Kembali Pada Pancasila, Upaya untuk Membangun Indonesia Damai Terhidar dari Perpecahan

Kembali Pada Pancasila, Upaya untuk Membangun Indonesia Damai Terhidar dari Perpecahan

Jakarta – Akhir-akhir ini suasana harmonis, rukun dan damai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia mulai terusik. Di tengah suasana politik yang sedang memanas menjelang pemilihan umum Presiden (Pilpres) dan Legislatif (Pileg), berbagai isu konflik sosial terhadap diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik yang mencoba memecah belah persaudaraan kebangsaan masih saja muncul

Padahal harmonis, rukun dan damai adalah karakter kehidupan bangsa Indonesia yang tercermin dalam filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Sepanjang sejarah keberagaman yang damai ini terjalin dalam bingkai persaudaraan berbangsa dan bertanah air. Konflik sosial yang muncul pada hakekatnya adalah benturan antara kelompok-kelompok di masyarakat yang terprovokasi untuk melakukan kekerasan dalam banyak bentuk terutama berawal dai ujaran kebencian.

Oleh karena itu, spirit untuk membangkitkan Indonesia sebagai negara yang damai dengan memiliki karakter rukun, harmonis, toleran dan guyub tentunya masyarakat kita harus kembali menanamkan dan mengamalkan ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si.

“Tentunya kita harus kembali pada Pancasila. Karena Pancasila adalah rumusan yang paling maksimal yang sudah dibikin oleh para founding father’s kita ketika dia paham bahwa negara ini didirikan oleh kelompok-kelompok yang berbeda atas suku, agama, ras, keturunan dan kepentingan macam-macam, majemuk sekali,” ujar Prof Dr. Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Dirimya mencontohkan ketika para foundung father’s membuat rumusan Pancasila terutama sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana Soekarno dalam pidatonya saat itu, Masyarakat dipersilakan memeluk agama sesuai dengan pemahaman masing-masing, yang mana kita semua saling menghormati, dengan begitu Spiritnya adalah memang tidak membawa agama ke politik. Karena kalau agama dibawa ke politik, nanti akan dipakai untuk memukul kelompok lain yang tentunya dapat memecah belah.

“Jadi agama itu ditaruh sebagai sesuatu penghormatan kepada pemeluknya masing-masing untuk menjalankan, sehingga diberi kebebasan beribadah, saling menghormati dan tidak untuk diperdebatkan. Dimana dimata para pemeluknya, agama itu sesuatu yang agung. Jadi kita bisa guyub,” ujar Hamdi Muluk menjelaskan .

Ketika Pancasila didirikan menurutnya, maka dengan sendirinya gagasan tentang negara agama, negara khilafah dan seterusnya dengan sendirinya sudah tertolak. Karena kalau misalnya menjadi negara Islam nanti di sebelahnya juga akan ada negara Kristen, negara Hindu dan negara sebagainya.

“Jadi ini sudah kesepakatan. Kalau kita betul-betul menghayati kembali Pancasila, maka perdebatan mengenai perbedaan itu tidak akan ada lagi. Jadi itu sudah jangan di utak-atik lagi, pancasila itu sudah final, bahwa kita NKRI itu sudah final, kita sudah ada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kita menghormati kemanusiaan yang universal,” ujar pria yang juga anggota keompok ahli BNPT bidang Psikologi ini.

Dalam pengamatanya selama ini, salah satu timbulnya perpecahan itu dikarenakan adanya ujaran kebencian. Oleh karena itu dirinya sependapat kalau ujaran kebencian itu harus dilarang, karena pada hakikatnya ujaran kebencian itu adalah kekerasan melalui ucapan yang bisa memancing emosi orang dan dapat membuat orang menjadi marah.

“Konflik sosial itu merupakan pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dengan identitas seperti agama, suku, ras yang bermacam-macam di negara majemuk seperti Indonesia ini. Misalnya curiga mencurigai tentunya itu juga sudah merupakan bibit konflik, lalu terbentuk prasangka prasangka, kemudian meningkat menjadi intoleransi atau sikap tidak senang terhadap kelompok lain, lalu timbullah intoleransi melalui ujaran kebencian,” ujar Hamdi

Menurut Hamdi, dengan tidak mau bertoleransi maka nantinya akan timbul tindakan-tindakan lain seperti persekusi, diskriminasi ataupun tindakan-tindakan lain seperti mulai menjarah atau melakukan kekerasan kekerasan fisik. “Kalau ini tidak terkendali tentunya akan menjadi konflik sosial. Hal ini tidak boleh dianggap enteng soal kekerasan verbal itu terhadap kelompok-kelompok identitas itu,” kata Hamdi Muluk.

Pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 ini melihat, dengan membawa soal identitas baik agama, suku, agama ataupun antar golongan ke dalam ranah politik, maka hal tersebut sama halnya dengan memancing konflik. Karena dalam sejarah konflik di dunia, politik yang membawa identitas agama dan suku itu tentunya akan sangat mematikan dan paling berbahaya.

“Kombinasi agama dan suku itu sungguh sangat berbahaya. Oleh karena itu politik yang bermartabat yang tidak akan memecah belah tentunya sebaiknya politik itu tidak membawa dua label itu, kalau mau dibilang bagus itu misalnya tidak ada partai berdasarkan suku atau partai berdasarkan agama,” ujarnya.

Kalaupun ada partai yang bernafaskan agama atau bernafaskan mengambil cita-cita luhur agama itu tentunya diperbolehkan. “Karena di semua agama tentunya nilai-nilainya juga sama, karena semua agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, supaya hidup selamat di dunia dan akhirat itu semua agama sama mengajarkan hal seperti itu,” ujar pria yang juga Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi UI ini.

Sejatinya menurutnya, urusan politik sebenarnya itu hanya soal urusan bagaimana kompetisi antar partai-partai politik itu dalam menjual gagasannya ke masyarakat baik gagasan, program, cita-cita, visi misi yang ditawarkan, yang mana itu berbeda antara partai satu dengan partai yang lain. Partai juga akan menawarkan orang yang dianggap mumpuni untuk menjalankan program tersebut baik di tingkat eksekutif yakni Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan juga Legislatif.yang akan menjalankan program tersebut. Dan hal tersebut memang sebenarnya sangat wajar supaya masyarakat punya pilihan.

“Tapi yang harus diketahui bersama, yang mana semua itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama atau suku. Jadi secara hakikat sebenarnya tidak perlu membawa agama dan suku. Tentunya ada masalah ketika membawa identitas agama dan suku dijadikan ‘stempel’ yang oleh kelompok-kelompok politik tertentu atau partai tertentu agama ini di mata pendukungnya itu sakral dan tidak boleh dikritik. Karena kalau dikritik oleh penganut agama yang lain, tentunya ini yang menjadi problem selama ini dan itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk memperkeruh suasana,” ujarnya

Untuk itu menurutnya, sebagai upaya untuk membangun kembali Indonesia yang Damai tentunya diperlukan usaha keras. Dimana seleuruh elemen bangsa harus dapat mewujudkan faktor-faktor struktural sedikit demi sedikit seperti ekonomi, pendidikan, kesejahteraan maupun infrastruktur yang dijaga dan berjalan dengan baik. Tak hanya itu, aturan juga harus ditegakkan selain kesejahteraan maupun pendidikan di masyarakat diperbagus.

“Dan tentuya ketegangan ketegangan yang tidak perlu seperti politisasi agama, suku juga harus dihilangkan. Pendidikan yang lebih enklusif kita galakkan, kontak kontak antar budaya diperbanyak, komunikasi antar kelompok masyarakat jalan, toleransi dijaga, tentu itu semua hasil akhirnya adalah damai,” katanya.

Untuk itu menurutnya, hanya dengan cara kembali pada Pancasila, negara ini bisa mencegah perpecahan perpecahan itu. Dirinya juga memuji apa yag dilakukan Kepala BNPT, Komjne Pol Drs Suhardi Alius, yang selalu aktif memberikan kuliah umum kepada para mahasiswa baru terkait Resonansi Kebangsaan.

“Resonansi Kabangsaan itu salah satu cara yang bagus untuk melawan gerakan gerakan radikal untuk mengganti negara ini. Kebangsaan kita ini harus kita jaga bersama, kalau kebangsaan itu sudah tertanam kuat, kalau ada provokasi provokasi, indoktrinasi untuk menghajar republik ini kita semua sudah punya daya tangkalnya,” katanya mengakhiri.