Bandung – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar
Bambang Soesatyo mengingatkan selain ancaman terorisme, radikalisme,
ideologi transnasional, dan Narkoba, bangsa Indonesia juga sedang
menghadapi ancaman demokrasi yang tidak kalah hebat dampaknya terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa. Luka bangsa pada Pemilu 2019 dengan
hadirnya “Cebong”, “Kampret”, dan “Kadrun”, menjadi peringatan bahwa
pemilihan langsung memiliki dampak berganda (multiplier effect) bagi
keharmonisan kehidupan kebangsaan.
Tidak hanya pada Pilpres dan Pileg, pemilihan langsung pada Pilkada
juga meninggalkan berbagai persoalan kebangsaan. Hasil penelitian
Prof. Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan, sebanyak 33 persen (63,5 juta
pemilih) atau 1 dari 3 pemilih pada Pemilu 2014 dan 2019 menerima
politik uang. Menempatkan Indonesia berada di nomor tiga dari sisi
persentase 33 persen. Sedangkan dari sisi absolute atau angka 63,5
juta pemilih, Indonesia menjadi negara dengan korban paling besar
se-dunia dalam hal politik uang.
“Tidak heran jika kini banyak kalangan yang menilai bahwa Pemilu
Indonesia paling liberal di dunia. Sudah melenceng jauh dari demokrasi
Pancasila sesuai semangat perwakilan sebagaimana terdapat dalam sila
ke-4 Pancasila. Sehingga perlu adanya evaluasi menyeluruh untuk
kembali menghadirkan politik programatik bukan politik pragmatis,
serta kompetisi elektoral berbasis partai untuk mengurangi penggunaan
politik uang” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI
bersama Universitas Kristen Maranatha, di Bandung, belum lama ini.
Hadir antara lain, Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan, Rektor
Universitas Kristen Maranatha Prof. Sri Widiyantoro, Ketua Panitia
Penyelenggara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI Chendra Witarsih,
Peneliti dan Pemerhati Kajian Islam di Tiongkok Novi Basuki, Sivitas
akademika Universitas Kristen Maranatha, dan segenap jajaran Pengurus
Perempuan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (PINTI) Jawa Barat,
Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) Jawa Barat, Perhimpunan Pelajar
Indonesia-Tiongkok (PPIT) Jawa Barat, dan Pusat Bahasa Mandarin
Universitas Kristen Maranatha.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum,
HAM, dan Keamanan ini juga mengajak para generasi muda menyadari
betapa hebatnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
yang begitu kaya keberagaman dan perbedaan. Ketika terbang dari Sabang
menuju Merauke, kita akan menempuh jarak sekitar 5.245 kilometer.
Lebih jauh dari jarak antara Boston (Amerika Serikat) ke Lisbon
(Portugal) melewati Samudera Atlantik, atau setara dengan jarak dari
Jakarta ke Korea Selatan.
Kita pun akan melintasi 17.504 pulau, dan melewati tiga zona waktu
yang berbeda. Luasnya bentangan jarak antara Sabang sampai Merauke
juga meliputi hampir 280 juta jiwa penduduk Indonesia, yang terdiri
dari 1.340 suku bangsa, dengan 733 bahasa daerah yang berbeda, serta
beragam adat istiadat, agama, dan keyakinan yang berbeda-beda.
“Bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah maupun Eropa Timur yang
memiliki banyak kesamaan dibandingkan perbedaan, justru hingga kini
masih bergulat dalam beragam konflik. Begitupun saudara kita di Asia
seperti Korea Selatan dengan Korea Utara, serta China dengan Taiwan.
Namun Indonesia, dengan luas wilayah dan besarnya keragaman yang
dimiliki, justru hingga kini masih tetap damai. Jawabannya tidak lain
karena kita memiliki Empat Pilar MPR RI, yakni Pancasila, UUD NRI
1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI,” jelas Bamsoet.
Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas
Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI ( UNHAN)
ini menerangkan, sejak era Presiden Soekarno hingga kini Presiden Joko
Widodo, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika selalu diakui dunia.
Sebagaimana disampaikan Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa
Antonio Guterres dalam rangkaian kegiatan KTT ke-43 ASEAN 2023, bahwa
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya motto nasional Indonesia, tapi
menjadi kunci membangun masa depan dunia.