Palangkaraya – Kalimantan Tengah (Kalteng) rawan menjadi tempat pelarian dan persembunyian teroris. Terutama setelah gencarnya operasi penumpasan teroris di Aceh dan Poso.
Situasi itu membuat kelompok teroris jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) mencari tempat baru. Kelompok jaringan dari Abu Hamzah ini diduga berpencar dan kabur ke daerah-daerah pelosok untuk bersembunyi.
Penangkapan 33 terduga teroris di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menjadi bukti adanya pelarian teroris Aceh ke Kalteng.
Kasubdit Kamneg Dit Intelkam Polda Kalteng AKP Purba mengakui, wilayah hukumnya rawan menjadi tempat persembunyian teroris karena secara geografis merupakan daerah perbukitan. Hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah dialiri oleh sungai besar dan kecil.
“Itu sudah kami antisipasi dengan deteksi dini melalui koordinasi dan komunikasi secara intensif di daerah-daerah yang dianggap rawan,” kata Purba di Mapolda Kalteng, Kamis (5/12) lalu.
Penangkapan terduga teroris di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Gunung Mas, membuktikan deteksi dini yang digencarkan kepolisian berjalan optimal. Peningkatan pengamanan mulai digelar pascabom Bali tahun 2002.
Kala itu, Ali Imron sebagai koordinator lapangan peledakan Bom Bali dan tersangka lain Mubarok ditangkap di tempat persembunyiannya di Pulau Tanjung Brukang, di lepas pantai Samarinda, Kalimantan Timur. Ali Imron dan Mubarok akan melarikan diri ke Sabah Malaysia. Pasalnya, Pulau Tanjung Brukang berada di perbatasan Malaysia dan Indonesia.
“Wilayah Kalteng itu cukup luas jalur persembunyiannya. Hutannya nyambung dengan Kalimantan Barat dan provinsi lainnya hingga Malaysia,” kata dia.
Bahkan, lanjut Purba, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah menetapkan Kalimantan merupakan jalur pelarian dan digunakan kelompok teroris untuk melakukan persembunyian. Utamanya Kalimantan Tengah karena dianggap paling strategis.
“Tempat kita ini beberapa kali jadi pelarian mereka. Dari Kaltim ke sini, dari Kalbar juga ke sini sampai latihan pun di sini. Paling enak, strategis. Jalurnya itu lewat air dari Sulawesi ke Kalimantan, ada juga dari Filipina,” bebernya.
Pengamanan mengantisipasi masuknya teroris baik dari Aceh maupun Poso, tidak sekadar dengan mempertebal pasukan melalui operasi cipta kondisi dan patroli. Kepolisian mengintensifkan pendekatan terhadap masyarakat agar segala potensi ancaman sekecil apa pun segera dilaporkan.
Penangkapan terduga teroris di Palangkaraya dan Gunung Mas, menurut dia, bermula dari informasi masyarakat adanya aktivitas pendatang yang mencurigakan.
“Kala itu Polda dan Densus 88 akhirnya berhasil mengamankan 33 orang. 2 orang diantaranya buron dari Poso dan Aceh. Keduanya ini yang mendanai mereka tinggal dan berlatih di sini,” terangnya.
Sementara itu, Dir Intelkam Polda Kalteng AKBP Tommy Walder Napitupulu menyatakan, sistem keamanan berupa deteksi dini diutamakan mengantisipasi masuknya jaringan teroris maupun paham radikal di daerahnya. Sistem itu terbukti efektif.
“Sejak konflik Sampit tahun 2000 silam, kita dan pemerintah daerah, tokoh lintas agama serta tokoh adat terus bersinergi untuk melakukan deteksi dini baik itu penyebaran paham radikal maupun meredam pertikaian antaretnis agar tak berkembang,” ungkapnya.
Salah satu bukti nyata deteksi dini yaitu, kepolisian memperoleh informasi mengenai adanya orang asing yang menumpang di rumah warga di daerah perkotaan Palangka Raya. Setelah berkoordinasi dengan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror, pihaknya langsung menangkap dua pasangan suami istri serta 14 lainnya yang dicurigai sebagai terduga teroris.
Setelah melalui hasil pengembangan terhadap 18 orang yang sudah diamankan sebelumnya, petugas gabungan langsung meluncur ke Kabupaten Gunung Mas kemudian berhasil mengamankan 15 orang lainnya.
Kelompok ini merupakan jaringan Abu Hamzah yang bergeser ke Gunung Salak Aceh setelah digerebek Densus 88. Meteka kemudian mengumpulkan anggotanya di Kalimantan Tengah untuk mengasingkan diri, serta mengumpulkan logistik dan merencanakan aksi teror di beberapa daerah.