Jakarta – Public civility atau kesantunan publik harus dikedepankan saat berdemokrasi seperti mengeluarkan kritik atau saran, agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Artinya, bila kritik atau saran itu dilontarkan atas dasar kebencian bisa menimbulkan permusuhan atau kebencian baru.
Pengamat Kebijakan Publik Dr. Trubus Rahardiansyah, SH, MH, MS, menyampaikan bahwa kalau melakukan kritik itu janganlah menyinggung pribadi seseorang. Karena menurutnya kalau sudah sampai menyinggung pribadi seseorang jadinya adalah pencemaran nama baik. Kemudian juga jangan menimbulkan atau membuat fitnah, karena jika mengarah ke fitnah, maka hal itu merupakan delik pidana.
”Jadi jangan melakukan fitnah dengan membuat pernyataan-pernyataan atau isu-isu yang sebenarnya belum tentu kebenarannya. Jangan juga membuat atau menciptakan berita-berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran atau meresahkan di masyarakat,” ujar Dr. Trubus Rahardiansyah, SH, MH, MS, di Jakarta, Kamis (18/2/2021).
Trubus yang juga Sekretaris Jenderal Himpunan Bina Mualaf Indonesia (Sekjen HBMI) mencontohkan informasi yang mengarah hoax seperti membuat penyataan yang seolah-olah di suatu tempat akan terjadi kerusuhan atau konflik sosial di tempat tertentu. Atau ada agama tertentu yang diserang oleh suatu masyarakat tertentu. Itu merupakan bentuk-bentuk berita bohong yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
”Dampak awalnya tentu sifatnya bisa secara mikro yakni lebih kepada ketidaksenangan pada pihak-pihak tertentu yang dianggap berbeda. Tapi kalau dampak secara luas tentunya bisa sampai terjadi konflik sosial, konflik kekerasan, hingga diskriminasi yang bisa berakibat pada penghilangan nyawa seseorang,” tutur Dosen Tetap di Fakultas Hukum Trisakti itu.
Menurutnya, untuk mengedepankan kesantunan di dalam berucap dan bertindak untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat ni sejatinya memiliki social capital atau modal sosial yang cukup tinggi. Modal sosial bangsa Indonesia seperti gotong royong dan toleransi. Untuk membangun gotong royong dan toleransi harus dilakukan dengan cara yang sering seperti dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat.
”Perlu dilakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dengan bermusyawarah dan dialog. Bukan sedikit-sedikit di bawa ke urusan hukum,” kata peraih gelar Doktoral bidang Ilmu Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia ini.
Selain itu, Trubus mengatakah, masyarakat perlu membangun penguatan toleransi sehingga orang itu tidak berperilaku radikal. Untuk itu harus dikedepankan kembali bahwa dengan demokrasi Pancasila bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah.
”Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang menghendaki masyarakat demokratis yang kritis. Tapi kritiknya harus memakai solusi, jangan sekadar mengatakan kekurangannya saja tapi tanpa ada solusi. Karena kalau sekadar mengomongkan kekurangannya saja semua orang tentu bisa. Tapi bagaimana solusinya itu yang lebih penting,” ucapnya.
Menurutnya, apa yang dimaksud presiden adalah kritik yang solutif, kritik yang membangun dan konstruktif, sehingga tidak memojokkan pihak pihak lain. Dengan begitu pihak tidak menjadi marah, tersinggung atau antipati.
”Jadi membangun masyarakat demokrasi ini merupakan tantangan kita bersama menuju Indonesia Emas di tahun 2045 mendatang, terutama terhadap para generasi milenial bangsa ini,” tutur Trubus.
Dia juga berpesan agar generasi milenial utamanya untuk anak dalam tingkat pendidikan SD, SMP, SMA harus dididik untuk memahami perbedaan-perbedaan, memahami toleransi agar memahami bahwa bangsa ini adalah Bhinneka Tunggal Ika.
“Menurut saya tantangan terberat itu ada pada pendidikan, bagaimana mendidik mereka agar moralnya santun, moral yang menegakkan nilai-nilai Pancasila, ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan. Demikian juga untuk pendidikan agama yang berbau ekstrim juga jangan ditampilkan,” pungkas Trubus.