Jakarta – Menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama hukumnya wajib. Pun bagi kaum perempuan juga wajib berkiprah untuk menjaga persatuan bangsa seperti halnya kaum laki-laki.
Itu adalah fatwa yang dikeluarkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, 24-26 November 2022 tahun lalu.
Juru Bicara (Jubir) KUPI II, Hj Iklilah Muzayanah Dini Fajriyah mengatakan, tingginya bahaya yang dialami perempuan karena praktik peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama menempatkan perempuan pada kerentanan berlapis.
“Padahal, perempuan memiliki pengalaman dan agensi yang terbukti berhasil dalam penyelesaian konflik dan menjaga NKRI dari disintegrasi bangsa,” ujar Iklilah dalam siaran pers Selasa (7/3/2023), dikutip dari laman Republika.co.id.
Dengan adanya bahaya yang dialami perempuan karena praktik peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama, setidaknya terdapat tiga isu yang dibahas dalam musyawarah KUPI.
Pertama, apa hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Kedua, apa hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Ketiga, siapakah pihak-pihak yang bertanggungg jawab untuk melindungi perempuan dari bahaya kekerasan atas nama agama?
“Hasil musyawarah KUPI menetapkan, pertama, hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara,” ucap Iklilah.
Ia menjelaskan, landasan utama yang digunakan adalah bahwa NKRI merupakan hasil dari konsensus kebangsaan (mu’ahadah wathaniyyah) dan negara kesepakatan (dar al mitsaq) yang harus dijaga dan ditepati (QS Al Maidah: 1, QS Al Isra: 70, QS Huud: 85).
“NKRI terbukti menjadi rumah besar yang aman bagi implementasi al-maqashid asy-syar’iyyah dan spirit persaudaraan (trilogi ukhuwah). Karenanya, cinta tanah air menjadi prasyarat kesempurnaan iman seseorang yang sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945,” ucap Iklilah.
Kedua, lanjut dia, hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya.
Hal ini didasarkan pada dua alasan hukum. Pertama, yaitu risiko dan bahaya yang lebih buruk pada perempuan karena ketika perempuan dimarginalisasi dari peran-peran politik, sosial dan budaya maka akan semakin meningkatkan kerentanan perempuan. Kedua, negara dirugikan karena kerja negara menjadi tidak maksimal dalam melindungi segenap warganya.
“Islam menolak segala bahaya dan kerentanan atas bahaya tersebut, termasuk pada perempuan (adl-dlararu yuzalu & adl-dlararu la yuzalu bi adl-dlarari); sementara meminggirkan perempuan sejatinya juga bentuk melawan prinsip UUD 1945 Pasal 30,” jelas Iklilah.
Ketiga, lanjut Iklilah, semua pihak bertanggung jawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama, terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga dan media.
KUPI II juga membahas masalah pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan kkibat perkosaan; perlindungan perempuan dari pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis; dan perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
Sementara itu, Ketua Steering Committee (SC) yang juga Ketua Majelis Musyawarah KUPI II, Nyai Hj Badriyah Fayumi turut memberikan pengantar dalam diseminasi yang dihadiri media dan para pengurus KUPI tersebut.
Menurut Nyai Badriyah, KUPI merupakan forum musyawarah keagamaan yang memproduksi pandangan keagamaan dalam merespons persoalan kemanusiaan, kebangsaan dan kesemestaan berdasarkan persoalan dan pengalaman perempuan, atau berdampak langsung pada kehidupan perempuan.
“KUPI merefleksikan gerakan eksistensi ulama perempuan yang bersifat intelektual, kultural, sosial dan spiritual. Musyawarah keagamaan KUPI mendasarkan pada tiga konsep kunci, yaitu keadilan hakiki, mubadalah, dan ma’ruf,” jelas Nyai Badriyah dalam acara Diseminasi Hasil Kongres yang digelar di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Selain Nyai Badriyah Fayumi dan Iklilah Muzayanah, acara diseminasi juga dihadiri Prof Hj Tutik Hamidah, Umdah el-Baroroh, Yulianti Muthmainnah, dan Hj Fatmawati Hilal. Mereka adalah ulama-ulama perempuan Indonesia yang selama ini aktif mengurus umat.