Bali – Korban terorisme adalah tanggung jawab negara. Terkait masalah penanganan korban sebenarnya sudah ada aturannya, tapi selain tidak terintegrasi juga belum maksimal aturannya.
Demikian ditegaskan oleh HR Muhammad Syafii, Ketua Pansus RUU Terorisme, saat menjadi narasumber Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Aksi Pemulihan Korban Aksi Terorisme yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Bali, Selasa (29/8/2017). Pada kesempatan itu, Romo Syafi’i, panggilan karibnya, membeberkan sejumlah persoalan perundang-undangan terutama terkait penanganan korban terorisme.
“Pada bulan mei 2016 pemerintah mengajukan RUU pemberantasan tindak pidana terorisme untuk merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 yang diharapkan selesai cepat. Namun, setelah dikaji bersama dengan pansus ternyata RUU yang diajukan pemerintah masih berkutat hanya soal penindakan” ujarnya.
Lebih lanjut, Ketua Pansus RUU Terorisme ini memberikan beberapa permasalahan tentang penanganan korban. Pertama, pemerintah dan aparat penegak hukum lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada pelaku, sementara korban terorisme penanganan belum maksimal.
Kedua, UU pemberantasan terorisme yang ada belum mengatur tentang penanganan korban secara komperensif. Termasuk apa yang menjadi hak korban dan apa yang menjadi kewajibannya.
Problem berikutnya adalah penanganan korban masih bersifat parsial di setiap instansi dan lembaga dan belum terintegrasi. Sementara itu ada permintaan korban dan LSM terkait pengakuan hak korban terorisme untuk diatur dalam undang-undang.
“Sekarang ada asosiasi korban yang bernama AIDA (Asosiasi Indonesia Damai) dan Penyintas Nusantara yang beranggotakan 1098 orang. Mereka pernah diundang dalam RDP DPR. Mereka mengungkapkan kecewa karena pemerintah tidak hadir untuk membantu mereka,” ungkapnya.
Karenanya menurut Romo Syafi’i, DPR dan pemerintah saat ini telah berupaya memasukkan persoalan penanganan korban aksi terorisme dalam UU. Upaya ini dilakukan agar ada aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban terkait penanganan korban aksi terorisme.
“Arah perubahan RUU terorisme terkait korban tersebut berkisar pada pencantuman definisi korban tindak pidana teroris, pengaturan penanganan medis, psikososial dan hak kompensasi terhadap korban tindak pidana teroris. Juga mekanisme penanganan korban dari tahap krisis sampai tahap pemulihan, termasuk pengaturan sanksi oleh pihak yang mengabaikan hak korban teroris,” tutup anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra ini.