Jakarta – Beberapa waktu lalu seluruh Ulama dunia berkumpul di Sidoarjo dalam perbincangan Fikih Peradaban yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU). Hasil rekomendasi pertemuan tersebut dibacakan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Yenni Wahid di hadapan Presiden RI Joko Widodo dengan menegaskan cita-cita dan penerapan khilafah yang tidak sesuai dengan prinsip maqasyid syariah (tujuan pokok agama).
Karena dalam konteks berbangsa, cita-cita dan impian penerapan khalifah acapkali bertabrakan dengan tujuan pokok agama. Ketidaksatbilan sosial, politik dan runtuhnya sistem negara akan melahirkan konflik dan kekerasan yang diwarnai permusuhan di negara yang multikultural. Sistem khilafah pada akhirnya menyulut api konflik dan permusuhan antar sesama anak bangsa yang tentu saja bertabrakan dengan nilai-nilai agama
Praktisi Pesantren yang juga Cendekiawan Muslim, Dr. M. Najih Arromadloni menjelaskan bahwa negara Indonesia ini berdiri dengan menaungi banyak agama yang berbeda. Islam adalah salah satu agama yang secara sah diakui di Indonesia dan memiliki jumlah pemeluk yang terbanyak. Walaupun demikian, dasar negara Indonesia disandarkan terhadap konstitusinya yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Dalam menjalankan keyakinannya, umat Islam harus memahami maksud atau tujuan dari praktik ibadah yang dijalankannya. Jika dapat memahami maksud dari hukum agama secara utuh, maka umat Islam dapat berperan dengan baik sesuai dengan kaidah agama dan segala peraturan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga tertuang dalam prinsip Maqashid Syariah,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Gus Najih ini menjelaskan, Maqashid Syariah sendiri berarti tujuan dari syariat Islam, Dimana ada lima tujuan Allah menurunkan syariat. Pertama adalah menjaga agama, Kedua adalah menjaga nyawa, Ketiga adalah menjaga akal, Keempat adalah menjaga keturunan dan yang kelima adalah menjaga harta atau hifz al-maal. Yang mana semuanya adalah tujuan atau garis besar syariat.
“Kenapa khilafah dianggap bertentangan dengan Maqasyid Syariah. Karena ketika Khilafah diperjuangkan tentu akan mengorbankan tujuan-tujuan syariat ini. Konsekuensi yang tidak mungkin dihindarkan dari perjuangan mendirikan Khilafah itu adalah peperangan. Dan itu jelas-jelas merusak atau mengancam nyawa banyak orang itu jelas bertentangan dengan syariat,” ujanrya.
Karena menurut Sekjen Ikatan Alumni Suriah (Syam) Indonesia ini, tentunya tidak ada negara yang rela melepaskan wilayahnya untuk diakui sebagai wilayah kekhilafahan. Sehingga masing-masing negara yang merasa terancam akan melancarkan peperangan sebagai tindakan untuk melindungi wilayahnya.
“Peperangan sendiri akan merusak banyak tatanan kehidupan manusia, seperti menimbulkan banyak korban jiwa dan merusak pergaulan yang telah terjalin antar banyak negara,” kata anggota asosiasi Ilmu Tafsir hadits Indonesia ini
Menurutnya, jika hal itu terjadi apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa serta menjadi kesepakatan yang dituangkan dalam konstitusi Indonesia akan hilang tak bersisa. Ini bisa terjadi jika ada pihak yang memaksakan untuk menyatukan berbagai wilayah yang berbeda dalam satu sistem kekhilafahan.
“Peperangan yang ada justru akan bertentangan dengan apa yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai suatu negara yang sah dan diakui di mata Internasional. Suatu negara yang telah diperjuangkan dengan jerih payah para pendirinya harus bisa menaungi perbedaan, karena peperangan bukanlah pilihan,” ujarnya .
Untuk itulah dirinya menegaskan bahwa khilafah itu adalah produk politik dan bukan merupakan ajaran agama apapun , termasuk agama Islam. Karena di dalam Al Quran sendiri juga tidak ada satupun d ayat yang memerintahkan mendirikan Khilafah.
“Jangankan memerintahkan mendirikan Khilafah, kata Khilafah sendiri saja tidak ditemukan di dalam Al Quran. Yang ada hanya kata khalifah dan khalaif. Tapi tidak ada satupun yang merujuk pada sistem politik Khilafah itu,” ujarnya
Lebih lanjut Gus Najih menjelaskan, perdamaian yang diciptakan di tengah perbedaan sebenarnya sudah dilakukan di zaman Rasulullah melalui perjanjian yang bernama Piagam Madinah. Perjanjian ini adalah kontrak sosial yang ditandatangani oleh berbagai suku dan agama di Madinah. Jika dalam konteks Indonesia, Piagam Madinah mirip dengan Pancasila yang sudah menjadi ideologi bangsa ini sehingga konstitusi kita tidak perlu diubah lagi.
“Tujuan negara kita ini adalah negara yang Bhinneka (beragam), kulturnya sangat heterogen yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan budaya. Sehingga kita butuh sistem yang bisa menaungi semua kelompok dan unsur bangsa tersebut. Tidak mungkin kita memaksakan satu sistem (khilafah) di tengah masyarakat yang sangat heterogen sebagaimana di tanah air kita,” ujarGus Najih.
Dan negara Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan republik ini menurutnya juga bukanlah tanpa sebab. Ini merupakan buah dari perundingan yang panjang dan dianggap akan membawa maslahat (kebaikan) bagi penduduk Indonesia itu sendiri
“Tanah air yang kita cintai ini haruslah kita jaga keutuhannya. Ini merupakan tanggung jawab bersama sebagai insan bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun rakyatnya. Apa yang bisa kita perbuat adalah terus memperjuangkan kebersamaan dan toleransi di Indonesia sesuai dengan kemampuan masing-masing,” kata Alumni Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus Suriah
Oleh karena itu dirinya meminta kepada para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk dapat ikut mengglorifikasikan hasil rekomendasi muktamar tersebut. Karena rekomendasi itu bukanlah suatu rekomendasi yang terjadi tiba-tiba muncul, tapi ini sudah melalui sebuah proses yang sangat Panjang yang dihasilkan dari halaqah fiqih peradaban atau muktamar internasional fiqih peradaban. Dimana sebelum Muktamar internasional ini dilakukan, sudah ada proses penggodokannya dilakukan di lebih dari 250 titik pesantren di seluruh Indonesia.
“Hal itu dilakukan oleh para intelektual intelektual pesantren dengan mengkaji Al Quran, mengkaji hadis, mengkaji ijma, mengkaji qiyas, mengkaji kitab-kitab para ulama. Maka setelah itu ditemukanlah keputusan semacam itu bahwa ternyata khilafah itu tidak ada perintahnya,” ujan pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Selain itu yang terpenting lagi menurutnya adalah Pemerintah perlu tegas terhadap propaganda-propaganda semacam ini. Karena kekuatan masyarakat tentunya juga sangat terbatas dan sebatas kontra narasi.
“Tetapi pemerintah punya kewenangan hukum, sehingga sudah seharusnya propaganda propaganda yang berpotensi merusak keutuhan kita dalam berbangsa dan juga mengancam kedaulatan negara harus ditindak secara tegas,” kata peraih Doktoral dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengakhiri.