Semarang – Hasil penelitian Badan Nasional Penanggulangan (BNPT) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang terpapar radikalisme berjumlah kurang lebih 32 juta atau 12,2% dari total 274 juta orang.
Data tersebut disampaikan oleh Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa tengah Prof. Dr. Syamsul Ma’arif di Semarang, Senin (9/8/2021). Ia menjelaskan dari 32 juta orang tersebut terdapat 17 ribu di antaranya masuk pada sel teroris.
“Sejumlah 17 ribu orang masuk sel teroris, dari sinilah kita memiliki tanggngjawab, paling tidak berusaha menjaga dan memproteksi masyarakat. Kita perlu menyiapkan calon atau kader untuk mengisi kantong strategis dalam penanggulangan terorisme ini,” ujar Syamsul.
Pria yang juga seorang Dekan di Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) UIN Walisongo tersebut mengutip pendapat seorang peneliti bernama Hasan Tibi yang mengatakan salah satu indikator masuknya gelombang rakdikalisme diawali dengan sebuah ideologi fundamintalisme. Akar ideologi fundamentalisme sangat memberi dampak yang cukup serius.
Sementara itu, pengamat terorisme Zunuanus Gulam Manar menjelaskan bahwa generasi milenial merupakan kelompok penduduk terbanyak berdasarkan sensus tahun 2020 juga perlu diantisipasi pergeseran ideologinya yang notabene bisa dilakukan melalui teknologi digital.
“Generasi milenial yang Hampir proporsinya mendekati separo dari populasi warga negara kita itu nyata, kita mengaetahui kondisi geografi pada beberapa tahun yang akan datang tidak lain tidak bukan adalah karena banyaknya usia-usia prodkutif termasuk didalammnya adalah gen Z dan gen milenial,” jelas Wakil ketua PW ISNU Jawa Tengah itu.
“Aspek lain yang berkaitan dengan ideologi ini menjadi potensi ancaman ataupun hambatan ketika akses informasi oleh gen Z dan milenial ini mengalami orientasi yang salah, yang bisa menimbulkan tidak hanya terorisme, radikalisme, tetapi jug dampak perusakan yang lain termasuk juga tidak mengenal adanya nasionalisme,” paparnya.
“Media sosial tidak hanya sebagai media dakwah tetapi juga bisa meluruskan hal-hal yang tidak tepat pada masyarakat kita” tutupnya.
Peneleti senior Lembaga Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Dr. Tedi Kholiluddin memaparkan hasil penelitiannya sejak tahun 2017 hingga 2021. Pihaknya membuat program pembudayaan sekolah damai di SMA Negeri sebagai instrumen penelitian behavioristik (berdasarkan perilaku).
Dalam program berkala selama lima tahun tersebut, Tedi itu melakukan internalisasi pola toleransi di 5 sekolah di Kota Semarang dan 2 Kabupaten Kendal. Hasilnya, Tedi menyimpulkan beberapa kategori objek kebencian.
“Jika kita berbicara kelompok mana yang paling dibenci itu ada LGBT, komunis, tionghoa lalu ada Kristen, mengidentifikasi karena LGBT berkaitan dengan orientasi seksual, orientasi gender, lalu komunisme politikal edeologi, nah maka secra aple to aple bisa dikaitkan dibenci adalah kelompok ini (LGBT, Komunis, Tionghoa, Kristen),” paparnya.
Tedi mendapati ada pergeseran target kebencian dari kalangan islamis radikal. Jika sebelum 2011 terget kebenciannya adalah dasar negara dan sistem pemerintahan, maka saat ini target kebenciannya adalah hal-hal yang bersifat kultural.
“Kalau dulu kelompok islamis menyasar pada politekal ideologi seperti dasar negara dan lain-lain, di pasca 2011 kesini mulai ada pergeseran target yaitu diranah kultural,” ujarnya.
Pergeseran tersebut, dijelaskan oleh Tedi, karena otonomi daerah membuka ruang munculnya transaksi politik yang memanfaatkan sentiment keagamaan.
Tedi mengutip hasil riset Michael Bohler tentang peraturan daerah (Perda) di Indonesia yang bernuansa agama. Uniknya, perda-perda rersebut lahir dari pemerintahan yang secara politik dikuasai oleh partai non agama.
Tedi mensinyalir saat ini agama telah menjadi politikal marketing dan jadi alat transaksi. Akibatnya di kalangan masyarakat terjadi pergeseran orientasi beragama.
“Orang yang menjadikan agama sebagai politikel marketingnya, dimana-mana yang namanya politik ya transaksional dan tidak logis, ada pergeseran yang luas yang menyasar pada aspek kehidupan keseharian, begitu kuat aspek yang berkaitan dengan segmentasi keagamaan, perubahan orientasi islam dari politis ke sosial kultural semakin meneguhkan mereka untuk membangun batas, yang namanya muslimah shaleh itu yang berjilbab, ada perumahan syariah, pemakaman syariah, dan seterusnya mulai ada segmentasi yang berbasis agama, yang memberi batas saya dan mereka mudah untuk dikenali,” beber Tedi.
Tedi juga menemukan satu fenomena di era digital yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai fenomena islamic klik tifizen. Yaitu aktivisme ngeklik konten-konten islami, bahkan kalau bisa menyebarkannya walaupun di dalamnya terdapat kabar hoax dan provokasi.
“Final reportnya dari elsa yaitu mencegah intoleransi di kalangan pelajar. Paham intoleransi banyak menyasar kelompok muda,” tutupnya.