Jakarta – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan FPI dan Taliban sejatinya akidahnya bagus yaitu ahlussunah waljamaah. Tapi karena para pimpinan mereka salah bergaul dan terkontaminasi dengan kelompok salafi wahabi, seperti di Indonesia ada HTI dan Ikhwanul Muslimin, akhirnya secara wawasan kebangsaan mereka turut berubah menjadi radikalisme atas nama agama.
“Untuk diketahui bahwa fakta hampir semua teroris di Indonesia latar belakangnya berideologi latar NII dan salafi wahabi,” kata Ken di Jakarta, Senin (23/8/2021).
Bagi mereka, kata Ken, dalam bernegara harus menggunakan syariat Islam atau hukum Islam. Bila tetap pakai hukum KUHP yang bersumber dari Pancasila, mereka akan tetap memerangi pemerintahan siapapun presidennya.
Apa itu radikalisme atas nama agama ? Menurut Ken, itu merupakan sebuah paham keagaman atau pemikiran orang suatu kelompok yang kecewa terhadap kondisi pemerintah saat ini. Mereka menganggap pemerintahan dan produk hukumnya dianggap tidak berhukum Islam,. Karena itu mereka ingin mengubahnya dengan cara yang keras dan drastis tanpa mengikuti prosedur hukum dan konstitusi.
Ken menambahkan, FPI dan Taliban sama sama-sama selalu meneriakan penegakan Islam secara kaffah. Bercita cita menjadikan negara makmur dinaungi satu pemimpin atau khalifah yang amanah dari kelompok mereka. Walaupun faktanya di lapangan sering didapati antara tujuan dan realitas sangat berbeda.
“Kedua kelompok ini sama sama menggunakan politisasi agama, tukang sweeping. Bedanya Taliban sweeping pakai senjata langsung eksekusi, kalau FPI sweeping dan demo pakai pentungan saja, ” ungkapnya.
Kalau dipegangin senjata api seperti Taliban, Ken menyebut FPI akan lebih sadis. Faktanya banyak pengurus dan anggota FPI ditangkap densus 88 dengan tuduhan pasal terorisme.
Menurut Ken, politisasi agama yang ketara banget oleh kelompok FPI dan pelindungnya adalah Pilgub di beberapa dearah di Indonesia.
“Sebagai muslim, saya malu karena mereka menggunakan cara-cara kotor, sampai sampai tempat ibadah dan jenazah pendukung paslon berbeda tidak boleh disslatkan di masjid tertentu. Ini sudah kelewatan,” ujar Ken.
Tapi Ken mengpresiasi kebaikan dan kesantunan salah satu pemimpin hasil politisasi agama tersebut, walaupun dengan anggaran triliunan rupiah tapi tidak pernah pamer hasil dan prestasinya, walaupun kelebihan bayar dan beberapa proyek juga tidak pernah menagihnya.
“Ini kan luar biasa. Kalau jadi Presiden keren kayaknya, karena dilihat dia berambisi jadi Presiden. Tapinsaya tidak sebut nama loh,,” tutur Ken.
Ken mengapresiasi organisasi FPI dan HTI di Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah. Walaupun mereka metamorfosa dengan nama nama organisasi yang baru, paling tidak sudah ada keseriusan dalam menindak ormas radikal yang meresahkan tersebut. Ken menilai mereka itu ibarat ganti baju, tapi tidak mandi, jadi bau dan keberadaannya masih ada dan terasa.
“Aktor intelektual dibelakang layar dengan istilah 3C yang jelas tidak akan diam membiarkannya. Siapa mereka, cari jawaban sendiri,” tegas Ken.
Menurut Ken, pemerintah perlu membuat regulasi yang melarang dan menindak organisasi atau kelompok pengusung khilafah di Indonesia, Khilafah dinilai sama saja dengan membuat pemerintahan dan pemimpin baru didalam sebuah negara,. Dan sama saja makar.
Selama in,.ungkapnya, kelompok pengusung khilafah ini masih bebas menyebarkan pahamnya atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Hal inj dinilai sebagai kelemahan karena belum ada regulasi yang mengatur tentang pelarangan mereka.
“NKRI sudah final dengan Pancasila dan keberagaman dalam Bhineka Tunggal Ika, jangan otak atik dan ganti dengan ideologi lain kalau tetap ingin aman, damai dan kondusif,” kata Ken.
Menurut Ken, kelompok dan pendukung radikal cenderung aktif dan dapat panggung dimana mana. Sementara yang mayoritas moderat nasionalis diam membiarkanya.
“Jika yang waras diam, maka kelompok Taliban Indonesia ini tidak mustahil akan berkuasa,” tandas Ken Setiawan