Surabaya — Kerentanan psikologis anak dan remaja sebagai faktor kunci yang dimanfaatkan kelompok ekstrem dalam menyebarkan paham radikalisme. Tekanan emosional, pengalaman perundungan, serta kebutuhan akan pengakuan sosial dinilai menjadi pintu masuk utama infiltrasi narasi kekerasan di kalangan usia sekolah.
Hal tersebut disampaikan Kelompok Ahli BNPT, Dra Reni Kusumowardhani, M.Psi., dalam Dialog Kebangsaan bersama Satuan Pendidikan yang digelar di Surabaya, Kamis (18/12/2025).
Menurut Reni, masa remaja merupakan fase perkembangan yang kompleks. Perubahan hormonal, emosi yang belum stabil, serta kematangan fungsi berpikir yang belum sempurna membuat remaja cenderung mudah terpengaruh oleh stimulus eksternal, termasuk konten digital yang mengandung kekerasan dan ideologi ekstrem.
“Secara psikologis, remaja berada dalam kondisi rentan. Mereka mudah tertarik pada hal-hal yang memberi sensasi, pengakuan, dan rasa memiliki. Kondisi ini dimanfaatkan kelompok radikal dengan sangat sistematis,” ujarnya.
BNPT mencatat temuan Densus 88 Antiteror terkait 110 anak yang terpapar paham radikal melalui media sosial, gim daring, dan ruang digital interaktif. Reni menegaskan, sebagian besar anak tersebut tidak berangkat dari pemahaman ideologis yang kuat, melainkan dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
“Banyak dari mereka awalnya hanya ingin didengar, diterima, atau merasa memiliki kelompok. Dari situ, narasi kekerasan masuk secara perlahan dan terstruktur,” kata Reni.
Ia menjelaskan, perkembangan otak remaja—khususnya bagian prefrontal cortex yang berfungsi mengatur nalar dan pengendalian diri—belum matang sepenuhnya. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis dan mengelola emosi belum optimal, sehingga anak lebih mudah menerima narasi hitam-putih yang ditawarkan kelompok ekstrem.
Kerentanan psikologis tersebut kerap diperparah oleh faktor sosial seperti perundungan, konflik keluarga, rasa kesepian, hingga tekanan dunia digital yang menuntut validasi instan. Dalam kondisi emosional yang labil, anak dapat terdorong mencari pelarian di komunitas daring yang memberi rasa diterima, meski berbasis kekerasan.
“Kelompok ekstrem pandai memanfaatkan luka psikologis anak. Mereka hadir bukan sebagai ideolog di awal, tetapi sebagai ‘teman’ yang memahami perasaan korban,” jelasnya.
BNPT menilai, pendekatan pencegahan radikalisasi anak harus berangkat dari pemahaman psikologis tersebut. Sekolah didorong untuk tidak hanya fokus pada capaian akademik, tetapi juga membangun iklim pembelajaran yang aman secara emosional, bebas perundungan, dan membuka ruang dialog bagi siswa.
“Pola pendidikan yang terlalu menekankan hukuman justru berisiko memperparah keterasingan anak. Yang dibutuhkan adalah pendampingan, empati, dan penguatan kemampuan berpikir kritis,” ujar Reni.
Selain sekolah, keluarga dipandang sebagai benteng pertama perlindungan psikologis anak. Komunikasi yang hangat, kehadiran orang tua, serta perhatian terhadap aktivitas digital anak menjadi faktor penting dalam mencegah paparan ideologi kekerasan sejak dini.
Dialog Kebangsaan ini menjadi bagian dari strategi pencegahan BNPT yang menekankan pendekatan humanis dan berbasis perlindungan anak. Pemerintah, menurut BNPT, tidak hanya berkepentingan mencegah aksi terorisme, tetapi juga memastikan tumbuh kembang psikologis generasi muda berlangsung sehat. “Radikalisasi anak bukan semata persoalan keamanan, melainkan persoalan kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis. Jika kita mampu merawat sisi ini, maka risiko ekstremisme dapat ditekan sejak awal,” pungkas Reni.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!