Jakarta – Pengamat Teroris dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara mengatakan meletusnya konflik di Suriah, Yaman, dan Myanmar disikapi berbeda oleh kelompok Islam radikal di Indonesia.
“Konflik di Suriah yang terjadi sejak 2011, merupakan konflik bersenjata terjadi antara kelompok oposisi melawan pemerintah Suriah yang dipimpin Bashar Assad,” katanya dalam diskusi paralel di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di Jakarta, Selasa (25/9).
Robi mengatakan bahwa dalam konflik tersebut, kelompok Islam radikal menilai konflik ini merupakan jihad. Pandangan ini muncul karena kelompok radikal menganggap bahwa Presiden Suriah Bashar Assad adalah Syi’ah.
“Mereka menganggap bahwa semua Syi’ah adalah sesat, dan kalau sesat maka wajib diperangi sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran),” katanya.
Apalagi kata Robi, Suriah merupakan wilayah yang disebut sejarah Islam sebagai Syam, wilayah yang dinubuatkan Nabi sebagai tempat perang akhir zaman.
“Karena itulah dalam menyikapi konflik di Suriah, tidak sedikit kelompok yang mengumpulkan donasi,” katanya.
Robi mencontohkan, misalnya Syam Organizer, Peduli Syam, Misi Medis Suriah, Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). HASI sendiri merupakan lembaga kemanusiaan yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI).
“Ketika imbauan donasi dibarengi dengan kata jihad, maka orang berbondong-bondong untuk berinfaq,” katanya.
Nah, respon lebih radikal muncul dari kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional seperti ISIS dan al-Qaeda. Mereka berbondong-bondong menyeberang ke Suriah untuk turut serta berperang atas nama jihad.
“Sikap terhadap diskriminasi muslim Rohingya di Myanmar hampir serupa dengan penyikapan konflik di Suriah,” katanya.
Peneliti di FISIP UIN ini mengatakan, sebetulnya semua Ormas Islam mengecam pemerintah Myanmar, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hanya saja kelompok muslim fundamentalis dalam unjuk rasa di Kedubes Myanmar turut menyerukan slogan jihad.
“Karena posisinya yang menjadi korban adalah muslim (Rohingya), sementara pemerintahnya beragama Budha,” katanya.
Sebaliknya, kata Robi, Respon berbeda terlihat dalam menyikapi perang di Yaman yang berlangsung sejak tahun September 2014 silam. Perang tersebut dipicu oleh pemberontakan suku Houthi yang merupakan sekte Syiah Zaidiyah melawan Presiden Yaman Abd Rabbo Mansour Hadi.
Konfllik itu lanjut Robi melibatkan Arab Saudi dalam menyerang kelompok Houti melalui serangan militer. Dalam konflik Yaman tidak ada ormas Islam Indonesia yang menyebut konflik di Yaman sebagai konflik agama, serta tidak ada kampanye ajakan berjihad ke Yaman.
“Ini kebalikan dari di Suriah, karena suku Houthi di Yaman berpaham Syiah dari sekte Zaidiyah,” katanya.
Perbedaan penyikapan ini, menurut Robi, bisa dibedah dengan teori representatif Stuart Hall.
“Ini tergantung kognisi yang dialami. Mereka berpendapat bahwa di luar sunni adalah sesat, apalagi beda agama. Pemikiran inilah yang membuat kelompok mereka tidak terbuka dengan soal-soal geopolitik dan lain sebagainya,” katanya.
Diskusi paralel ini merupakan bagian dari “International Conference on Religious Radicalism and Political Violence; Towards Nation-State Building” yang dilaksanakan di FISIP UIN Jakarta tanggal 25-26 September 2018.
Dalam konferensi internasional itu ada 61 paper yang dipresentasikan dalam 12 diskusi paralel.