Ambon – Peran kaun perempuan dalam upaya ikut melakukan pendeteksian dan mencegah penyebaran paham radikalisme terorirme di lingkungannya cukup besar. Ini seiring terlihat dengan berubahnya pola aksi serangan terorisme yang selama ini mulai melibatkan kaum perempuan sebagai pelakunya.
Hal tersebut dikatakan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sholehuddin,M.Pd, saat menjadi pemateri di kegiatan Rembuk Kebangsaan: Perempuan Pelopor Perdamaian yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) provinsi Maluku yang berlangsung di Hotel Biz, Ambon, Kamis (24/8/2017).
“Perlu diungkap bahwa kaum perempuan memiliki peran yang cukup besar. Tidak bisa disepelekan bahwa ada yang mengatakan ini wilayahnya kaum laki-laki, tidak bisa seperti itu,” ujar Sholehuddin.
Sholehuddin mengatakan, dalam beberapa kasus ternyata perempuan juga bisa lebih radikal. Bahkan ada suatu kasus dimana suami atau kaum laki-laki yang diceraikan oleh istrinya karena suami tersebut tidak mau diajak pergi ke Suriah.
“Kasus lain beberapa narapidana terorisme yang ditangkap ternyata ada yang istrinya tidak tahu dan ada juga yang istrinya yang tahu mengenai keterlibatan suaminya di dalam jaringan kelompok terorisme,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurutnya ada juga seorang ibu yang tahu dan tidak tahu ketika anak laki-lakinya yang ditangkap aparat keamanan karena terlibat dalam kasus terorisme. Dengan adanya kejadian tersebut tentu menjadi sebuah masalah dan untuk mengurainya perlu keterlibatana kaum perempuan.
“Setidaknya dimulai dari titik-titik rumah tangga terlebih dahulu mengenai peran sebagai ibu, peran sebagai istri dan peran sebagai pimpinan ormas di lingkungan masing-masing,” tutur pria yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini .
Dengan dimulai dari titik rumah tangga diharapkan para kaum perempuan juga dapat peka terhapap lingkungan disekitarnya yang nantinya juga dapat mengedukasi masyarakat sekitarnya. “Karena ibu-ibu disini ini adalah para perempuan pelopor,” ujarnya memberi semangat.
Karena sebagai perempuan pelopor ini diharapkan bisa mengedukasi para perempuan lainnya untuk peka terhadap lingkungannya. Seperti seorang istri peka terhadap suaminya supaya tahu bahwa suaminya paham keagamaanya, lalu seorang ibu juga peka terhadap anaknya.
“Ini agar anaknya jangan sampai terpengaruh paham radikal, karena penyebaran pahamradikal ini sudah sangat masif karena sudah melalui media-media sosial yang masuk melalui jaringan internet yang sudah tidak ada batasnya. Dan itu yang jarang diketahui oleh ibu atau orang tua,” tuturnya.
Dikatakan pria yang pernah menjadi staf Deradikalisasi BNPT ini, para pelopor perempuan ini juga bisa mengedukasi masyarakat sekitarnya. “Seperti terhadap pimpinan ormas agar nantinya juga bisa mengedukasi anggotanya untuk peka terhadap lingkungan masing-masing,” katanya.
Disamping itu yang lebih penting lagi menurut pria kelahiran Indramayu, 15 Juni 1979 ini adalah para pelopot perempuan ini turut menguatkan empat konsensus kebangsaan yakni Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Kebhinnekaan dan NKRI.
“Karena empat konsensus kebangsaan ini menjadi pondasi kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai pancasila hanya sekedar dihafalkan, atau hanya dijadikan slogan. Begitu juga undang-undang dasar 1945, Kebhinekaan dan NKRI,” ujarnya.
Karena menurut alumni Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah, Jakarta ini, semangat Pancasila juga harus ada di level terkecil mulai dari level keluarga hingga di masyarakat. Begiku juga dengan Kehinekaan, saling menghormati.
“Tapi untuk kebhinnekaan sendiri saling menghormati itu bukan berarti sekedar toleransi saja. Toleransi itu tidak hanya menerima perbedaan begitu saja. Tidak hanya membiarkan saja, tidak hanya menerima kita kita berbeda. Tapi yang lebih penting adalah penghormatan atas perbedaan itu,” ujar pria yang aktif sebagai konsultan di Lembaga Daulah Bangsa ini.
Jadi menghormati perbedaan itu menurutbya tidak sekedar menerima semata, tapi menghormati perbedaan itu sendiri merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia bahwa dengan berbeda bangsa Indonesiabisa bersatu, dan dengan persatuan itu Indonesia bisa menjadi Jaya.
“Bahkan dengan berbeda kita juga bisa saling mendeteksi, karena memiliki kemmapuan yang berbeda, memiliki profesi yang berbeda. Kita bisa mendeteksi dari berbagai unsur, dengan perbedaan itu kita bisa menangkal penyebaran paham-paham radikal dengan baik melalui medsos dan bahkan secara langsung di masyarakat,” kata dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UMJ ini mengakhiri.