Keluarga Menjadi Garda Terdepan dalam Melindungi Anak Usia Dini agar Terhindar dari Radikalisme

Jakarta –Beberapa waktu lalu ditemukan kasus kirab anak-anak di Jawa Timur dengan simbolisasi perjuangan agama melalui kekerasan. Hal tersebut tentunya menyadarkan kita semua bahwa penanaman pemahaman radikalisme ternyata dimulai sistimatis sejak usia dini.  Bahkan kasus lain juga ditemukan unsur narasi kekerasan dalam pelajaran sekolah anak usia dini.

Hal tersebut tentunya sudah sangat berbahaya apabila penanaman radikalisme seperti intoleransi, penamanam militansi kebencian terhadap orang lain dan sikap acuh serta apatis terhadap kebangsaan sudah ditanamkan sejak dini. Padahal anak-anak adalah investasi bangsa Indonesia di masa depan.

Untuk itu keluarga melalui orang tua sangat berperan penting dalam membentuk karakter anak sejak usia dini agar ideologi-ideologi permaham radikal yang berkonotasi negatif seperti intolerasi, anti Pancasila dan anti NKRI tidak menyebar ke kalangan anak-anak apalagi melalui menyebar melalui sekolah.

“Anak-anak usia Playgroup, TK, SD seperti itu memang masih punya keterbatasan pola pikir, sehingga mereka biasanya apa yang dia lihat, maka itu yang dia tiru tanpa melalui saringan yang lebih kritis seperti halnya orang dewasa. Untuk itu anak sangat butuh pendampingan orang tua dari apa yang mereka dengar dan  lihat,” ujar Psikolog anak dan keluarga, Putri Langka, M.Si, Psi di Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Dikatakan Putri, bahkan tontonan di media sekarang ini kadang-kadang juga tidak bersahabat sehingga semua berita yang ditayangkan seperti adanya ujaran kebencian dan sebagainya seakan-akan mudah ditiru oleh anak-anak.

“Dan itulah fungsi orang tua untuk mendampingi  anaknya supaya anak tersebut bisa memilah-milah mana yang boleh dilakukan anak dan tidak boleh dilakukan. Dan bahasa yang disampaikan ke anak pun juga yang  sederhana agar mudah diterima oleh anak tersebut,” ujar wanita yang serimg menghiasi layar televisi dalam acara konsultasi psikologi anak dan keluarga ini.

Dirinya melihat kasus bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu dalam satu keluarga yang juga melibatkan anak dibawah umur tentunya menjadi sesuatu yang sangat miris. Memang menurutnya orang tua harus mengajarkan kepada anaknya untuk masuk surga, namun bukan dengan ajaran agama yang salah untuk melakukan jihad yang berujung melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.

“Dan untuk mencegah radikalisme pada anak tentunya cegah dulu orang tuanya. Orang tua seperti ini justru perlu mendapatkan wawasan kebangsaan lebih dulu, yang perlu diajarkan mengenai toleransi dan mendapatkan pemahaman agama yang penuh. Karena dengan begitu mereka bisa mengarjakan hal tersebut kepada anaknya,” ujar wanita yang juga dosen Fakultas Psikologi Universita Pancasila ini.

Selain itu menurutnya, peranan guru di sekolah juga menjadi hal yang terpenting karena lingkungan anak setelah rumah adalah sekolah. Guru-guru di sekolah harus punya wawasan kebangsaan dan memiliki  toleransi yang tinggi, karena hal tersebut akan dicontoh juga oleh anak-anak  itu. “Untuk menjadi guru juga harus sangat hati-hati, karena  apa yang ditampilkan dan diucapkan itu pasti akan ditiru oleh murid-muridnya,” ujar wanita kelahiran Surabaya, 14 April 1980 ini.

Dirinya juga pernah mendengar bahwa ada kasus orang tua mengajak anaknya yang masih usia 5 tahun ke sebuah pusat perbelanjaan namun ditolak oleh sang anak dengan alasan menurut gurunya pusat perbelanjaan tersebut adalah tempat orang-orang yang tidak sama dengan agama yang dianutnya. Dan orang tua perlu menanyakan maksud dari yang disampaikan anak tersebut

“Mungkin anak-anak cuma menyampaikan saja tanpa tahu maksudnya apa. Dan orang tua perlu tahu juga siapa yang menyampaikan, katakanlah kalau anak itu dapat dari sekolah, harus kita cari sumbernya dimana? Orang tua boleh untuk datang ke sekolah untuk kemudian mendiskusikan itu kepada pendidik yang ada di sekolah. Jangan dibiarkan,” ujar wanita yang memiliki nama panjang Maharani Ardi Putri ini  .

Untuk iru menurut ibu dua anak ini, perekrutan guru juga sangat menentukan agar guru nantinya tidak menyebarkan paham paham radikal negatif tersebut terhadap anak didiknya. Apalagi anak-anak itu bisa dikatakan sangat percaya sama gurunya kalau di sekolah dibandingkan sama orang tuanya,

“Karena kalau saya melihat beberapa kasus justru ada beberapa guru yang mungkin malah mengatakan hal-hal yang terlalu ekstrem. kadang-kadang mereka lebih melihat apa yang dikatakan gurunya itu adalah benar. Ini yang bahaya kalau dibiarkan, tentunya harus diawasi. Sekolah harus sangat selektif untuk memilih guru,” ujar alumni Pasca Sarjana Universitas Indonesia ini

Selain itu menruutnya perlu juga adanya standar kurikulum pendidikan buat anak usia dini yang dibuat pemerintah agar paham-paham radikal itu tidak masuk ke anak-anak “Perlu ada kurikulum tentang menanamkan Wawasan kebangsaan, Pancasila untuk usia playgroup, TK, SD. Kalau hanya diajarkan di level pendidikan tingkat atas tentunya akan sangat terlambat. Itu harus diajarkan sedini mungkin,” ujarnya

Dan caran penyampaianya pun menurutnya  juga disesuaikan dengan tingkatan anak-anak yang akan diajarkan sehingga akan terlihat menarik bagi anak-anak untuk bisa memahami dengan baik seperti melalui cerita, kartun , film dan segala macamnya.

“Jadi anak-anak bisa familiar dulu untuk melihatnya. Bahwa nanti mereka akan mendapatkan informasi yang lebih lagi sejalan dengan mereka naik tingkatannya, maka mereka akan mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Tapi kalau kita itu tidak memulai dari bawah tenrtunya akan susah menanamkan rasa kebangsaan bagi anak-anak kita,” kata wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Ventura Universita Indonesia

Demikian pula dalam memilih sekolah, orang tua juga harus bisa memilih dengan baik mulai dari basic sekolah tersebut, kurikulum maupun gurunya agar anak tidak terjerumus ataupun terpapar hal-hal yang negatif. Misalnya sekolah tersebut tidak mengajarkan anak-anak untuk ekstrem dan kekerasan yang dapat merugikan banyak orang.

“Karena bisa jadi kurikulumnya bagus, apa yang diajarkan juga bagus, tapi cara menyampaikannya ternyata tidak tepat itu kemudian akan menjadi permasalahan lagi,. Misalkan soal agama, dulu kita diajarkan cerita-cerita nabi dan segala macamnya. Sekarang ini yang mulai diajarkan adalah mengenai setan atau dajjalnya, saya rasa untuk anak-anak seusia TK, SD belum perlu untuk tahu seperti itu, mereka harus lebih tahu tentang hal-hal yang positif dari sebuah agama,” ujarnya

Untuk itu dirinya berpesan bahwa keluarga adalah tempat pertama mendidik anak. Oleh karena itu orang tua memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk mengajarkan anak-anak, dan secara lebih luas adalah mengajarkan generasi yang nantinya akan membangun bangsa ini.

“Mari kita ajarkan anak-anak kita cara menghormati, bagaimana bersikap santun, bisa menerima perbedaan dan bertolerasi satu dengan yang lainnya. Sehingga nantinya anak-anak itu menjadi generasi yang tangguh dan tahu bagaimana mencintai Indonesia. Karena Indonesia yang damai adalah tempat tumbuh yang terbaik untuk anak-anak kita,” katanya mengakhiri