Kelompok Radikal Misinterpretasi Makna Hijrah

Direktur Pencegahan BNPT Drs. Brigjen Hamidin menegaskan bahwa kelompok radikal melakukan interpretasi makna hijrah. Hijrah menurut pemahaman umum dalam keagamaan adalah hijrah dari perilaku yang tidak baik menuju perilaku yang baik atau hijrah karena sesuatu yang sangat mendesak menuju ke hal yang lebih baik. Pemahaman yang salah itu mengakibatkan kelompok radikal memberikan pemahaman yang keliru tentang agama, seperti paham takfiri dimana mengkafirkan seseorang yang muslim jika tidak mengikuti pemahamannya. Semua orang kafir kecuali yang ikut pemahamannya

Menurut Dir. Pencegahan bahwa beberapa waktu lalu seorang ibu yang cukup paham agama mendatangi BNPT, meminta agar BNPT membantu mengembalikan anaknya yang sedang belajar disebuah pesantren karena pemikirannya yang keliru dimana ia menganggap ibunya seorang kafir karena tidak mengikuti pemahamannya.

Dalam doktrin terorisme tidak ada yang benar kecuali mereka, dan mengklaim pemahamannya sebagai pemahaman yang paling benar.

Doktrin ini kini sedang berkembang di tengah-tengah kita, dimana mereka sedang berusaha menyebarluaskan pemahamannya termasuk konsep mati syahid dan hijrah serta bid’ah dan khilafa.

Konsep-konsep ini kini sedang getol dipromosikan di Tanah Air melalui berbagai cara dan ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan khususnya kaum muda. Inilah salah satu contoh kongkrit fenomena yang sedang kita hadapi saat ini.

ISIS sangat mendukung konsep ini bahkan konsep khilafa yang sudah menghilang dari peredaran beberapa tahun lalu di Tanah Air kini tumbuh lagi setelah munculnya ISIS.

Ironisnya karena ISIS ikut menguasai media dan IT sehingga banyak yang tertarik masuk ke dalam kelompok ini. Ada beberapa hal yang membuat kelompok ini terus berkembang, antara lain adalah hubungan kerabat antara satu dengan yang lain sehingga mempermudah penyebaran pemahaman ini. Hampir semua pelaku bom baik di Indonesia maupun di tempat lain memiliki hubungan kerabat antara ataupun pertemanan antara satu dengan yang lainnnya.

Hubungan ini bukan saja berpengaruh pada tingkat koordinasi dalam melakukan aksi-aksi terror mereka, tetapi juga dalam propaganda mereka. Misalnya saat pemboman Thamrin tiba-tiba ada berita muncul tentang pemboman di tempat lain seperti di slipi dan lainnya sehingga membuat warga semakin ketakutan. Padahal setelah ditelusuri ternyata itu diberitakan oleh media yang cenderung mensuarakan dukungan kepada kelompok-kelompok radikal.

Dalam menyikapi perkembangan yang terjadi saat ini tidak mungkin dapat diatasi sendiri oleh Densus 88, tetapi membutuhkan sinergitas semua pihak terkait. Tanpa partisipasi semua pihak akan sulit menanggulangi fenomena ini. Persoalan utama yang kita hadapi minimnya sistem dan mekanisme kita dalam menghadapi ancaman terorisme.

China jauh lebih maju dalam mengantisipasi aksi aksi terorisme dibanding kita, selain karena dukungan pemerintah yang begitu kuat juga mekanisme pencegahannya sudah berjalan dengan baik.

Dir Pencegahan juga menjelaskan bahwa munculnya kebencian terhadap Densus 88, BNPT, dan Polisi merupakan akibat dari banyaknya website radikal yang secara massif melakukan provokasi terhadap intansi-intansi penanganan aksi terror tersebut.

Karena itu ia menekankan agar semua aparat khususnya kepolisian agar senantiasai tidak lalai dari setiap kejadian aksi terorisme. Apa yang terjadi di Timur Tengah juga akan terjadi di Tanah Air dan ini adalah bagian dari skenario mereka.