Kearifal Lokal Sunda Dinilai Efektif Cegah Radikalisme & Terorisme

Bandung – Nilai kearifan lokal tanah Sunda dalam menjalani hidup keseharian dinilai efektif mencegah berkembangnya paham radikalisme yang mengarah kepada aksi terorisme. Salah satunya direpresentasikan melalui filosofi silih asih, silih asah dan silih asuh.

Pemaknaan yang lebih mendalam akan pandangan filosofis masyarakat Sunda tersebut dinilai relevan untuk disebarkan di tengah kondisi ketegangan suhu sosial politik di Indonesia, termasuk Jawa Barat. Belakangan ini, kondisi tersebut dinilai tengah mengarah pada polarisasi.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jawa Barat, Asep Salahudin, mengatakan sejak dulu masyarakat Sunda telah dikenal dengan keluwesan, keterbukaan, dan kelenterannya dalam menghadapi maupun merespons sesuatu yang datang dari luar.

Menurut Asep, sikap masyarakat Sunda yang serba terbuka, yang juga diinterpretasikan sebagai sikap angin-anginan, dapat terbentuk oleh kondisi historis masyarakatnya terdahulu yang sering berpindah-pindah tempat tinggal.

Masyarakat Sunda itu selalu bermigrasi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tidak ada sebuah ikatan yang mengharuskan tinggal di sebuah tempat. Makna simboliknya tidak ada keharusan untuk memegang satu aliran ideologi. Selalu bergeser kekuatan yang ada di Jabar ini. Tidak ada yang dominan, ujar Asep, seperti dikutip Ayobandung.com.

Keterbukaan yang menjadi ciri khas masyarakat Sunda ini, Asep menilai, bagai pisau bermata dua yang mengandung sisi positif sekaligus negatif. Sisi negatifnya, masyarakat Sunda dinilai rentan disusupi pemahaman-pemahaman beragama yang keliru yang menuntun pada aksi terorisme.

Seperti diketahui, Provinsi Jabar selalu mendapatkan predikat sebagai provinsi paling intoleran dalam beberapa tahun terakhir. Hasil riset Setara institute pada 2015-2017, Jabar selalu mendapat predikat sebagai daerah dengan kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak.

Jauh sebelum rentang waktu tersebut, sejumlah riset yang dilakukan berbagai lembaga juga sering menjadikan Jabar sebagai salah satu provinsi dengan pelanggaran HAM tinggi. Hasil monitoring Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung misalnya, menyatakan sejak 2005 hingga 2011 terdapat 383 peristiwa tindak kekerasan dan intoleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jadi masyarakat Jawa Barat ini seolah dijadikan sebagai laboratorium percobaan dalam menyebarkan berbagai ideologi oleh berbagai kelompok. Termasuk kelompok keagamaan yang cenderung radikal. Karena masyarakatnya terbuka, angin-anginan, dan terbukti, jelas Asep.