Ketika Halaman Gereja Menjadi Rumah Sementara Umat Buddha: Kisah Toleransi dalam Senyap di Magelang

Magelang – Minggu pagi (6/7/2025) di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, terasa berbeda dari biasanya. Halaman Gereja Katolik Bunda Maria Sapta Duka, yang lazimnya menjadi tempat hilir-mudik jemaat Katolik, hari itu justru dipenuhi ribuan umat Buddha dari berbagai penjuru Indonesia.

Bukan karena misa besar atau acara lintas agama formal. Gereja tersebut dengan penuh keterbukaan telah membuka halamannya sebagai Sekretariat dan Pos Registrasi perayaan Asalha Mahapuja 2569 BE, momen sakral dalam kalender keagamaan Buddha yang memperingati khutbah pertama Sang Buddha Gautama.

Pilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. Gereja berada tepat di seberang Candi Mendut, titik awal kirab Pujayatra yang menjadi inti dari perayaan Asalha tahun ini. Dengan jumlah peserta kirab mencapai lebih dari 9.000 orang dan 2.000 peserta Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) dua hari sebelumnya, panitia perlu ruang yang strategis, lapang, dan mudah diakses.

Di situlah toleransi beragama benar-benar mewujud dalam tindakan nyata, bukan sekadar jargon.

“Kami sangat terbantu. Kalau tidak ada halaman gereja ini, tentu lebih repot. Terima kasih sebesar-besarnya untuk umat Gereja Katolik yang telah meminjamkan tempat,” ujar Vivi, panitia muda asal Muntilan dikutip dari laman resmi Kemenag RI.

Meja-meja registrasi didirikan sejak pukul 09.00 WIB, tertata rapi di bawah terpal kuning seluas 20 x 6 meter yang melindungi dari terik dan hujan. Para peserta mencatat ulang data diri, menerima pin penanda, bunga, hingga snack yang telah disiapkan oleh panitia.

Yang semakin menyentuh, pengamanan lokasi juga melibatkan unsur lintas iman. Suwardi, seorang Muslim yang biasanya bertugas di kawasan candi, hari itu turut menjaga ketertiban di pintu masuk gereja.

“Saya senang bisa ikut serta. Semua kegiatan keagamaan bisa berjalan dengan damai. Itu yang terpenting,” ungkap Suwardi, tersenyum bangga.

Perayaan kirab Pujayatra dari Candi Mendut ke Candi Borobudur berjalan dengan khidmat dan tertib, bahkan dinilai lebih rapi dari tahun-tahun sebelumnya. Ribuan umat Buddha dari dalam dan luar negeri larut dalam perenungan diri, mengoreksi hati, dan membangkitkan semangat kebajikan.

Namun, di balik kesuksesan itu, ada kontribusi sunyi yang tidak ditulis di spanduk—seperti tangan-tangan yang meminjamkan tempat, menjaga gerbang, dan menghadirkan rasa aman. Gereja Katolik dan para penjaga lintas iman telah menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar slogan, melainkan napas yang menyatu dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Dan selama semangat seperti ini terus dirawat, kerukunan antarumat bukan impian—tapi kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.