Padang – Kapolda Sumbar, Irjen Pol Fakhrizal membantah keras pernyataan pengamat terorisme, Al Chaidar perihal ada 3.000 teroris menetap di Sumatera Barat. Berdasarkan klarifikasi ke pihak Densus 88 Antiteror Mabes Polri, kata Fakhrizal, Sumbar bukan daerah basis yang dihuni oleh banyak teroris. Kondisi Sumbar sejauh ini juga dalam keadaan aman dan kondusif.
Fakhrizal justru mempertanyakan kembali kevalidan data yang dikemukakan Al Chaidar ke sejumlah media.
“Datanya dari mana? Saya sudah melakukan kroscek, pernyataan itu tidak benar. Sampai sekarang Sumbar aman, dan bukan basis terorisme seperti yang disebutkan sang pengamat,” jelas Kapolda, Minggu (19/8) malam yang dikutip Haluan, Senin (20/8).
Dituturkan Fakhrizal, dirinya sudah meminta klarifikasi kepada Densus 88 terkait persoalan ini. “Tidak benar. Data Densus 88 tidak begitu. Nanti kita (pihak kepolisian-red) akan meminta klarifikasi langsung kepada Al Chaidar,” ungkap Kapolda asal Agam tersebut.
Kapolda Sumbar menjamin keamanan daerah yang dipimpinnya. Pengamanan di beberapa lokasi, terutama wilayah perbatasan ditingkatkan. Gunanya, untuk mengantisipasi masuknya teroris ke Sumbar. “Perbatasan dengan Riau dan Jambi diperketat untuk mengantisipasi hal-jal yang tidak diinginkan. Sejauh ini Sumbar dalam kondisi kondusif,” tegas Kapolda.
Terkait penangkapan lima orang terduga teroris di Sumbar, dijelaskan Fakhrizal, pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Densus 88.
“Kewenangan pemeriksaan ada di Densus. Kita hanya bisa menunggu hasilnya. Sejauh apa keterlibatan orang-orang yang ditangkap. Apakah benar terlibat jaringan terorisme, atau hanya sekadar simpatisan,” papar Kapolda.
Minta Maaf
Secara terpisah, Al Chaidar yang tahu pernyataannya melukai hati orang Minangkabau sudah menyatakan permintaan maafnya dan bersedia datang ke Sumbar untuk menjelaskan duduk persoalan.
“Ya, saya tetap takzim dengan ulama. Saya terima dimarahi. Marahnya ulama adalah pelajaran berharga. Saya meminta maaf atas angka tersebut dan akan saya pertanggungjawabkan serta saya bersedia didatangkan ke Sumbar untuk menuruti permintaan ulama dalam membuktikan datanya,” katanya.
Ia mengaku bahwa sejumlah pesan pribadi dari ulama, ustaz, dan aktivis Islam di Sumbar masuk melalui ponselnya untuk mengingatkan tentang polemik yang terjadi. Chaidar menyebutkan, untuk kondisi saat ini maka lebih penting melawan terorisme ketimbang mempersoalkan angka-angka jumlah teroris.
Ia juga mengapresiasi ulama yang sudah bersedia melawan terorisme di Sumbar selama ini. Sayang, menurutnya, langkah ulama belum dibarengi dengan upaya serupa oleh pemerintah.
“Para ulama Sumbar sebenarnya bukan marah ke saya, tapi mereka kesal dengan pemerintah yang semakin sekuler dan cenderung memanjakan aliran-aliran sesat dan menuduh Teroris terhadap semua yang kritis kepada pemerintah,” kata Chaidar.
Baginya yang terpenting, ia menyampaikan teori dan opsi akomodatif. Apalagi beberapa waktu lalu ulama di Sumbar kencang menolak konsep ‘Islam Nusantara’. Mengacu hal ini, ia mendesak pemerintah pusat lebih peka dan tidak mengabaikan aspirasi para ulama dan tokoh adat dari Tanah Minang.
Menurutnya, sikap pemerintah pusat dengan mempertimbangkan penolakan Sumbar atas ‘Islam Nusantara’ akan mendinginkan hati orang-orang beriman dan membentengi potensi radikalisme di Sumbar.
“Karena seperti saya katakan menjinakkan teroris itu sebenarnya asal pemerintah menghormati syiar-syiar syariah yang diyakini umat Islam. Saya yakin FPI, MMI, MUI akan membenarkan bahwa potensi adalah energi. Tinggal kanalisasinya yang harus pas agar energi terpendam itu jadi positif bagi bangsa,” paparnya.
Al Chaidar menjelaskan, seluruh data yang disampaikan merupakan data yang pihaknya kumpulkan melalui kajian resmi di kampus Universitas Malikussaleh, Aceh. Pengambilan datanya, ujar Chaidar, dilakukan dari penelitian di lapangan dan data-data sekunder dari internet dan korespondensi surat elektronik dengan sejumlah sumber.
“Itu database penelitian kami, penelitian reguler yang sifatnya database. Setiap ada kesempatan saya update data, karena di berbagai tempat,” kata Chaidar.
Chaidar menyebutkan, sebanyak 3.000 anggota teroris tersebut berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansahrut Khilafah (JAK). Kajian yang dilakukan Chaidar juga memasukkan orang-orang seperti keluarga dari anggota ke dalam ‘angka 3.000’ tadi. Dari angka sebanyak itu, kelompok-kelompok terorisme di Sumbar justru dilatih oleh oknum dari dalam daerah sendiri.
“Sebarannya di Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa tempat lain. Batusangkar juga ada. Dengan tempat latihan ada di Bukittinggi dan Mentawai,” kata Chaidar.
Terkait pola penyebaran paham terorisme di Sumbar pun, Chaidar menyebut sulit terdeteksi. Ia mengatakan, ada anggota teroris yang memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dan menyebarkan pahamnya. Tak hanya via media sosial, penyebaran paham terorisme juga lebih banyak dilakukan secara langsung, melalui komunikasi dua arah.
“Kalau di Surabaya itu keluarga-keluarga itu bertemu langsung. Jadi tidak melalui Whatsapp, atau medsos. Tidak melalui telepon,” kata Chaidar.
Terkait respons keras yang bermunculan setelah komentarnya di sebuah koran, Chaidar justru menyebutkan bahwa angka ‘3.000’ terbilang moderat dibanding provinsi lain di Indonesia. Ia mengatakan daerah-daerah lain justru memiliki jumlah anggota jaringan teroris yang lebih banyak. Jawa Timur, misalnya angkanya lebih tinggi yakni 5.000-an orang.