Ambon – Kampus menjadi lahan subur penyebaran radikalisme dan terorisme. Karena itu, seluruh civitas akademika di kampus harus dibentengi dengan diberikan pemahaman tentang radikalisme dan terorisme.
“Kita memang punya program-program masuk ke kampus untuk menangkal fenomena sosial tersebut, dalam upaya membangun ketahanan masyarakat dan kampus khususnya,” terang Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Anti Teror Polri, Irjen Pol Marthinus Hukom saat memberikan kuliah umum di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, Senin (30/1/2023).
Menurut Kadensus, dirinya bertanggungjawab untuk harus diberikan pemahaman kepada warga masyarakat termasuk dunia perguruan tinggi didalamnya dosen, mahasiswa dan tenaga pendidik tentang kedua fenomena sosial tersebut.
“Ini supaya ada pemahaman konkrit dan komprehensif sehingga dalam kajian yang akan dilakukan selaku warga kampus, mereka telah didasari argumen atau fakta yang baik, atau informasi positif yang lebih komprehensif,” jelasnya.
Kadensus menambahkan, fenomena mahasiswa menjadi radikal harus dicermati agar kampus bisa membangun sebuah ketahanan menghindari adanya doktrin radikalisme.
“Membangun ketahanan kampus bagian dari membangun kesadaran kolektif masyarakat secara keseluruhan. Itu tujuan untuk adanya dialog, dialektika bersama warga kampus termasuk di UKIM agar ada kesadaran,” terang Hukom.
Karena itu menurutnya, penting ada bobotan ilmu-ilmu kritis berupa filsafat moral, etika dan Budi pekerti kepada mahasiswa agar mereka bisa berpikir kritis dan melihat, membedah ideologi-ideologi yang datang dan sulit dibendung karena pengaruh media sosial dan upaya intervensi ke kampus oleh kelompok radikal.
“Kampus ini wilayah netral. Di mana kajian akademis yang tidak boleh diintervensi oleh tendensi apapun, dia harus bergerak dalam ruang netral. Tapi kenapa kelompok radikal berusaha masuk ke kampus?, karena ini pilihan strategi dengan melihat prospek dari orang-orang di kampus yang akan dipersiapkan,” tegasnya.
“Kita lihat fenomena di Taliban. Mereka bergerak dari ruang-ruang kampus tapi pertanyaannya, apakah sekarang mereka di kampus?. Tidak. Mereka sudah menjadi orang dewasa, yang jadi tulang punggung gerakan revolusioner,” tambahnya.
Fakta yang terjadi di Taliban itu menurutnya, tidak boleh ada di Negara Indonesia. Sebab itu harus menjadi satu kesadaran. Dimana belajar dari historis, fenomena global untuk membangun diri sendiri.
Menyinggung masih ada tidaknya “sel tidur” di Maluku, alumnus Akpol tahun 1991 itu akui hanya sedikit sekali. Sebab banyak dari mereka yang sudah di-Moderatkan.
“Bagi saya selama kita masih berupaya untuk mengintervensi terus, mudah-mudahan tidak ada lagi sel tidur. Soal dimana, itu bukan konsumsi publik tapi konsumsi intelijen yang harus dikelola,” beber alumnus Akpol angkatan 1991 itu.
“Kita belajar dari proses perdamaian di Maluku ini yang harus kita besarkan, bukan potensi radikal malah yang harus dibesarkan. Tapi kita harus besarkan daya cegah, daya tangkal dari Maluku, yang ada dalam sosial kapital Maluku yaitu Pela Gandong,” pungkasnya.