Jakarta – Kapolri Jenderal Tito Karnavian tidak kaget dengan data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri Turki yang mencatat dari 4.957 foreign terrorist fighters (FTF) yang ditangkap, 435 orang di antaranya adalah warga negara Indonesia (WNI). Namun, Polri sulit untuk memproses mereka karena masih adanya kelemahan dalam Undang Undang Anti-Terorisme di Indonesia.
Dikatakan, Polri akan mencari unsur pidana lain, seperti pemalsuan dokumen dan sebagainya lantaran masih ada kelemahan dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme. Jika ada pelanggaran hukum, akan diproses secara hukum. Tapi kalau tidak ada pidananya, itulah salah satu kelemahan UU Antiterorisme.
“Terkait WNI yang ikut Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kami akan lakukan pemeriksaan melalui Densus 88 Antiteror. Kami akan verifikasi apakah terlibat jaringan atau tidak. Makanya kita masukan revisi UU yang ikut dalam gerakan-gerakan terorisme luar negeri bisa dipidana di sini dan itu belum masuk dalam UU,” kata Jenderal Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Kapolri menambahkan, WNI yang bergabung dengan jaringan teroris, masuk melalui berbagai cara, mulai dari modus wisata hingga umrah ke Tanah Suci. Ada yang Jadi turis atau umrah, tiba-tiba lari ke Turki, terus masuk ke Suriah. Para WNI itu tidak ada yang langsung menuju lokasi akhir. Itulah sebabnya Polri terus melakukan koordinasi secara internal dengan Imigrasi, pihak penerbangan, dan bea cukai.
Sebelumnya, Kapolri juga menjelaskan soal pemblokiran aplikasi komunikasi Telegram yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Aplikasi tersebut diblokir, karena dinilai mempunyai banyak fitur yang sering digunakan jaringan terorisme dan juga untuk menyebarkan paham-paham radikal.
Menurutnya, pemblokiran Telegram dilakukan karena sistem komunikasi ini banyak digunakan oleh banyak kelompok teroris. Hal itu terlihat dari kasus-kasus sebelumnya seperti kasus bom di Jalan Thamrin Jakarta, Bandung dan penusukan di Medan dan Falatehan. Semua berkomunikasi menggunakan aplikasi Telegram.
Telegram mempunyai banyak fitur di antaranya fitur enkripsi sehingga sulit dilakukan penyadapan. Selanjutnya, Telegram mampu menampung anggota grup sampai 10.000 anggota yang memudahkan pemimpinnya menyebarkan paham-paham radikalisme. Cara pencegahannya adalah dengan memperkuat deteksi media online atau sistem siber, kemudian melakukan langkah penegakan hukum.
Tito Karnavian menjelaskan untuk masuk dan menyamar dalam kegiatan online mereka, tidak mudah karena kelompok teroris punya teknik-teknik untuk menghindar. Memang muncul pro dan kontra. Tapi itu biasa dan akan lebih banyak untungnya. Kapolri juga mengakui bahwa Kepolisian yang memberikan referensi agar Telegram ditutup.