Kapolri Tegaskan Minta Panglima TNI Kerahkan Kekuatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme

Jakarta – Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian tidak mempermasalahkan jika nantinya TNI melalui Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) membantu Polri dalam menangani terorisme di Indonesia. Tito mengaku telah sepakat dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bahwa penanganan terorisme akan dilakukan bersama.

Hal itu disampaikan usai rapat terbatas pencegahan dan penanggulangan terorisme yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Ratas itu juga dihadiri Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala BIN Jenderal Pol. Budi Gunawan, dan Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius.

“Kalau sesuai aturan sekarang saya sepakat Panglima TNI saya minta ke dia untuk kekuatan TNI masuk dalam operasi,” kata Kapolri Jenderal Pol Tito di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018).

Menurutnya, keterlibatan TNI itu bukan hal baru. Kerja sama antara Polri dan TNI, kata Tito, akan seperti operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah. Jika melihat operasi Tinombala, TNI nantinya akan bergabung dengan pasukan gabungan Polri bersama memberantas teroris.

“Kalau publik dukung langkah negara, terorisme tak bisa berkembang. Jadi saya berpendapat sekarang mekanismenya seperti operasi Tinombala, di mana kekuatan TNI bergabung,” ujar Tito seperti dikutip Zonasatu.co.id.

Operasi Tinombala merupakan operasi Polri bersama TNI saat mengejar Santoso dan kelompoknya di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. TNI dilibatkan karena kondisi medan yang sulit ditembus Polri.

Sementara itu, Koopssusgab merupakan satuan elite TNI yang dibentuk Jenderal Purn Moeldoko masih menjabat Panglima TNI. Pasukan gabungan tiga matra TNI ini dibentuk dengan tugas menanggulangi terorisme secara cepat seperti Densus 88 Antiteror Polri.

Moeldoko yang kini menjadi Kepala Staf Kepresidenan ini mengusulkan satuan itu aktif kembali melihat serangkaian teror belakangan seperti di Mako Brimob, sejumlah titik di Surabaya, Sidoarjo, hingga Riau. Koopssusgab nantinya tetap berada di bawah komando Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan diturunkan ketika Polri sudah kewalahan menangani teroris.

Mantan Kepala BNPT ini juga menyatakan terorisme di Indonesia sekitar 75 persen merupakan operasi intelijen sementara eksekusi hanya sekitar lima persen. Sehingga, ia menyambut baik keterlibatan TNI menanggulangi terorisme.

“Sementara yang 20 persen dalam rangka persiapan pemberkasan ke peradilan. Karena RI adalah negara demokrasi mengedepankan supremasi hukum,” jelas mantan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Papua ini

Pria yang juga pernah menjadi Kepala Detasemen Khusus 88/Anti Teror Polri ini menegaskan Polri tak bisa kerja sendirian memberantas terorisme. Selain melibatkan TNI, Polri juga akan melibatkan kementerian terkait.
ujarnya.

Di kesempatan terakhir dirinya menyebutkan bahwa dari kepolisian sendiri dia berharap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat segera dilaksanakan.

“Dengan Undang-Undang baru bisa komprehensif dengan melibatkan banyak pihak tapi tetap menghargai nilai-nilai demokrasi dan HAM. Jadi penanganan pencegahan yang melibatkan banyak pihak,” tutur Tito.

Menurut Tito, aksi terorisme adalah puncak gunung es. Sementara akar gunung es meliputi permasalahan komprehensif ekonomi, ideologi, keadilan, dan ketidakpuasan.

“Ini yang perlu ditangani, ada prosesnya untuk menuju aksi terorsime. Di Surabaya prosesnya cukup panjang. Dengan rapat tadi Presiden beri arahan baik hard power penegakan hukum, melibatkan stakeholder terkait BIN, TNI, BNPT, dan langkah-langkah komprehensif pencegahan dan pascaperistiwa terutama untuk ubah mindset ideologi terorisme,” lanjutnya.

Tito mengatakan Polri juga mengajukan agar dibangun rutan dengan penjagaan maksimum. Ada masa penangkapan, penyidikan, penuntutan, persidangan di mana tersangka atau terdakwa ditempatkan di tempat khusus yang tidak sama dengan rutan Salemba dan Cipinang.