Jakarta – Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian menegaskan, saat ini ada dua fenomena teror yang terjadi di dunia. Yakni teror dengan menggunakan jaringan dan jihad tanpa pemimpin (leaderless jihad) atau disebut lone Wolf. Contohnya adalah kasus terorisme penyerangan terhadap dua anggota Brimob usai melakukan Shalat Isya dinilai sebagai fenomena leaderless jihad.
Kapolri menduga bahwa kasus Mulyadi di Falatehan adalah kasus leaderless jihad. Sejauh ini, Polri menilai bahwa kasus Mulyadi sebagai bentuk dari fenomena lone Wolf. Penggunaan istilah serigala ini sebagai bentuk serangan yang dilancarkan para pelaku teroris dengan sendirinya.
“Fenomena di kita ini yang namanya leaderless jihad, lone wolf, radikalisasi sendiri, self radicalization. Nah mereka tadi, internet segala macam dan kemudian terinspirasi. Saya menghimbau seluruh jajaran kepolisian dan masyarakat mewaspadainya,” kata Kapolri Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (4/7/2017).
Para pelaku lone wolf biasanya tidak masuk dalam jaringan manapun. Mereka mempelajari paham radikal lewat dunia maya dengan cara internet chating, ikut kelompok telegram radikal. Dari situlah, pelaku lone wolf terpengaruh, terinspirasi dan belajar dengan sendirinya untuk mengatur strategi dan melakukan penyerangan sendiri.
“Nah biasanya serangan mereka tidak terlalu besar. Enggak seperti bom bali yang dibuat terstruktur, bomnya besar, sasarannya juga impactnya besar. Karena bergeraknya perorangan maka kemampuan mereka pun perorangan, kurang biaya kemudian pengetahuannya kurang, kapabilitas istilahnya, kurang, maka itu menggunakan pisau,” katanya.
Di beberapa negara lainnya bahkan teror dilakukan dengan menabrakkan kendaraan seperti yang terjadi di Inggris. Untuk itu pencegahan yang harus memperkuat deteksi dini di internet. “Harus dilakukan patroli internet dengan memperkuat, mengkonsolidasikan kekuatan cyber nasional, polisi, BIN, TNI dan badan cyber,” tegasnya.
Pihaknya pun meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk ditutup website-website radikal dan dipenetrasi obrolan di internet. “Semua saluran komunikasi mereka dipenetrasi atau di breakdown, yang bisa masuk kita masuk bagian dari mereka sehingga tahu rencana mereka,” pungkas Tito.