Jakarta – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH memaparkan strategi nasional penanggulangan terorisme di forum International Exhibition of Home Land Security 7th Edition di Singapura, Rabu (5/4/2017). Selain itu juga dipaparkan langkah-langkah penanggulangan terorisme yang telah dijalankan BNPT. Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura K. Shanmugam dan Dubes Prancis untuk Singapura Marc Abensour., serta delegasi dari berbagai negara.
“Kami menggunakan dua langkah dalam penangguangan terorisme yaitu soft approach (pencegahan) dan hard approach (penindakan),” ujar Komjen Suhardi Alius di depan peserta dari berbagai negara itu.
Komjen Suhardi Alius menjelaskan langkah pencegahan itu antara lain dengan deradikalisasi dan kontra radikalisasi, sedangkan penindakan menggunakan aturan hukum yang berlaku di Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia (HAM). Dalam melakukan pencegahan BNPT bersinergi dengan lembaga dan kementerian terkait, pemerintah daerah, pimpinan daerah, psikolog, sosial, dan masyarakat.
“Harus diakui saat ini generasi muda yang terkena ‘virus’ ideologi radikal terus meningkat. Karena itu, salah satu kontra radikalisasi yang kami lakukan adalah dengan merekrut generasi penggiat media sosial dan internet untuk menjadi duta damai di duna maya. Mereka bertugas menyebarkan pesan-pesan damai dan positif dengan bahasa anak muda di media sosial dan internet. Itu akan lebih efektif dalam melindungi dan menyadarkan generasi muda dari propaganda radikalisme dan terorisme,” ungkap Suhardi Alius.
Selain itu, BNPT juga melibatkan para mantan kombatan yang sudah bertobat untuk menyempurnakan program deradikalisasi, baik bagi napi terorisme di dalam Lembaga Pemasyarakat (Lapas) maupun mereka yang sudah bebas. BNPT juga memberikan pelatihan keterampilan kewirausahaan bagi keluarga mantan teroris, beasiswa bagi anak-anak mereka. Itu dilakukan agar mereka tidak terpinggirkan dan bisa diterima di masyarakat sehingga tidak kembali lagi ke jaringan lamanya.
“Kami juga merangkul organisasi kemasyaratan (Ormas) moderat terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah untuk meluruskan pemahaman keagamaan yang selama ini keliru ditafsirkan para mantan tersebut,” tutur Suhardi.
Komjen Suhardi Alius menegaskan bahwa terorisme adalah ancaman global sehingga butuh kerja keras negara-negara internasional, khususnya negara yang menghadiri International Exhibition of Home Land Security 7th Edition ini. Menurutnya, tak satu pun negara yang kebal. Terbukti tahun lalu, aksi terorisme menghantam beberapa penjuru dunia seperti di Dacca (Bangladesh), Bangkok (Thailand), Nice (Perancis), Istanbul (Turki), Brussel (Belgia), New York (Amerika Serikat), London (Inggris), dan ibukota Indonesia, Jakarta.
Namun sejauh ini, papar Suhardi, aparat Indonesia berhasil melakukan deteksi dini untuk meminimalisasi aksi terorisme. Contohnya, pengungkapan rencana bom panci di Bekasi dan beberapa hari lalu, 8 anggota teroris di 5 tempat berbeda di Jawa Barat dan Banten berhasil dibekuk aparat. Kelompok ini terkait dengan teror bom di Samarinda yang tengah berencana membuat kamp pelatihan di Maluku Utara.
Pada kesempatan itu, Komjen Suhardi juga memaparkan fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF). “Sama dengan yang terjadi di negara Anda, kami juga menghadapi ancaman kelompok radikal, ISIS. Pasalnya, mereka sangat aktif merekrut Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi bagian mereka dan ikut berperang di Suriah dan Irak sebagai FTF,” ungkap Komjen Suhardi Alius.
Tercatat ada FTF Indonesia yang menjadi komandan ISIS di Suriah yaitu Bahrunnaim, Bahrumsyah, dan Abu Jandal. Mereka adalah otak dari aksi terorisme yang dilakukan kelompok Santoso atau Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan teror bom Thamrin. Abu Jandal dikabarkan telah tewas November lalu di Suriah, begitu juga dengan Bahrumsyah yang dilaporkan tewas saat melakukan aksi bom bunuh diri bulan lalu. Namun kedua kabar itu masih belum terkonfirmasi kebenarannya.
Sebenarnya, lanjut Suhardi, untuk urusan FTF ini Indonesia sudah cukup berpengalaman. Ia mengungkapkan dari 1985-1992 sekitar 192 WNI yang pergi ke Afganistan untuk bergabung dengan kelompok militan, Al Qaeda. Saat kembali ke Indonesia, merekalah yang melakukan aksi-aksi terorisme dalam kurun waktu tahun 2000-2005.
Menurut Suhardi, motivasi mereka seja dulu tidak berubah yaitu akan mengganti ideologi negara Indonesia dengan ideologi mereka. Namun sekarang, proses perekrutan anggota teroris itu berubah. Kalau dulu melalui cara konvensional seperti dakwah, sekarang mereka memanfaatkan kemajuan teknologi melalui internet dan media sosial. Target mereka pun kini banya menyasar kaum intelektual, pegawai negeri, mahasiswa, dan pelajar. Begitu juga aksi mereka, kalau dulu mereka beraksi dengan cara berkelompok, sekarang mereka banyak melakukan aksi sendirian (lone wolf).