Jakarta – Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) menuai polemik di masyarakat. Padahal Perpres tersebut dimaksudkan untuk memperkuat resilience masyarakat terhadap paham ekstrimisme.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi S.H.I, M.Si, mengatakan bahwa sebetulnya yang menjadi kontroversi di masyarakat adalah karena adanya kata-kata pemolisian masyarakat atau community policing. Padahal menurutnya hal tersebut kalau bahasanya diganti dengan ronda keliling tentu tidak akan menjadi masalah padahal gagasannya sebetulnya sama.
”Tetapi kan tidak bisa bahasa seperti ronda keliling itu dimasukkan ke dalam dokumen resmi seperti Perpres. Tapi intinya ini adalah penguatan daya lenting atau resiliensi di masyarakat. Jadi masyarakat punya kemampuan untuk mendeteksi,” ujar Mujtaba Hamdi SHI, M.Si, di Jakarta, Kamis (21/01/2021).
Pun kemudian menurutnya, ketika mendeteksi dini masyarakat terhubung dengan otoritas terkait sehingga tidak main hakim sendiri. Sehingga dari deteksi dini ini menurut Mujtaba, masyarakat akan memiliki juga kemampuan kohesi sosial, agar bagaimana mencegah potensi konflik dari isu yang kerap dieksploitasi oleh kelompok ekstrimis ini.
”Hal tersebut dapat dicegah jika dideteksi lebih awal, hanya memang bahasa community policing ini belum terlalu akrab di telinga masyarakat kita. Dan kami sendiri dari Wahid Foundation juga mengapresiasi terbitnya Perpres RAN-PE ini,” tutur Mujtaba.
Lebih lanjut pria yang juga dosen Sosiologi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) itu mengungkapkan bahwa pihaknya menilai bahwa kebijakan ini adalah sebagai usaha dari negara untuk melakukan perlindungan terhadap hak rasa aman dari warganya. Kemudian menurutnya, RAN-PE ini juga melakukan pendekatan dengan cara pull government dan pull society approach.
“Karena tidak hanya melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) saja, tetapi juga masyarakat umum, sehingga pendekatannya partisipatif. Ini juga sesuai karena yang menjadi target untuk pencegahan ekstrimisme kekerasan ini bukan hanya sekedar peristiwa esktrimisme kekerasannya saja, tetapi bagaimana mencegah faktor-faktor yang menjadi pendorong kemunculannya,” jelasnya.
Selain itu, pria yang berpengalaman dalam isu kebebasan berekspresi dan pluralisme itu juga menyebut bahwa faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya ekstrimisme kekerasan ini cukup kompleks sekali dan multi aspek. Sehingga menurutnya perlu pendekatan yang komprehensif dan banyak sektor perlu terlibat di sini.
”Tentunya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagai koordinator penanggulangan terorisme dapat melakukan konsolidasi segera dengan K/L terkait. kemudian juga membuka konsultasi dengan masyarakat sipil untuk membuka ruang diskusi terkait hal ini,” ucapnya.
Oleh karena itu mantan Pemimpin Redaksi sekaligus penulis di majalah Syir’ah ini menyampaikan bahwa BNPT harus juga secepatnya melakukan sosialisasi kepada K/L dan masyarakat secara intensif terkait RAN-PE ini. Karena menurutnya hal ini juga menyangkut makin menajamnya keterbelahan di masyarakat yang dipicu oleh ideologi ekstrimisme kekerasan dan hal itu penting untuk disebutkan di awal.
”Kalau kemudian ini dituduh abuse of power dan menciptakan pembelahan di masyarakat, kita harus merespon bahwa ini justru dibuat sebagai upaya untuk tidak mempertajam pembelahan di masyarakat yang diakibatkan oleh ideologi yang ekstrimis itu,” ujar mantan Direktur Eksekutif MediaLink itu.
Oleh sebab itu dalam rangka sosialisasi RAN-PE, ia berharap BNPT dapat menggandeng kelompok sosial keagamaan yang memiliki basis massa yang cukup luas untuk kemudian bersama-sama menyampaikan bahwa RAN-PE ini hadir sebagai upaya pemerintah untuk mencegah paham ekstrimisme kekerasan di masyarakat.
”Saya kira itu yang harus dilakukan supaya tidak timbul kesalahpahaman di masyarakat. Karena kalau soal penegakan hukum, saya kira sudah ada protokol sendiri untuk itu. Penguatan resiliensi di masyarakat ini penting karena bisa juga untuk menghindari kehadiran pemerintah secara eksesif di masyarakat,” kata peraih gelar Master bidang Antropologi, FISIP Universita Indonesia ini.
Karena menurutnya, jika terkait dengan daya tahan di masyarakat ini juga ditangani oleh kepolisian, justru bisa runyam. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa memang harusnya yang bergerak adalah masyarakatnya. Sementara Pemerintah memfasilitasi bagaimana masyarakat ini memiliki resilience, daya tahan tinggi dan punya kemampuan untuk cegah dini, respon dini, tanpa harus semuanya melibatkan aparat keamanan.
”Karena menurut saya akan menjadi tidak sehat jika semua aspek, seperti polisi terlibat atau tentara terlibat disitu. Nah hal inilah yang tidak dilhat secara menyeluruh oleh beberapa pihak diluar sana,” ujarnya mengakhiri.