Jakarta – Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memandang intoleransi berpotensi terjadi pada gelaran Pemilu 2024. Dia mengatakan, potensi intoleransi berasal dari globalisasi yang menyebabkan nilai-nilai toleransi terkikis.
Lalu, demokrasi yang didominasi masyarakat kelas menengah. Selain itu, menurutnya, perihal perkembangan media sosial (medsos) juga memberikan dampak negatif penyebaran hoaks di internet masih tinggi.
“Kurangnya pendidikan pengetahuan atau pendidikan politik di tengah masyarakat itu juga bisa termasuk memicu intoleransi. Yang akan paling meriah nantinya adalah penggunaan politik identitas baik terkait suku dan agama,” kata Bagja dalam keterangannya, Rabu (1/3/2023).
Maka itu, dia meminta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) perlu membangun pola komunikasi bersama Bawaslu. Dia berpendapat, ada model pendekatan kelompok masyarakat yaitu membentuk forum warga pengawasan pemilu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu (Gempar) termasuk menggandeng FKUB untuk menjaga pelaksanaan pilkada berintegritas.
“FKUB perlu dilibatkan karena merupakan lembaga kerukunan terbesar, baik secara nasional maupun internasional, yang terdiri dari 545 lembaga FKUB di 34 provinsi, 98 kota dan 413 kabupaten,” kata alumnus Universitas Indonesia itu.
Dalam pengawasan pemilu dan pilkada, Bagja pun meminta FKUB dapat mendukung Bawaslu dalam beberapa hal seperti sebagai mitra kerja untuk perumusan strategi tolak politisasi SARA di rumah-rumah ibadah. Kemudian, menjadi pengawas partisipatif yang turut aktif memberikan sosialisasi aturan tentang pemilihan, bekerja sama dengan penyelenggara pemilu untuk mengedepankan politik-politik ide demi menyejukan iklim pemilu.
“Sebab yang penting kerukunan umat beragama, semua orang punya hak melakukan keagamaannya, tapi ingat semua orang juga punya hak memilih dan itu dilindungi negara. Itu yang kami jaga sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia,” pungkasnya.