Jakarta – Kepala BNPT Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, MH memaparkan strategi penanggulangan terorisme terkini pada Rapat Pleno Khusus Lembaga Pengkajian MPR RI di Gedung MPR RI, Selasa (5/3/19). Sinergitas disebut menjadi salah satu kunci keberhasilan penanggulangan terorisme yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini.
“Sinergitas yang kami (BNPT) dilakukan diawali dengan mengidentifikasi masalah yang bekerja sama dengan para ahli, baik di bidang agama, hukum, psikologi, dan sosiologi. Setelan itu BNPT menjalin sinergitas dengan kementerian dan lembaga pemerintah,” ujar Komjen Suhardi Alius.
Ia mengungkapkan, untuk menjalin sinergitas dengan 36 kementerian dan lembaga, Suhardi mengaku langsung melakukan menelepon menteri satu persatu.
“Saya telepon menteri satu persatu karena saya perintah presiden untuk berkolaborasi. Sekarang ada sinergitas BNPT dengan 36 K/L. Semuanya terlibat karena dalam persoalan terorisme menyangkut banyak hal seperti permasalahan ekonomi, kesejahteraan, ideologi, dan lain-lain. Bahkan bonus demografi itu juga menjadi hal yang harus kita waspadai kedepannya dalam keterkaitannya dengan masalah terorisme ini,” papar mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Tidak hanya kementerian dan lembaga, BNPT juga menjalin sinergitas dengan pimpinan Perguruan Tinggi untuk mengelola dinamika perguruan tingginya dalam mencegah penyebaran radikalisme di tingkat kampus. Sinergitas lainnya yang dibangun BNPT adalah penanggulangan terorisme melalui pendidikan sosial yang dikembalikan kepada regulasi kepala daerah.
Sejalan dengan sinergitas yang dibangun BNPT, Komjen Suhardi Alius selalu menekankan kepada seluruh stakeholder untuk mengimplementasikan langkah-langkah soft approach dalam menanggulangi terorisme.
“Hard power approach itu tidak menyelesaikan masalah. Malah membuat sel-sel baru terorisme dan kebencian yang ada. Satu orang yang kita jadikan sasaran, seluruh keluarganya benci sama kita. Jadi ‘isme’nya yang kita terapkan, bukan terorisnya,” jelas Suhardi.
Kepala BNPT menyampaikan bahwa Undang-Undang Terorisme yang dimiliki Indonesia pada dasarnya sudah sangat lengkap, karena sudah mencakup tiga hal terkait penanganan terorisme, yaitu pencegahan, penegakan hukum, serta kompensasi/penanganan korban. Namun, tetap perlu adanya perhatian khusus pada beberapa hal yang tidak terkait dengan tindak terorisme secara langsung.
Pertama adalah inspired man atau orang yang menginspirasi untuk melakukan tindak pidana, yang juga harus ditindak secara hukum, karena dia bisa saja diam tetapi dia memprovokasi orang untuk melakukan kejahatan. Kedua, orang-orang yang melakukan latihan dengan perangkat-perangkat kejahatan, seperti senapan angin dan panah, sebab belum ada hukum yang menjangkau hal tersebut. Ketiga, orang-orang yang pulang dari konflik area yang selama ini hanya diberikan program deradikalisasi selama satu bulan.
“Siapa bisa menjamin, orang jadi radikal tahunan kok dikasih deradikalisasi satu bulan. Sekarang orang kembali daerah konflik sudah bisa ditindak,” ujarnya.
Keempat, konten-konten sosial media yang memprovokasi untuk turut melakukan tindak terorisme. Serta kelima adalah orang-orang yang menjadi anggota dari organisasi terlarang, sebaiknya juga dijangkau oleh aturan hukum.
Regulasi lain yang perlu menjadi perhatian terkait penegakan hukum dalam bidang teroris adalah penempatan 200 narapidana terorisme yang saat ini tersebar di 102 lembaga pemasyarakatan. Fenomena yang saat ini terjadi, banyak tahanan terorisme yang tersebar tersebut memiliki kesempatan untuk menyebarkan paham terorisme kepada tahanan yang lain, serta mengancam aparat.
Di sisi lain apabila semua tahanan teroris disatukan dalam satu lembaga pemasyarakatan akan memiliki risiko tinggi untuk membentuk ‘universitas’. Menurut Komjen Suhardi Alius, membuat cluster-cluster Lapas mulai dari yang low hingga high risk dapat menjadi solusi.
Pada kesempatan itu, Kepala BNPT juga menyampaikan harapannya untuk dapat bersinergi dengan MPR RI melalui aturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya.
“Dari identifikasi masalah, begitu banyak akar masalah dari terorisme apabila tidak dikelola dengan peraturan perundang-undangan yang baik dan tepat. Kita harapkan dengan perangkat aturan perundang-undangan yang ada, MPR bisa mengkreasikan supaya itu bisa menyentuh semuanya sehingga kita dapatkan satu pola treatment yang pas untuk mengatasi masalah terorisme,” pungkasnya.