Karena Tak Otonom, Perempuan RI Rentan Masuk Gerakan Radikal

Jakarta – Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) Hendro Prasetyo menyebut ada potensi perempuan Indonesia rentan tergabung dalam gerakan radikal. Menurut dia, kerentanan ini terjadi akibat rendahnya otonomi perempuan untuk membuat keputusan dalam bidang keagamaan.

“Dalam pandangan agama, perempuan tidak otonom. Pandangan mereka banyak dipengaruhi laki-laki dalam lingkup pergaulan mereka,” kata Hendro, di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (29/1/2018) seperti dikutip Tempo.co.

Hendro mengatakan potensi kerentanan perempuan ini tetap ada meskipun sebanyak 80,8 persen perempuan menolak menjadi radikal.

Dalam survei yang dirilis Wahid Foundation, UN Women Representative, dan Lembaga Survei Indonesia, potensi radikalisme terhadap perempuan masih kecil. Sebanyak 80,8 persen menyatakan tidak bersedia menjadi radikal. Angka ini lebih tinggi daripada laki-laki yang berada pada angka 76,7 persen. Sebaliknya, survei tersebut menyebutkan hanya 2,3 persen perempuan dan 5,2 persen laki-laki yang bersedia radikal.

Survei ini dilakukan pada 6-27 Oktober 2017 di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah respondennya 1.500 yang dipilih dengan multi stage random sampling dengan margin of error 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden perempuan ditambah sebanyak 450 responden untuk kepentingan analisis.

Hendro menjelaskan kerentanan perempuan menjadi radikal karena otonomi perempuan yang masih rendah ketimbang laki-laki. Menurut dia, otonomi perempuan ini menunjukkan tingkat kemampuan perempuan dalam mengambil keputusan secara mandiri.

“Adanya tingkat otonomi perempuan yang tidak setinggi dalam bidang politik, perempuan memang rentan dipengaruhi dalam bidang agama,” ujarnya.

Dalam survei LSI, hanya 53,3 persen perempuan yang otonom. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 80,2 persen. Sementara itu, sebanyak 21,1 persen perempuan masih bergantung terhadap laki-laki dan 25,6 persen netral. Perempuan tercatat otonomi dalam pilihan politik (68 persen), tapi tidak otonom dalam pandangan keagamaan (37,6 persen).

Direktur Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid membenarkan rendahnya otonomi perempuan dalam pandangan keagamaan. Namun, menurut dia, “Kita tidak bisa menyasar perempuan saja dalam gerakan radikalisme.” Yenny pun menilai potensi kerentanan ini berbahaya.