Jakarta- Untuk pertama kalinya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menginisiasi program brilian dengan mempertemukan korban terorisme (penyintas) dengan mantan narapidana terorisme yang dikemas dalam sebuah bentuk kegiatan yang bernama “Silaturahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (SATUKAN NKRI). Diharapkan silaturahmi ini menjadi langkah awal dalam menciptakan perdamaian abadi di Indonesia.
“Ada tiga pilar utama dalam kegiatan ini yaitu mantan pelaku, para penyintas dan media. Kita harapkan dengan kegiatan ini kita bersama dapat bersinergi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyempurnakan RUU Terorisme.” tegas Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius M.H saat memberikan paparan di pembukaan hari terakhir kegiatan di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/02/2018).
Menurutnya, para penyintas sepenuhnya adalah tanggung jawab negara. Jadi, ketika terjadi peristiwa terorisme, negara harus pr-aktif menangani korban. Dalam mengoptimalkan pemenuhan tanggungjawab tersebut, BNPT tengah mengupayakan penyempurnaan terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan pendekatan lunak (soft approach) dalam revisi RUU Terorisme sehingga upaya pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi dapat berjalan lebih maksimal. Hal lain juga mengupayakan proses pencairan dana medis untuk para korban agar tidak terhambat oleh birokrasi.
Suhardi berharap RUU yang tengah disusun ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang efektif bagi penanggulangan terorisme yang lebih mengandalkan pendekatan lunak dan kemanusiaan.
Pada kegiatan itu hadir para menteri terkait seperti Menkopolhukam Wiranto, Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Riset Dikti Prof. Muhammad Nasir, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii, dan Ketua Forum Pemimpin Redaksi Suryopratomo, serta perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Kesehatan.
Terkait dihadirkannya media dalam kegiatan ini, mantan Kabareskrim Polri ini menyatakan salah satu yang dibutuhkan oleh kelompok teror adalah publisitas atas aksinya. Media kerap dimanfaatkan untuk mengamplifikasi ketakutan massal di tengah masyarakat.
“Oleh karena itu diperlukan materi jurnalisme yang membangun dan menjadi penebar perdamaian. Kami meyakini bahwa rekan-rekan media memiliki kapabilitas untuk menciptakan jurnalisme damai dengan prinsip persaudaraan dan kemanusiaan.” tegas Alius.
Suhardi menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan implementasi bahwa pemerintah memiliki keinginan bersama untuk memulihkan hubungan antar masyarakat yang sempat kurang harmonis. Oleh sebab itu perdamaian adalah kunci untuk memulihkan hubungan di antara bangsa Indonesia.
Karena itulah, Suhardi berharap silaturahmi ini menjadi sarana perekat yang lebih menguatkan semangat dalam toleransi antar agama dan antar kultur di Indonesia. Untuk menyuarakan semangat perdamaian itulah dibutuhkan rasa empati di antara semua pihak.
“Rangkaian kegiatan ini dapat memberikan contoh kepada rakyat Indonesia bahwa saling menghargai, saling memahami, menjalin silaturahmi serta komunikasi yang baik adalah langkah awal untuk menciptakan perdamaian.” tutup Alius.