Pontianak – Universitas PGRI (UPGRI) Pontianak menggandeng Polresta Pontianak dalam sebuah kegiatan kolaboratif untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila sekaligus mencegah penyebaran paham radikalisme, intoleransi, dan terorisme di lingkungan kampus. Agenda ini menjadi langkah strategis dalam membentengi generasi muda, khususnya mahasiswa, dari pengaruh ideologi menyimpang.
Kegiatan yang berlangsung di kampus UPGRI Pontianak ini turut melibatkan berbagai elemen, di antaranya jajaran pimpinan universitas, perwakilan Kementerian Agama Kota Pontianak, personel Densus 88 AT Polri, serta seorang mantan narapidana terorisme (napiter) yang hadir untuk membagikan pengalaman pribadinya sebagai bentuk edukasi langsung kepada mahasiswa.
Rektor UPGRI Pontianak, Muhammad Firdaus, menegaskan komitmennya untuk menjaga kampus sebagai ruang akademik yang bebas dari radikalisme.
“Tidak ada tempat bagi paham radikal di kampus ini. Mahasiswa adalah agen perubahan, dan mereka harus menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan bangsa,” tegas Firdaus.
Ia juga mengapresiasi kepercayaan dan kerja sama yang telah terbangun dengan Polresta Pontianak, terutama karena kegiatan serupa telah dilakukan dua kali. Firdaus berharap kegiatan ini mampu memperdalam kesadaran kebangsaan mahasiswa melalui pendekatan dialogis.
Dari pihak kepolisian, Kasat Intelkam Polresta Pontianak AKP Reynaldi Guzel mengingatkan bahwa radikalisme dan terorisme tetap menjadi ancaman nyata yang harus ditanggulangi bersama.
“Mahasiswa harus jadi duta persatuan dan toleransi. Mereka punya peran penting dalam menyebarkan semangat bela negara,” ujarnya.
Reynaldi juga menekankan pentingnya literasi digital dan berpikir terbuka. Ia mengingatkan bahwa aparat siap bertindak terhadap penyebaran ekstremisme, namun keberhasilan pencegahan hanya bisa tercapai jika masyarakat — termasuk mahasiswa — terlibat aktif.
Senada, Syamsul Bahri dari Kementerian Agama Kota Pontianak menyampaikan bahwa Pancasila merupakan fondasi utama untuk menangkal intoleransi, terutama di wilayah multikultural seperti Kalimantan Barat.
“Sila kedua dan ketiga mengajarkan nilai kemanusiaan dan persatuan. Perbedaan itu kekuatan, bukan ancaman,” katanya.
Ia juga memaparkan lima program strategis Kemenag dalam menangkal radikalisme, yaitu: Penguatan pendidikan Pancasila di seluruh jenjang pendidikan, Sosialisasi agama yang rahmatan lil alamin, Fasilitasi dialog lintas agama dan budaya, Penguatan peran keluarga dalam membentengi anak dari ideologi menyimpang, Literasi digital untuk menangkal konten radikal di media sosial.
Salah satu sesi paling menggugah datang dari Panji Kumbara, mantan napiter yang pernah bergabung dengan ISIS. Ia menceritakan bagaimana luka pribadi dan kekecewaan terhadap isu-isu ketidakadilan yang ia baca dari media sosial membuatnya terjerumus ke dalam ideologi kekerasan.
“Saya awalnya hanya ingin mencari keadilan. Tapi karena tidak bijak menyaring informasi, saya malah masuk ke jaringan HTI dan akhirnya ISIS,” ungkapnya.
Panji menekankan pentingnya berpikir terbuka dan tidak mudah terpancing provokasi, terutama di wilayah seperti Kalimantan Barat yang rawan isu SARA.
“Ideologi kekerasan itu lahir dari pemikiran sempit. Mahasiswa harus jadi generasi yang kritis, bukan reaktif,” pesannya.
Melalui kegiatan ini, UPGRI Pontianak dan mitra-mitranya berharap kampus dapat menjadi ruang aman dan aktif dalam membentuk generasi muda yang cerdas, toleran, dan berjiwa kebangsaan.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!