Kelompok Radikal Mulai Kehabisan Akal

Gaung kelompok pengusung radikalisme mulai meredup karena kebenaran tidak bisa selamanya mereka tutup. Masyarakat mulai tahu bahwa alasan agama yang selalu digunakan dalam setiap aksi kekerasan dan rangkaian kekejian tidak lebih dari sekedar tipuan murahan. Hal ini tentu berimbas pada menyurutnya dukungan publik terhadap setiap aksi dan kampanye oleh gerakan radikalisme. Di lain sisi, kampanye agama yang lebih membumi, menyentuh masalah sosial yang relevan dan proporsional, juga semakin gencar dikumandangkan. Hal ini membantu masyarakat untuk kembali melihat agama dalam wajah yang sesungguhnya; yang menenangkan dan mendewasakan.

Kelompok-kelompok yang selama ini mengaku menegakkan syariat Islam namun dengan menghalalkan segala jenis kekerasan mulai kehabisan akal dalam membujuk masyarakat untuk membela dan bahkan mendukung aksinya. Isu global yang sedang berkembang juga semakin jelas menunjukkan bahwa rentetan peperangan dan parade pembunuhan sama sekali bukan tentang agama. Unsur perebutan kekuasaan dan menumpuk kekayaan adalah motif utamanya, bukan agama.

Menyadari posisinya yang mulai kehilangan taji di mata masyarakat, para pemelintir pesan damai agama ini mulai menyusun strategi baru. Mereka tidak lagi menebar ancaman untuk membuat masyarakat ketakutan, mereka kini rajin mengais-mengais berita yang tidak jelas akuntabilitasnya hanya untuk membuat masyarakat resah. Mereka misalnya, mulai rajin membesar-besarkan berita yang sebenarnya bukan merupakan fakta. Kesalahan kecil yang dilakukan pejabat negara akan langsung di-blow up sedemikian rupa seolah mereka benar-benar sedang merendahkan martabat negara dan –bahkan- agama.

Masyarakat kembali dicekoki dengan pemberitaan yang bukannya mencerahkan, tetapi malah membutakan. Melalui pemberitaan tersebut, mereka mengajak masyarakat untuk mulai sangat teliti terhadap kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh pejabat negara yang sedang berkuasa. Kesalahan-kesalahan tersebut kemudian dikumpulkan, tetapi bukan untuk dikoreksi, melainkan untuk dimaki.

Jenis ‘kesalahan’ yang dimaksud di sini adalah model kesalahan yang dibuat-buat. Asumsi utamanya adalah bahwa seluruh pejabat negara yang sedang berkuasa saat ini adalah kumpulan orang-orang yang bersalah, sehingga apapun yang mereka lakukan pasti ada sisi salahnya. Nah, sisi salah inilah yang kemudian mereka gali, jika ketemu, langsung di umbar; jika tidak ketemu, akan mereka plesetkan. Analisa tidak berdasar dan cenderung kasar mereka agung-agungkan demi menebar pandangan bahwa negeri ini akan mendekati kehancuran lantaran para pemimpinnya sudah jauh dari tuhan.

Berbagai pernyataan atau kebijakan pemerintah diputarbalikkan agar tampak selalu salah, masyarakat digiring untuk mulai mengira bahwa pemerintah benar-benar payah. Lupakan sejenak tentang perang dan ‘jihad’ di negeri lain nun jauh di sana (lagi pula isu ini sudah anjlok daya jualnya), mereka ganti strategi dengan meracuni bangsa sendiri melalui pemberitaan-pemberitaan yang minim akurasi. Meski harus tetap diakui bahwa agama tetap menjadi ‘jualan’ utamanya.

Akibatnya, apapun yang dilakukan oleh pemerintah akan dipandang salah dari perspektif agama. jokowi yang ketangkap kamera sedang makan sambil berdiri dan kebetulan menggunakan tangan kiri misalnya, tidak akan begitu saja mereka anggap sebagai sebuah kejadian yang sifatnya kebetulan. Mereka angkat kejadian itu dengan menanamkan pemahaman bahwa Jokowi sedang melakukan upaya nyata untuk menjatuhkan akhlak bangsa melalui cara makan yang tidak sesuai dengan kaidah agama.

Mereka pun kemudian membumbui pemberitaanya dengan deretan hadist dan teks-teks agama hanya agar tampak lebih jumawa. Di pemberitaan yang lain, mereka menyatakan bahwa dengan kejadian itu, maka Jokowi telah secara ‘resmi’ menjadi orang yang sangat berbahaya bagi Islam. lebih berbahaya daripada koruptor atau pembunuh sekalipun. Apalagi jika yang melakukan korupsi adalah kelompoknya sendiri, mereka akan mencak-mencak menolaknya dan balik menuduh negara sedang melakukan fitnah. Wagu? Memang!

Tapi –sekali lagi- jangan mengira bahwa para penebar berita di atas benar-benar sedang menegakkan ajaran agama, karena motif utamanya jelas, perebutan kekuasaan. Isu utama yang mereka usung adalah tentang delegitimasi pemerintah dengan cara mengkambing hitamkan kelompok yang menang pada pagelaran pilpres lalu. Sambil pelan-pelan menghidupkan kembali isu-isu lemah tentang kecurangan pada pilpres yang mereka tuduhkan pada Jokowi dkk.

Mereka ingin masyarakan berfikir bahwa selama ini kita telah ditipu mentah-mentah oleh pemerintah. Segala kesusahan dan kesumpekan yang kita alami adalah akibat dari pemimpin bangsa yang –mereka tuduh—anti agama.

Kelompok bebal itu kini telah nyata mengalihkan bidikan, tidak lagi kepada kelompok asing yang gemar mereka kafirkan, tetapi kepada pemerintah negeri sendiri yang mereka dustakan. Mereka berharap negeri ini berantakan, sehingga khayalan tentang negeri khilafah –atau apapun itu mereknya—bisa segera mereka mainkan. Tapi sayang, kini kita semua sudah tahu model akal-akalannya…