Kala Pujian Sang Raja Terhadap Indonesia dan BNPT

Sungguh luar biasa! Itulah yang penulis dapat katakan atas tanggapan terhadap tampilan sang raja, King Abdulah selama bergaul dengan beliau di komplek kediaman Raja di Aqaba di Yordania.  Hampir Semua peserta yang hadir dalam pertemuan yang bertema South East Asia Task Force Meeting terkagum dengan tampilan beliau yang sangat sederhana itu. Tutur katanya begitu sopan, lembut dan enak didengar. Dalam dialog sesi coffee break beliau menghampiri satu-satu peserta dari manca negara, menyalami dan bertegur sapa. Saat ada yang memujinya, beliau membungkuk dengan kedua belah telapak tangan dikatupkan di depan dada. Lebih Solo dari ningrat Solo, begitu seloroh salah satu delegasi asal Indonesia. Antri makan beliau ikut mengantri, bahkan mendahulukan tamu-tamunya. Beberapa kali ada kejadian saling dorong untuk mempersilahkan antara raja dan tamu.

Dalam kesempatan itu, Penulis sempat melihat pelayan istana membisikan sesuatu, sepertinya menawarkan sesuatu kepada sang Baginda Raja. Sang raja mengelus-elus pundak sang pelayan sambil mengangguk-angguk kecil dan tidak selang 2 menit kemudian datang secangkir kopi di hadapan sang baginda. Dari  meja beliau kembali mengangguk dan menyentuh pundak sang pelayan sebagai bentuk ucapan terima kasih. Suatu sikap yang sangat langka kita lihat pada masa kini yang tercermin dari seorang pemimpin sekaliber itu.

Masih soal pertemuan tersebut. Sejatinya, pertemuan tersebut sangatlah formal. Subtansi yang dibicarakanpun sangat sentral tentang keamanan global. Tetapi kembali orang terkagum saat  beliau menyarankan pakaian casual tanpa dasi-dasian. Beliau hanya mengenakan kaos berleher warna abu-abu yang tidak bermerk terkenal yang kita juga bisa beli di mall-mall di Indonesia. Arlojinya sama dengan kebanyakan yang dipakai oleh kelas menegah Indonesia. Sepatunyapun demikian. Kalau dalam kondisi dan tampilan pada Aqaba Meeting seperti itu dan beliau berjalan di Tanah Abang Blok A, misalnya. Maka bisa dibayangkan sepertinya tidak ada yang bakal tahu kalau beliau adalah seorang baginda Raja pemilik sebuah negeri.

Tampilan dan model komunikasi beliau seperti itu tentu sangat tidak sebanding apabila melihat istana dan kediaman beliau dengan penjagaan yang berlapis-lapis, mulai dari pintu gerbang sampai ke tepi pantai tempat sang baginda raja melakukan relaksasi. Orang akan membayangkan bahwa beliau akan sangat menjaga dan menghemat kata-katanya. Di mana semua orang akan membungkuk saat bertemu atau beliau lewat.

Apa yang Menarik Perhatian Raja tentang Indonesia, khususnya BNPT?

Seperti penulis ulas sekilas sebelumnya, ternyata berlaku pula sebaliknya begi Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Penulis sendiri selaku Deputi Kerjasama Internasional BNPT, Duta Besar Indonesia untuk Jordania, seorang staf KBRI dan seorang staf Direktorat Bilateral Deputi III BNPT. Dalam sesi coffee break, beliau sangat memuji langkah Indonesia utamanya dalam pencegahan terorisme dan upaya berbagai alternatif agar teror tidak terjadi lagi di Indonesia. Untuk itu penulis mencoba kembali mengulas apa yang penulis sampaikan di forum itu dalam paparan dan sesi intervensi terhadap ketiga sesi dalam kegiatan tersebut.

Pertama; Kita (Indonesia) bukanlah negara yang imun terhadap rencana dan aksi terorisme. Sejak tahun 1948 sampai tahun 1980an dan dari tahun 1980an sampai tahun 2000an hingga hari ini terorisme senantiasa menjadi persoalan bangsa Indonesia. Berbagai persoalan kekerasan seperti separatisme pernah terjadi. Gerakan mengatasnamakan penegakan ideologi agama yang sangat pro kekerasan menjadi alasan berbagai perbuatan tersebut. Untuk melengkapi itu berbagai perangkat regulasi telah beberapa kali mengalami perubahan.

Pada era Orde Lama, Presiden Indonesia, Ir. Soekarno, pernah tercatat setidaknya 23 kali direncanakan untuk dibunuh dan 7 kali rencana tersebut sempat menjadi aksi nyata. Berbagai kejadian seperti peristiwa Raja Mandala, Stadiun Mato Angin, Mesjid Ujung Pandang, peristiwa penyerangan dengan Mig 17 Alexander Maukar, Jalan Raya Bogor, penyerangn di Perguruan Tinggi Cikini (Percik). Berbagai kejadian tersebut mendorong Presiden melakukan perubahan Undang-undang yang melahirkan Undang-undang PPNS Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi mendamping KUHP dan Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 dan juga menerapkan operasi militer penuh.

Begitupun pada masa Orde Baru pada pemerintahan Presiden Soeharto. Di samping memperkuat praktek penguatan negara terhadap upaya-upaya separatisme dan makar, penguatan kontrol lebih intens dan keras diterapkan termasuk kontrol media. Dalam pendekatan kebijakan tersebut operasi intelijen menempati ruang signifikan. Dalam prakteknya, peran Laksus dan Kobkamtib menjadi pijakan dari kebijakan kontrol keamanan. Dan pada Orde Reformasi dengan terpisahnya TNI dan Polri yang sebelumnya berinduk dalan tubuh ABRI dengan TAP MPR Nomor 10 dan 11 tahun 2000, kegiatan terorisme, khususnya setelah Bom Bali menjadi konsen Polri, melalui pendekatan penegakan hukum. Bom bali menjadi lahan praktek Polri dengan berbagai evaluasi hukum dan akhirnya dengan terungkapnya jaringan internasional, maka pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2002. Terorisme terus menjadi konsen utama, pemerintah selanjutnya mendirikan badan khusus dalam menangani tindak pidana terorisme dan lahirnya Undang-undang terorisme yang berdiri sendiri, yakni Undang-undang Nomor 15 tahun 2003.

Dengan kerja keras aparat, penulis menyampaikan pada forum tersebut, akhirnya rangkaian terorisme Al Qaedah di Indonesia dapat diungkap dari generasi 1 sampai dengan generasi 4.  Seribu lebih dari tahun 2000 sampai dengan 20017 saja, pelaku dapat ditangkap. Tokoh tokoh sentral dari pimpinan al Jamaah al Islamiyah (JI) Indonesia termasuk Amir dan Panglima JI dapat ditangkap.

Kedua; kami Indonesia tidak menerapkan konsep pemikiran “war against terorist“. Kami, Indonesia, lebih mengedepankan proses penegakan hukum atas sebuah tindak pidana yang kita sebut terorisme. Hal ini untuk menghilangkan, meniadakan dan meminimalkan pelanggarah HAM. Untuk itu Indonesia telah menjadikan pedoman dan telah meratifikasi 8 dari 19 UN Convention yang ada. Apa yang ingin penulis tegaskan bahwa Indonesia dalam proses penanggulangan terorisme tidak akan pernah keluar dari koridor hukum Internasional tersebut.

Hal yang menarik lainnya bahwa di Indonesia dalam penindakan RPE (Reid Planning Execution) dapat dan memungkinkan pelibatan militer. Sebagai contoh Kasus operasi terhadap MIT (Mujahidin Indonesia Timur) di mana militer melakukan tugas penindakan dengan sangat baik dalam konteks Beyond Police Capacity dengan menembak mati gembong Santoso karena melakukan perlawanan. Setelah kematian, prosesnya bukan pada war ending, tetapi pada “do process of law

Ketiga; karena bukan perang terhadap terorisme, maka yang kita (Indonesia) hadapi adalah perang menghadapi kesesatan ideologi dan mindset tentang agama. Untuk itu peran penegakan hukum yang sangat “hard approach” harus berjalan paralel dengan program bagaimana merubah kegilaan ideologi dan mindset tersebut. Program tersebut dijalankan terhadap orang radikal dalam tahanan, yang sudah di luar tahanan, keluarga, komunitas dan pihak lainnya yang berpotensi menjadi radikal dalam terorisme. Dalam prakteknya, dibuatlah program “soft approach” bernama deradikalisasi. Komunikasi intens, konseling, identifikasi, observasi berkesinambungan terhadap napi, mantan napi, keluarga napi secara masif dilakukan. Buktinya hampir semua pelaku terorisme dari level hardcore, middlecore dan softcore pernah berhubungan kontak verbal dengan penulis.

Keempat; jika Al Qaedah di berbagai negara sulit diberantas, di indonesia justru tokoh prominent inti semua sudah tertangkap. Dari tokoh inti tersebut ditemukan beberapa perencanaan besar untuk terorisme global. Dalam dokumen PUPJI (Pedoman Perjuangan Umum al Jamaah al Islamiah), misalnya, terungkap perencanaan global yang harus dilakukan mulai markaziah, mantiqi, wakalah sampai ketingkat Tr /Rw. Dari dokumen itu terungkap bahwa para pemimpin al Qaedah Indonesia (baca: al Jamaah al Islamiyah) adalah mereka yang memiliki kemampuan menajemen terbaik untuk menggerakan terorisme Asia. Mereka mampu mengorganisir, merayonisasi penugasan dan menggalang pendanaan dengan baik.

Kelima; belajar dari berbagai pengalaman tersebut, Indonesia menganggap kolaborasi dan kerjasama antar negara menjadi penting. Apa yang dilakukan Indonesia saat ini adalah melakukan monitoring perkembangan terorisme global yang akan mengancam kepentingan nasional Indonesia dan kawasan. Saat ini ancaman baru bagi Indonesia dan kawasan adalah ISIS. Indonesia harus mampu mencegah dengan memonitor dan melakukan langkah-langkah preventive justice.  Ada lebih kurang sembilan ancaman yang bisa digagalkan di Indonesia yang membuat ISIS tidak memilih Indonesia sebagai wilayat. Secara regional persoalan bagi Indonesia adalah:

1) Bersatunya kekuatan bangsa Melayu di Irak-Suriah yang mengusung nama Katibah Nusantara yang dikomandoi oleh Bahrum Naim, Bahrumsyah, dan Abu Jandal dan telah bergabung pula Abu Muhamad Wandy alias Muhamad Jeddy warga negara Malaysia dan juga mantan napi terorisme Filipina asal WNI atas nama Muhamad Faiz di Iraq dan Suriah.

2) Indonesia juga mencegah masuknya radikalisme Indonesia ke negara lain yang lebih baik ditangkap dari pada negara tetangga kita diserang. Seperti Katibah Gonggong Rebus yang hendak menyerang Marina Bay, Singapura mampu dideteksi dan dilakukan penindakan sebelum beraksi. Indonesia telah menangkap 10 WNI asal Jambi yang mau berangkat ke Filifina untuk bergabung dengan Walayat Filipina di bawah komando Abu Sayyaf. Indonesia memonitor jaringan yang berpotensi dan pernah berniat bergabung dengan jaringan Mahmoed Achmad Malaysia yang pernah ditangkap otoritas Malaysia saat seorang wanita Malaysia, 2 warga Bangladesh dan seorang warga Filipina di sabah Febuari 2016 lalu yang merencanakan melibatkan warga negara Indonesia.

Keenam; dalam melakukan pendekatan lunak “soft approach” dalam program deradikalisasi dilakukan tidak hanya oleh BNPT dan Densus 88 saja. BNPT sebagai koordinator juga telah bekerjasama dengan 31 kementerian lembaga, dan ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia untuk melakukan deradikalisasi bersama dengan BNPT sebagai leading sector. Guidance diberikan oleh BNPT sementara secara tehnis disesuaikan dengan core business masing masing stakeholder terkait.

Ketujuh; Indonesia memiliki Jakarta Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang  sebagai upaya beberapa negara untuk membuat tempat latihan bersama dalam penanganan terorisme. Lembaga ini telah melahirkan ribuan hasil didik dari manca negara. Pun juga melahirkan beberapa expert dalam penanganan terorisme

Dari paparan tersebut Sang Raja Baginda Abdullah menyampaikan apresiasi tersendiri saat coffee break secara pribadi dan secara umum disampaikan saat acara penutupan. Sang baginda mengatakan akan mengadopsi apa yang telah dilakukan dan akan mengikuti apa yang dilakukan Indonesia terhadap bagian kelima dan Keenam. Menurut beliau kerjasama dan kolaborasi antar negara kawasan, menjaga tetangga negara kawasan agar tidak diserang dan dimasuki teroris adalah kebijakan yang sanga penting. Namun, menurut sang Raja yang terpenting adalah bagaimana NCTA (baca:BNPT) mampu menggagas dalam menggerakkan 31  kementerian/lembaga dan ormas dalam program deradikalisai yang belum dilakukan oleh negara lain

SUKSES INDONESIA, SUKSES BNPT!