Jakarta – Beberapa waktu lalu, muncul kabar ada 15 Warga Negara Indonesia (WNI) diantara ratusan wanita tengah ditahan militan Kurdi di Suriah. Mereka disinyalir eks anggota ISIS yang telah kehilangan kekuatannya di Suriah dan Irak.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengaku telah mengetahui kabar itu. Namun sejauh ini, Kemenlu belum bisa memverifikasi status kewarganegaraan 15 orang yang diduga warga Indonesia (WNI) yang ditahan Pasukan Kurdi di wilayah utara Suriah. Belasan WNI itu diduga pergi ke Suriah untuk bergabung dengan militan Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal mengatakan gempuran pasukan Suriah dan Turki di perbatasan saat ini semakin membuat situasi tidak kondusif untuk berkomunikasi dengan belasan WNI yang terindikasi berada di wilayah itu.
“Karena kondisi keamanan di Suriah sangat tidak kondusif saat ini, komunikasi juga sangat sulit. Sampai saat ini kami belum bisa verifikasi apakah mereka benar WNI dan bagaimana latar belakang keberangkatan mereka bisa sampai ke sana,” kata Iqbal dalam jumpa pers di Kemlu RI, Kamis (8/3).
Sulitnya akses dan komunikasi ke sana, Iqbal membuat pihaknya belum bisa menyusun rencana untuk merespons keberadaan belasan orang yang diduga WNI tersebut.
“Kami belum bisa susun rencana lebih lanjut untuk saat ini,” katanya.
Iqbal mengatakan informasi awal mengenai belasan WNI yang ditahan ini sebenarnya sudah diketahui sejak Desember lalu. Namun,pemerintah belum bisa merespons karena situasi yang tidak memungkinkan.
“Berdasarkan informasi yang kami terima, belasan WNI ini pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS,” ujarnya.
Kabar belasan WNI diduga ISIS ini terungkap melalui laporan kelompok pemerhati HAM, Human Rights Watch (HRW). Laporan terbaru HRW menyebut sedikitnya 800 warga asing terduga ISIS ditahan pasukan Kurdi di Suriah Utara. Di antaranya adalah 15 perempuan Indonesia dan seorang warga Malaysia.
Sebagian besar dari mereka diyakini ditahan bersama anak-anaknya. Meski demikian, pasukan Kurdi memberikan kebebasan terbatas, tapi tetap tidak diperkenankan keluar kamp tahanan.
HRW tidak mengetahui ada warga negara Asia Tenggara lain di kamp-kamp tahanan pasukan Kurdi itu atau tidak. Mereka hanya menyebut, ratusan warga asing itu juga mencakup orang dari Perancis, Jerman, Kanada, Inggris, Tunisia, Turki, Australia, dan Yaman.