Praha – Aksi radikal terorisme tidak bisa diasosiasikan atau distigmakan dengan ideologi agama tertentu, suku, bangsa, maupun suatu kewarganegaraan. Karena pada dasarnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan ajaran radikalisme termasuk mengajarkan tentang kekerasan.
Hal tersebut dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, saat melakukan pertemuan dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Ceko dan Diaspora Indonesia di Wisma Duta, KBRI di Praha, Republik Ceko, Jumat (28/11/2019). Acara tersebut merupakan rangkaian dari kunjungan Kepala BNPT ke Praha, dimana sebelumnya bertemu dengan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Republik Ceko, Jakub Kulhanek.
“Bahkan dalam forum internasional termasuk di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pun saya katakan bahwa jangan stigmakan agama tertentu dalam kasus terorisme ini. Karena itu adalah pemahaman agama yang salah tafsirkan. Bahkan saat ini PBB telah mencoba merubah istilah terrorism menjadi Violent Extremism,” ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius.
Lebih lanjut Kepala BNPT menjelaskan bahwa selama ini dirinya telah merumusukan konsep radikaslisme di Indonesia dalam empat unsur, yaitu intolernasi, anti Pancasila, anti NKRI, dan Paham Takfiry atau paham mengkafirkan orang lain selain kelompoknya. Untuk itu, BNPT pun saat ini menggunakan metode soft approach dalam menangani permasalahan terorisme.
“Mengapa harus menggunakan pendekatan secara halus? Menilik kasus Bom Bali lalu bahwa aksi kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, karena bisa menimbulkan rasa dendam dan kebencian. Untuk itulah kami mencoba menerapkan pola soft approach. Kita sentuh mereka dengan hati Metode ini juga sudah kami sampaikan di berbagai belahan dunia, yakni dalam setiap pertemuan tingkat tinggi,” kata mantan Kabareskrim Polri ini.
Menurut alumni Akpol tahun 1985 ini, kekerasan tentunya juga bisa diselesaikan dengan kebaikan dan sentuhan-sentuhan kepada para pelaku tindak terorisme. Hal ini agar para pelaku tindakan terorisme ini dapat sadar dan memahami bahwa jalan yang mereka tempuh adalah salah.
“Tidak mudah memang, namun ini butuh bantuan dari berbagai pihak. Salah satunya diaspora dan mahasiswa yang berada di luar negeri sebagai agen pemerintah Indonesia untuk bisa menyampaikan hal-hal yang baik tentang Indonesia,” ujar mantan Kapolda Jawa Barat ini
Lebih lanjiut mantan Kepala Divisi Humas Polri ini menjelaskan, jika dilihat dari sejarah Indonesia, sifat kebangsaan itu sudah lahir sejak 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1928. Dimana para pemuda saat itu telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang merupakan hasil pemikiran tentang pentingnya jiwa kebangsaan, persatuan antar ras dan suku yang berbeda, serta penguatan nilai-nilai moral bangsa.
“Artinya, perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan intoleransi, mengakui perbedaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman kebangsaan sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Sudah hampir 100 tahun bangsa ini mempertahankan nilai kebangsaan, dan jangan sampai nilai ini rusak hanya karena ego sektoral dan turbulensi politik yang justru memecah belah persatuan bangsa,” kata mantan Wakapolda Metro Jaya ini mengakhiri.
Ramah tamah Kepala BNPT dengan PPI Ceko dan Diaspora Indonesia di Republik Ceko ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari para audience kepada Kepala BNPT dan ditutup dengan makan malam bersama dan sesi foto bersama.