggalkan di antah berantah. Dia putus asa, sampai seorang pria Turki yang baik membantunya menemukan jalan. Dia sangat bersyukur masih hidup dan ingin anak-anaknya hidup dengan baik.
Menurut Joya, John memainkan peran penting dalam membangun kekhalifahan dan merupakan propagandis terkemuka untuk ISIS, dengan membantu merawat orang Barat lainnya. Joya tidak pernah bertemu John lagi dan kemudian mengetahui bahwa dia akan menikah lagi di Suriah. Tahun lalu dia juga mendapat kabar John telah meninggal, kemungkinan besar selama pemboman Amerika Serikat pada 2017.
“Sekarang, saya tinggal di Texas, beberapa jalan jauh dari orang tua John. Saya tahu itu baik bagi mereka dan anak-anak agar menjadi dekat. Suami saya saat ini penuh hormat, dan perhatian. Saya suka kebebasan untuk menjadi diri saya sendiri. Saya telah bekerja dengan kelompok kontra-ekstremisme Faith Matters di Inggris. Pendidikan adalah kunci deradikalisasi. Anda perlu menyajikan data, fakta, dan sains. Itulah yang mengubah saya. Saya banyak membaca, mendidik diri sendiri. Kita harus memiliki nilai bersama untuk hidup damai,” tulis Joya.