Jakarta – Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Pol Tito Karnavian, menyebutkan bahkan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) menjadi ancaman terbesar di Indonesia. Perkembangan kelompok ini mendapat perhatian serius Mabes Polri. JAD sudah mempunyai jaringan dan struktur di delapan provinsi dan beberapa daerah lainnya.
Hal itu dikatakan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan dirinya sebagai guru besar bidang ilmu kepolisian studi strategis kajian kontraterorisme di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, Kamis (26/10/2017). Dalam kesempatan itu, juga dijelaskan perkembangan gerakan radikal di Indonesia. Semuanya didukung oleh situasi dalam negeri saat transisi kekuasaan dari semiotoriter menjadi demokrasi liberal hasil reformasi 1998.
“Secara umum, perkembangan terorisme di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 gelombang. Gelombang pertama dari 1999 sampai dengan 2014 dengan aktor utamanya Al Jamaah Al Islamiyah (JI) yang berhubungan dengan Al Qaeda. Gelombang kedua, terjadi sejak 2014 sampai sekarang dengan munculnya JAD yang terhubung dengan ISIS,” kata Tito Karnavian.
Dijelaskan, kelompok ini juga memiliki hubungan dengan berbagai elemen di Suriah sebagai melting pot Filipina, Malaysia dan Singapura. Mereka pun terlibat dalam serangkaian aksi. Setidaknya, selama 2010 sampai 2017 telah terjadi 130 aksi teror di Indonesia. Polri mampu menangkap 896 terduga teroris, 126 orang di antaranya meninggal. Sebanyak 674 orang diajukan ke sidang pengadilan dan 96 di antaranya dilepas. Sementara itu, 34 polisi meninggal dan 78 lainnya luka-luka.
“Sejak 2014, ancaman terorisme lainnya muncul di Indonesia sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan munculnya lone wolf atau self radicalism yang penyebarannya tidak mempunyai batas (borderless) dan berafiliasi ke ISIS. Lone wolf adalah fenomena teroris yang beroperasi sendirian. Alhasil, teror dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan dilakukan oleh siapa saja dengan motif yang terkadang tidak jelas,” jelasnya.
Dikatakan, pelaku mendapat pengaruh ideologi radikal melalui internet maupun media sosial. Melalui internet pula mereka mendapatkan pelatihan serta mempelajari cara membuat bom, bahkan bom dengan bahan radioaktif. Aksi-aksi ini lebih didorong oleh aspek ideologis. Pelaku ingin melaksanakan jihad yang dianggap fardu ain atau wajib bagi setiap Muslim untuk menegakkan syariat, serta dorongan politis untuk mengambil alih kekuasaan.
“Harapan mereka, dengan ikut melaksanakan aksi tersebut maka kewajiban jihad mereka telah terlaksana, dan memberi contoh bagi yang lain untuk melakukan jihad yang sama. Bola salju dapat bergulir sehingga aksi military-foco ini dapat meluas dan ditiru oleh yang lain menjadi gerakan besar aksi kekerasan melawan pemerintah,” ujarnya.
Pengukuhan guru besar bidang terorisme untuk Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dilakukan Irjen Pol Prof Dr Iza Fadri SH MH, selaku perwakilan guru besar pada senat akademi. Acara ini dihadiri Menko Polhukam Wiranto, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Ristek Dikti Prof Dr Mohammad Nasir.
Dengan gelar profesor yang diterima Tito Karnavian, saat ini ada lima polisi pemikir yang bergelar serupa. Mereka adalah Profesor Jenderal (pur) Awalaoeddin Djamin, Profesor Irjen (pur) Teguh Soedarsono, Profesor Irjen (pur) Farouk Muhammad, dan Profesor Irjen Iza Fadri. Sebelumnya, Tito meraih gelar MA dari University of Exeter, UK (1993) dan PhD dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore (magna cum laude) pada 2013.