Narasi dan Politik Identitas

POLA PENYEBARAN DAN PENERIMAAN RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA

Laporan Nasional

Koordinator Penelitian:

Dr. Noorhaidi Hasan

Peneliti Utama:
Dr. Noorhaidi Hasan Dr. M.

Iqbal Ahnaf

Dr. Chaider Bamualim

Dr. Ahmad Patiroy

Dr. Ismatu Ropi

Kerjasama
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,

Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) dan

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Republik Indonesia
2013

PENDAHULUAN

Latar Belakang

       Keberhasilan aparat hukum membongkar jaringan teroris bukan berarti akhir ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia. Laporan sejumlah lembaga survei menunjukkan Indonesia masih menjadi lahan subur bagi reproduksi ideologi radikal yang memungkinkan berlanjutnya ekspansi jaringan dan aksi terorisme. Jika mencermati situasi dua tahun belakangan, aksi-aksi terorisme memang masih kerap terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Di Jawa Tengah, misalnya, pada tanggal 25 September 2011 berlangsung aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh Achmad Yosepa Hayat di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Solo. Kemudian, pada tahun 2012, teroris melakukan penembakan dengan sasaran anggota polisi, Bripka Dwi Data Subekti, di Pos Polisi Plasa Singosaren. Yang paling baru tentu saja penembakan terhadap sejumlah angggota polisi di berbagai kawasan Jabodetabek, yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris. Sederet peristiwa tersebut beresonansi dengan banyaknya gembong teroris yang belakangan juga tertangkap di Poso, Sulawesi Tengah, yang pada akhirnya menempatkan Indonesia tetap sebagai negara yang rawan serangan teroris.

        Diperparah dengan fakta banyaknya aksi-aksi vigilante (kekerasan jalanan) dan tindakan intoleransi terhadap minoritas yang mengusik prinsip-prinsip kebhinnekaan yang telah disepakati pendiri bangsa, Indonesia memang tampaknya masih harus tetap waspada terhadap ancaman radikalisme dan terorisme. Meski tidak ada kaitan langsung antara aksi vigilante dengan terorisme, agensi ideologi radikal dan teroris terbukti mempunyai kemampuan beradaptasi atau mengubah diri dan pola gerakan serta aksi dan sasaran mereka. Agensi tersebut bahkan berperan memperluas sirkulasi ideologi radikal dan teroris dari kalangan terbatas yang sangat kecewa terhadap situasi ketidakadilan yang mereka alami.

        Namun demikian, walaupun berperan sentral dalam proses rekruitmen, ideologi hanyalah berfungsi mengukuhkan framing yang dibangun di atas skeptisisme dan kekecewaan terhadap situasi sosial, politik dan ekonomi. Skeptisisme dan kekecewaan tersebut memerlukan outlet yang kerap bertemu dengan ambisi meraih kekuatan semu (illusive power), dalam ikatan solidaritas dan payung komunalitas alternatif yang ditawarkan gerakan radikal dan teroris. Hal ini tidak jarang bermuara pada maraknya aksi-aksi radikalisme dan terorisme. Globalisasi turut mempercepat berkembangnya pengaruh radikalisme karena bukan saja mengancam nilai-nilai tradisional masyarakat tetapi juga mempersempit jarak spasial maupun temporal antara satu negara dengan negara lain. Disamping faktor-faktor makro struktural ini, persoalan psikologi dan beragam masalah mikro individual juga dipercaya kerap menjadi pendorong bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam aksi radikalisme dan terorisme.

     Memperhatikan kompleksitas masalah di seputar radikalisme dan terorisme yang mengancam Indonesia masa kini, penelitian ini menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami kunci keberhasilan jaringan radikal dan teroris untuk bertahan dan memperluas pengaruh mereka di tengah masyarakat. Memilih narasi sebagai fokus kajian, penelitian ini berupaya menelisik kedalaman pengaruh radikalisme dan terorisme dan mengungkap faktor-faktor yang melatarinya. Di samping itu, penelitian ini berupaya menjelaskan pola- pola penyebaran dan penerimaan ideologi radikal dan teroris, sekaligus menakar tingkat pengaruhnya di masyarakat.

Kerangka Konseptual

        Berangkat dari asumsi bahwa lanskap sosial-politik, terutama di tingkat lokal, berperan penting dalam mobilisasi ideologi radikal dan teroris, penelitian ini menggunakan konsep narasi sebagai anjakan untuk melihat potensi penyebaran radikalisme dan terorisme di masyarakat. Konsep ini dipahami dalam kaitan erat dengan politik identitas sebagai kerangka acuan memahami mengapa narasi tertentu berkembang di satu provinsi dan tidak di provinsi lainnya. Penggunaan konsep narasi untuk memahami model mobilisasi gerakan radikal digunakan misalnya oleh Halverson, Goodall & Corman. Dalam buku mereka berjudul Master Narratives of Islamist Extremism, narasi didefinisikan sebagai gabungan dari cerita-cerita berbeda yang dikombinasikan secara koheren untuk mendukung satu tujuan atau ideologi tertentu dengan memperhatikan emosi dan kondisi audiens. Narasi mengandung penjelasan terhadap situasi yang tidak diinginkan dan arahan tentang bagaimana mengatasi situasi tersebut.2 Meski berkaitan erat, narasi berbeda dengan ideologi. Ideologi adalah seperangkat nilai, konsep atau visi tentang apa yang ingin diwujudkan lengkap dengan cara mewujudkannya, sementara narasi adalah bentuk penyampaian ideologi agar bisa diterima oleh audiens. Jika ideologi lebih bersifat normatif, narasi lebih kontekstual dalam bentuk penggabungan antara situasi kekinian dengan “mitologi” atau sejarah peperangan masa lalu yang bersifat abadi dan universal yang lekat dengan identitas pembawa pesan atau biasa disebut dengan konsep cosmic war.

        Sebagai bentuk strategi komunikasi kajian Halverson, Goodall & Corman terhadap buku-buku pokok para ideolog Islamis menemukan empat pola narasi ekstrim, termasuk: (a) membangun pemahaman bahwa pemahaman pembawa pesan yang bersifat ekstrim sebagai pemahaman yang disepakati oleh semua pihak (obscuring internal contradictions), (b) memberi kesan bahwa apa yang terjadi pada tempat tertentu adalah bagian dari skenario (musuh) yang bersifat universal atau global (universalizing them within populations), (c) menciptakan kesan bahwa cerita atau padangan mereka adalah pemahaman yang sudah umum atau common sense (naturalizing their claims as “common sense”), dan (c) berdasarkan cerita atau pemahaman tersebut mengarahkan audiens untuk ikut serta dalam melakukan aksi atau gerakan yang dijalankan oleh pembawa pesan (structuring social movements based on them).

        Kajian terhadap narasi membuka peluang untuk memahami potensi pengaruh sebuah gerakan melalui pola yang lebih luas. Partisipasi seseorang terhadap sebuah gerakan tidak selalu diawali dengan penerimaan mereka secara rasional terhadap ideologi sebuah gerakan. Seringkali ketertarikan terhadap sebuah gerakan diawali oleh pengaruh cerita dan identifikasi emosional melalui narasi. Ketertarikan ini bisa mendorong seseorang untuk berhubungan lebih dekat (engage) dengan pihak pembawa pesan yang pada tahap selanjutnya akan mendapatkan kesempatan untuk menanamkan ideologi. Penerimaan narasi bukan berarti penerimaan ideologi, tetapi penerimaan narasi bisa menjadi pintu masuk bagi ideologisasi. Karena itu, memahami peta narasi dan penyebarannya di masyarakat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat dan pola pengaruh gerakan radikal dan teroris.

        Literatur kajian politik Islam memasukkan berbagai jenis gerakan contentious bernuansa keagamaan ke dalam satu kerangka pembacaan yang dikenal dengan “Islamisme.” Istilah ini digunakan untuk merujuk pada ekspresi politik-keagamaan yang menjangkau empat spektrum utama, meliputi militansi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Keempat hal ini secara berurutan menunjukkan gradasi kekuatan pengaruh Islamisme yang menancap pada diri seseorang. Keempatnya dapat digambarkan ke dalam tabel matriks di bawah.

Matriks Islamisme

Intolerensi

Anti- sistem

Revolusioner

Kekerasan

Teror

Militansi

V

V

Radikalisme

V

V

V

Esktremisme

V

V

V

V

Terorisme

V

V

V

V

V

        Konsep militansi merujuk kepada pikiran dan pandangan serta tindakan intoleran yang berupaya mendorong perubahan dengan mengambil jarak dari masyarakat terbuka di sekitar (open society), disertai komitmen pengingkaran terhadap sang lian. Militansi dapat berkembang menjadi radikalisme, yang merupakan varian dalam Islamisme yang menginginkan perubahan radikal dalam sistem politik ataupun masyarakat. Radikalisme memiliki visi utama tentang tatanan politik Islam yang menolak legitimasi negara-bangsa berdaulat modern dan berupaya mendirikan pemerintahan pan-Islam ataupun merevitalisasi kekhalifahan.

      Jika keinginan untuk mengubah sistem menemui jalan buntu, tidak jarang kaum radikal mengabsahkan penggunaan kekerasan untuk mewujudkan visi Islamis mereka. Dari sini berkembang ekstremisme. Ekstremisme memberi penekanan terhadap jalan kekerasan dan revolusioner sebagai metode utama dan bahkan satu-satunya yang dianggap sah untuk mewujudkan perubahan politik. Dari ekstremisme berkembang terorisme. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan karena dilandasi pemikiran dan taktik sistematis untuk tujuan politik tertentu. Tindakan kekerasan yang tidak dilandasi pemikiran dan taktik sistematis tidaklah bisa disebut terorisme.

Tujuan dan Metode Penelitian

        Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi radikalisme dan terorisme di masyarakat dengan memetakan konstruksi narasi yang berkembang, pola-pola dan strategi penyebaran narasi, serta konteks yang mendukung penerimaan narasi-narasi tersebut di masyarakat. Dilakukan di 20 provinsi dan berpusat pada ibukota masing-masing provinsi dengan mempertimbangkan adanya linkage dengan kota-kota lainnya di provinsi tersebut, penelitian ini berlangsung pada rentang Juli sampai September 2013. Sasaran utamanya adalah individu-individu dalam kategori-kategori yang diidentifikasi sebagai kelompok atau setting sosial yang menjadi sasaran (target groups) atau rentan terhadap penyebaran pengaruh radikalisme dan terorisme.

        Kelompok atau setting sosial ini dibagi menjadi 2 kategori: (a) tokoh masyarakat, yang meliputi pimpinan organisasi keislamanan, da’i, ta’mir masjid, tokoh kultural, dan tokoh politik; dan (b) kaum muda, yang meliputi aktifis remaja masjid, organisasi kepemudaan (Islam dan umum), Kerohanian Islam (Rohis) dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Peneliti memilih rata-rata 28 informan dari sebagian atau seluruh kelompok sasaran yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Pemilihan informan didasarkan pada identifikasi awal yang menunjukkan keragaman dalam beberapa aspek, termasuk latar belakang personal, tingkat keterpengaruhan, pola penerimaan, dan keunikan (peculiarity) yang dianggap bisa memberi kontribusi penting terhadap tujuan penelitian.

         Penelitian ini bersifat etnografis dalam pengertian berupaya memahami secara mendalam praktek dan kehidupan individu sebagai bagian dari komunitas dan menyelami perspektif informan dan keterkaitannya dengan konteks yang lebih luas. Hasil penelitian ini berupa deskripsi mendalam (thick description) yang tidak hanya memperhatikan apa yang nampak secara kasat mata dan yang disampaikan secara literal oleh responden, tetapi lebih dari itu menangkap lapisan atau kategori struktur dan makna (terutama dengan mempertimbangkan kontribusinya terhadap tujuan penelitian ini). Penelitian ini berupaya menghindari bias nilai atau penghakiman atas salah benarnya pemahaman subyek penelitian (responden). Data penelitian didapat melalui tiga cara sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap rata-rata 28 subyek penelitian yang diseleksi secara matang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaiman dijelaskan sebelumnya. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Dalam setiap wawancara peneliti menggunakan alat perekam dan atau membuat catatan tertulis.

2. Life Story

Penelitian ini juga melibatkan teknik eksplorasi tentang pengalaman hidup (life story) informan melalui tatap muka lebih dari 1 kali. Metode life story menekankan pada eksplorasi lebih lengkap tentang pengalaman hidup responden dengan menandai momen-momen penting yang dianggap menentukan dinamika penerimaan Islamisme oleh informan. Subyek penelitian untuk life story dipilah dari informan-informan yang diwawancarai. Pemilihan informan untuk life story ditentukan berdasarkan kuatnya tingkat keterpengaruhan Islamisme dan variasi latar belakang dan pola transmisi pengaruh.

Telaah Sumber Konstruksi narasi dan informasi yang disampaikan informan melalui wawancara dan life story sangat mungkin tidak lengkap. Karena itu penelitian ini juga melakukan penelusuran sumber-sumber narasi atau informasi yang bisa memperjelas narasi yang diterima informan. Selain itu telaah sumber dilakukan untuk menelusuri sumber- sumber transmisi ideologi radikal dan teroris yang berpengaruh pada wilayah penelitian. Data ini didapat dari dokumen-dokumen tertulis dan terekam, baik dalam bentuk buku, majalah, tulisan lepas, pamflet, selebaran, teks ceramah, kaset rekaman, dan video.

PETA NARASI

        Temuan penting yang patut dikemukakan di awal laporan ini adalah fakta bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan cukup sulit bagi kelompok-kelompok teroris untuk membangun basis pengaruh mereka di kalangan masyarakat luas. Hal ini karena masyarakat pada umumnya resisten terhadap narasi radikal-ekstrimisme. Namun ditemukan banyak kondisi yang bisa membuka peluang atau potensi bagi keberlangsungan ancaman radikalisme dan terorisme. Kondisi ini terkait dengan fakta bahwa imajinasi kewaspadaan terhadap sang lian, berbagai bentuk simpati dan toleransi kepada kekerasan terhadap minoritas, serta sikap ambigu menyikapi terorisme masih berkembang cukup luas di masyarakat.

     Penelitian ini menemukan tingkat pengaruh narasi ekstrimisme yang sangat rendah di kalangan masyarakat pada umumnya. Tidak hanya itu, tingkat resistensi masyarakat terhadap narasi ekstrimisme ternyata cukup tinggi; hal ini tidak hanya ditemukan di kalangan tokoh-tokoh moderat, tetapi juga pada sebagian kalangan yang mempunyai orientasi yang kuat dalam memperjuangkan peran syariah Islam secara luas dalam kehidupan publik. Patut dicatat, Indonesia pernah menjadi salah satu pusat aktivitas organisasi teror Jemaah Islamiyah. Serangan teror berulang terjadi selama hampir satu dekade sejak tahun 2002. Sel-sel teroris berkembang tidak hanya di wilayah-wilayah pedalaman rentan konflik yang jauh dari pusat kekuasaan seperti Ambon dan Aceh, tetapi juga bergerak dari gang-gang sempit perkotaan sampai perkampungan di Jawa yang menjadi pusat perkembangan Islam tradisional. Seiring semakin sempitnya ruang gerak teroris akibat keberhasilan otoritas anti-teror di Indonesia dalam membongkar organisasi dan jejaring teroris, narasi ekstrimisme yang ditawarkan oleh kelompok teroris tampaknya semakin terisolasi.

        Gambaran semacam ini bahkan juga ditemukan di kalangan masyarakat Kota Palu. Meskipun jarak geografis Kota Palu dan Poso, yang selama ini disinyalir menjadi salah satu basis kegiatan terorisme, tidak begitu jauh, narasi radikal-ekstrimisme dan apalagi terorisme tidak beresonansi secara memadai terutama karena bekerjanya mekanisme daya tolak sosial (social resilience) bersumber modalitas budaya yang telah berakar di masyarakat. Sebagaimana kota-kota provinsi lainnya, Palu memiliki figur-figur karismatik yang masih sangat dihormati masyarakat, yang terafiliasi dengan organisasi Muslim arus-utama, Al- Khairat. Rupanya keberlangsungan konflik Poso yang sebenarnya sarat dengan nuansa ekonomi-politik bukan disebabkan oleh dukungan masyarakat Sulawesi Tengah yang tinggi terhadap terorisme, tetapi lebih oleh faktor spesifik, yakni masuknya teroris-teroris dari luar Poso yang ingin melibatkan diri dalam konflik tersebut dan mempertahankan eksistensi mereka di kawasan yang mereka klaim sebagai medan jihad dan benteng pertahanan terakhir.

      Fakta terburuk yang ditemukan penelitian ini terkait masih adanya simpati sejumlah kalangan terhadap pelaku terorisme. Namun hal ini tidak bisa dipisahkan dari keyakinan mereka yang berlebihan terhadap teori konspirasi, bahwa Barat dan Zionis berada di balik aksi-aksi terorisme yang mengharu-biru Indonesia beberapa tahun terakhir. Menariknya, pada saat yang sama masyarakat melihat ideologi anti-sistem dan kekerasan yang dibawa oleh kelompok radikal-teroris sebagai ancaman dan bertentangan dengan kondisi di Indonesia yang dianggap damai di mana Islam bisa dipraktekkan dengan baik. Sebagaimana pembahasan di bawah, situasi ini ditunjukkan oleh kuatnya komitmen masyarakat Indonesia terhadap pilar-pilar utama ketatanegaraan seperti NKRI, Pancasila, dan demokrasi.

        Sekalipun demikian, situasi menggembirakan ini perlu disikapi secara kritis dan waspada. Pada sisi yang berbeda penelitian ini menemukan tingginya tingkat pengaruh narasi-narasi yang bisa berkembang menjadi faktor pendukung bagi mobilisasi ideologi ekstrim dan teroris. Di sebagian besar provinsi yang diteliti ditemukan pengaruh narasi intoleransi yang tinggi pada masyarakat, sebagaimana tercermin dari imajinasi permusuhan terhadap kelompok lain berdasarkan sentimen keagamaan dan pemakluman kepada aksi- aksi kekerasan terhadap minoritas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Narasi- narasi ini kadang-kadang berkembang secara tersamar dalam wacana pemurnian terhadap ajaran Islam dan perdebatan di seputar otentisitas agama, atau pengungkapan realitas ketidakadilan sosial di masyarakat serta isu ancaman dominasi kapitalisme dan budaya Barat, sebagaimana yang secara menonjol dijumpai di Sulawesi Tengah.

        Patut dicermati, banyak kalangan masyarakat masih bersikap permisif terhadap pemanfaatan atau manipulasi ruang-ruang publik oleh kelompok atau tokoh ekstrimis yang berupaya menyebarkan narasi mereka. Hal ini menjadi catatan tersendiri mengingat keberlangsungan gerakan radikal sangat ditentukan oleh struktur kesempatan politik yang terkait erat dengan sikap, dukungan ataupun respons masyarakat terhadap gerakan tersebut. Pembahasan di bawah ini menjelaskan dua sisi kontradiktif di atas.

MELAWAN NARASI ANTI-SISTEM

        Sejak awal pembentukan negara Indonesia, umat Islam terbelah antara mereka yang menginginkan Islam menjadi dasar negara dan mereka yang menginginkan sistem inklusif yang menghargai keragaman agama dan budaya di Indonesia. Meski pada akhirnya para pendiri bangsa bersepakat untuk tidak menjadikan Indonesia negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler, tidak sedikit kalangan yang menyimpan aspirasi untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Mereka berharap demokrasi yang menjadi pilihan akan membuka jalan bagi terwujudnya konstitusi berdasarkan syariah Islam. Tetapi hingga saat ini, lebih dari setengah abad sejak kompromi itu dicapai, situasi tidak berubah; cita-cita untuk menjadikan Indonesia negara Islam harus berbenturan dengan realitas keragaman agama di Indonesia. Rendahnya resonansi narasi ekstrimisme yang melegitimasi terorisme berkelindan dengan tingginya komitmen masyarakat terhadap sistem politik demokratis yang ada.

        Mayoritas Muslim, sebagaimana tercemin dari pandangan para tokoh masyarakat yang diwawancara di 20 provinsi melalui penelitian ini, mempunyai komitmen yang kuat terhadap pilar-pilar utama sistem politik Indonesia, yakni NKRI sebagai bentuk negara, Pancasila sebagai ideologi negara, dan demokrasi sebagai mekanisme politik. Situasi ini menarik karena belakangan, sejak era demokrasi dan keterbukaan pascaruntuhnya pemerintahan Suharto, gerakan-gerakan yang mengusung ideologi transnasional anti-sistem seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin leluasa menyebarkan narasi anti-demokrasi.

        Meski proses demokratisasi masih diwarnai oleh wajah buram berupa politisi dan pejabat yang korup, anggota parlemen yang melanggar moralitas dan pemilu yang banyak diwarnai oleh kekerasan, tingkat kepercayaan terhadap demokrasi sebagai pilihan sistem terbaik untuk Indonesia masih sangat tinggi. Menguatnya basis-basis gerakan agama militan yang memanfaatkan kebebasan politik nampaknya tidak cukup kuat menggoyahkan komitmen sebagian besar Muslim Indonesia terhadap sistem politik yang ada. Penelitian ini mengkonfirmasi penemuan sejumlah lembaga survei yang menunjukkan kecenderungan serupa: NKRI, Pancasila, dan bahkan demokrasi dianggap sebagai pilihan final bangsa Indonesia.

     Nalar penerimaan Muslim Indonesia terhadap sistem politik yang ada saat ini didasarkan pada sejumlah narasi baik yang bersifat teologis, historis maupun empiris. Secara teologis sejumlah tokoh agama yang diwawancarai dalam penelitian ini mengkaitkan Pancasila dengan beberapa nilai atau norma universal dalam Islam. Contohnya, antara lain, konsep maqasid al-syariah (tujuan-tujuan pokok hukum Islam) dalam ushul al-fiqh (teori jurisprudensi Islam) yang meniscayakan perlindungan terhadap jiwa, properti, keturunan, dan (kebebasan) intelektual serta agama sebagai tujuan terpenting kebijakan publik, yang bermuara pada perwujudan Islam sebagai sumber kebaikan bagi semua (rahmatan lil alamin). Seorang responden dari kalangan organisasi pemuda di Jawa Timur menyampaikan karakter Islami Pancasila sebagai berikut:

        Bentuk pemerintahan Indonesia sekarang itu tengah-tengah. Nilai sila-sila yang ada dalam Pancasila itu ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pancasila sebagai produk yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh Islam yang luar biasa, dan nilai-nilai yang ada di dalamnya seusai dengan tauhid. Pacasila merupakan intisari nilai-nilai dalam Islam.

        Secara historis, sebagian responden membela sistem politik yang ada sebagai pilihan terbaik karena melihatnya sebagai kesepakatan para pendiri bangsa yang harus dipelihara. Mereka meyakini kesepakatan ini tentunya sudah mempertimbangkan kondisi spesifik Indonesia yang tidak memungkinkan sistem politik yang berpihak hanya kepada satu kelompok agama tertentu. Hal ini tercermin dalam pernyataan Ketua Ansor Samarinda berikut:

         Kalau saya melihat apa yang dilakukan oleh para founding father … kalau seandainya saat itu mereka mau voting, pasti menang lho negara Islam. Namun karena mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar maka dipilihlah Pancasila seagai ideologi negara.

       Karena itu seorang aktifis mahasiswa di Samarinda melihat gerakan memperjuangkan khilafah sebagai pengkhianatan terhadap kesepakatan pendiri bangsa:

Klilafah itu sama dengan pengkhianatan terhadap para pendahulu kita. Kita harus tahu sejarah. Indonesia ini kan, agama Hindu dan agama Budha ini sudah ada sejak Nol Abad …, tetap mereka tidak pernah bicara soal Negara Hindu, Negara Budha, tetapi kenapa kita yang datang belakangan mengajukan Negara Islam. Itu kan artinya kita mengkhianati para pendahulu kita. Artinya NKRI itu harga mati. Konstitusi yang sudah dirumuskan oleh founding father itu sudah tepat, ya tinggal kita benahi aja.

        Dalam narasi serupa, seorang responden di Surabaya merujuk pada pernyataan yang diklaim berasal dari M. Hatta (proklamator kemerdekaan Indonesia). Ia menyatakan Hatta pernah memberikan saran kepada sebagian umat Islam yang bersikeras untuk menjadikan Indonesia negara Islam agar mengutamakan penerapan syariah pada aspek substansial. Hatta mengilustrasikan pandangannya ini dengan metafora gincu dan garam. Ia mengingatkan agar penerapan syariah Islam tidak mengutamakan formalitas tetapi tidak berdampak positif kepada kehidupan. Penerapan syariah Islam sebaiknya tidak sebatas aksesoris layaknya gincu yang hanya menampilkan keindahan di permukaan semata. Sebagai alternatif, Hatta menyerukan pentingnya memperjuangkan penerapan syariah Islam secara substantif dengan mengutamakan dampak positif syariah tanpa menonjolkan bentuk atau kemasan layaknya garam yang bisa dirasakan secara nyata tanpa mempedulikan bentuknya.

        Nalar lain yang juga cukup menonjol dalam penerimaan terhadap sistem politik yang ada adalah narasi bahwa masyarakat Indonesia adalah multikultur yang tidak sesuai bagi negara agama. Fakta keberadaan non-Muslim sebagai bagian penting dalam jumlah yang tidak sedikit menjadi pertimbangan untuk meyakini ketidaksesuaian negara Islam dengan Indonesia. Ada dua alasan yang mengemuka untuk mendukung narasi ini. Pertama, keputusan menjadikan Indonesia negara Islam diyakini bisa memicu perlawanan dari penganut agama lain di Indonesia yang bisa mengakibatkan perpecahan NKRI. Narasi yang sudah muncul sejak masa awal kemederkaan tentang resistensi terhadap pendirian negara agama di wilayah-wilayah mayoritas non-Muslim seperti di beberapa provinsi di Indonesia Timur nampaknya masih berlaku hingga sekarang. Kedua, sebagaimana tercermin dalam nalar yang muncul dari seorang responden tokoh agama di Samarinda dan Palembang, ada kekhawatiran bahwa jika negara mendapat label Islam, maka akan menjadi kontraproduktif. Hal ini karena negara tidak selalu berperilaku adil, dan ketika negara berperilaku zalim sementara negara itu mempunyai label Islam, maka kezaliman negara akan diasosiasikan dengan Islam itu sendiri.

        Sikap terhadap sistem politik di Indonesia tentunya perlu dilihat secara bernuansa. Berbeda dengan konsensus penerimaan terhadap Pancasila, banyaknya problem yang menyertai proses demokrasi membuat sebagian kalangan bersikap ambigu terhadap demokrasi. Sebagian responden meyakini demokrasi tidak sesuai dengan Islam secara normatif, tetapi secara empiris realitas Indonesia membuat demokrasi menjadi pilihan yang raalistis. Hal ini misalnya tercermin dalam pandangan aktifis LDK di Jakarta berikut:

      (Demokrasi) tidak sesuai dengan Islam. (Seharusnya) tidak ada voting dalam pemilihan pemimpin. Yang memilih adalah majlis syura. Akan tetapi, untuk saat ini walaupun belum ideal, kita gunakan hal-hal yang masih sesuai dengan nilai-nilai Islam (tidak mengapa sistemnya menggunakan nama demokrasi, tetapi dalam implementasinya harus sedapat mungkin sesuai dengan nilai-nilai Islam). (Ke depan) kita harus punya siasah. Ini adalah pertarungan ideologi. (Kita dihadapkan kepada) banyak isme. Ada liberalisme, sosialisme dan lain-lain. Demokrasi dinilai masih lebih dekat kepada nilai-nilai Islam. Umat Islam harus peduli (terlibat aktif) terhadap persoalan ini, sebab kalau menutup mata maka ini memberi peluang bagi pihak lain untuk semakin menantapkan ismenya. Nama sistemnya apa saja, yang penting nilai-nilainya Islami. Dan demokrasi masih dianggap yang paling dekat dengan nilai-nilai Islam.

     Yang menarik sikap pro-demokrasi ini bertautan dengan aspirasi yang cukup tinggi terhadap penerapan syariah di sebagian besar masyarakat. Upaya menegakkan syariah Islam memang dipandang masih esensial sebagai jalan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam dalam arena politik. Namun bahkan di Sulawesi Selatan, yang dikenal dengan kegigihan masyarakatnya untuk menerapkan syariah di bawah kepeloporan Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam (KPPSI), hal ini diyakini harus dilakukan melalui jalur konstitusional. Syariah dan demokrasi semakin jarang dipertentangkan. Meski sebagian masih mengkritik demokrasi sebagai sistem yang belum mampu menciptakan perkembangan signifikan bagi Indonesia, masyarakat percaya bahwa demokrasi bisa menjadi alat untuk menjadikan Indonesia lebih Islami di bawah semangat dasar syariah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Karena itu, yang diinginkan oleh kelompok responden ini bukanlah menggulingkan demokrasi atau mengganti Pancasila dengan ideologi Islam, tetapi membuat demokrasi dan Pancasila lebih Islami.

        Bisa dikatakan sikap realistis dalam menerima sistem politik yang ada sudah menjadi pemahaman yang mapan di Indonesia. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri tidak sedikit dari responden yang tetap bersikukuh dengan idealisme menjadikan Indonesia negara Islam. Di Jakarta, idealisme demikian nampak terutama di sebagian kalangan anak muda gerakan Islam seperti LDK dan Rohis; sementara sikap lebih realistis berkembang dominan di kalangan aktifis senior termasuk mereka yang memperjuangkan penerapan syariah secara lebih luas. Secara geografis beberapa provinsi, seperti Jawa Barat, memiliki tingkat aspirasi yang lebih tinggi terhadap berdirinya negara Islam.

       Tingginya aspirasi terhadap idealisme negara Islam di Bandung ini kontras dengan situasi di Aceh. Meski kedua wilayah ini dikenal pernah menjadi basis gerakan negara Islam, berbeda dengan Jawa Barat idealisme negara Islam bersonansi rendah di kalangan masyarakat Aceh. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh fakta bahwa syariah saat ini sudah menjadi identitas orang Aceh; status istimewa Nangroe Aceh Darussalam yang mendapatkan otoritas memberlakukan syariah Islam menjadikan ide negara Islam tidak relevan di wilayah ini. Di Bandung, meski Jawa Barat dikenal sebagai basis intoleransi, pemberlakukan syariah di wilayah ini tidak memiliki cakupan yang luas atau istimewa seperti di Aceh. Akibatnya, imajinasi negara Islam tidak menemukan saluran yang bisa dianggap memadai di dalam tatanan politik yang ada.

       Yang patut dicatat justru adalah menguatnya resistensi terhadap gerakan Islam transnasional, yang menyebarkan faham perlawanan terhadap sistem yang ada. Contohnya adalah HTI dan Salafi-Wahabi. HTI tidak terpisahkan dari gerakan Islam transnasional Hizb ut-Tahrir, yang didirikan Taqiy al-Din al-Nabhani di Palestina pada 1953. Gerakan ini diperkenalkan di Indonesia oleh ‘Abd al-Rahman al-Baghdadi, seorang aktifisnya dari Australia, dan menyebar dengan cepat di kampus-kampus perguruan tinggi sejak awal 1990- an.6 Sementara, gerakan Salafi-Wahabi awalnya dikenali sejak pertengahan 1980-an ketika ruang publik Indonesia menyaksikan kemunculan pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam dan penutup muka (niqab). Secara explisit menyebut diri “Salafi,” mereka memperkenalkan sebuah varian Islam yang sangat rigid, yang terfokus pada upaya pemurnian tauhid dan praktik keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai jalan untuk mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal Muslim.

MENTAL KEWASPADAAN (SIEGE MENTALITY)
Rendahnya pengaruh narasi ekstrimisme bertolak belakang dengan kuatnya narasi yang membangun imajinasi tentang situasi umat Islam yang terancam oleh kekuatan-kekuatan dari luar dan internal Islam. Masyarakat pada umumnya melihat Indonesia sebagai negara Muslim yang relatif aman atau tidak berada dalam situasi perang seperti Palestina dan Afghanistan. Kecuali pada konteks tertentu seperti saat meletus konflik Muslim-Kristen di Maluku tahun 1999-2002, Indonesia tidak dilihat sebagai medan peran yang mengizinkan aksi teror. Cara pandang demikian menunjukkan gagalnya transmisi narasi ekstrimisme yang kerap disampaikan oleh kelompok-kelompok radikal. Salah satu narasi yang menjustifikasi aksi teror di Indonesia adalah penafsiran terhadap ayat al-Qur’an berikut:

     Diizinkan berperang bagi mereka yang telah diperangi, karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa haq hanya karena mereka berkata: “Tuhan kami Allah” (QS. 22: 39-40).

      Berdasarkan ayat ini sebagian kelompok radikal mendefinisikan Indonesia layaknya dalam suasana diserang karena pemerintahan atau tatanan politik yang ada dianggap menghalangi penerapan hukum Islam secara total. Penentangan pemerintahan Indonesia terhadap pendirian negara Islam, apalagi dengan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, dianggap identik dengan situasi ketika seorang Muslim diusir dari rumahnya sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas. Dalam kondisi demikian maka perlawanan bersenjata diizinkan.

Penelitian ini menunjukkan ‘narasi perlawanan’ di atas sama sekali tidak beresonansi di kalangan masyarakat. Namun patut dicatat meski Indonesia tidak dianggap dalam kondisi perang, sebagian besar responden menunjukkan ‘mentalitas kewaspadaan’ (siege mentality) berupa imajinasi tentang kondisi umat Islam yang terancam oleh berbagai bentuk kekuatan yang secara normatif bisa dirujuk dalam teks keagamaan. Hal ini termasuk Kristen, Yahudi atau Zionisme, dan Barat atau Amerika yang diidentifikasi sebagai kekuatan kafir.

Manifestasi ancaman kekuatan anti-Islam paling nyata yang dilihat oleh sebagian responden adalah Kristenisasi, aliran sesat, dan liberalisme atau secara simbolik dirujuk dengan istilah JIL. Narasi keterancaman demikian bisa dilihat dari paragraf yang ditulis oleh peneliti kami di Kalimantan Barat berikut:

(Ahmadiyah, Kristenisasi, Yahudi dan Amerika) merupakan narasi yang saling berkaitan satu sama lain, dianggap skenario musuh (Yahudi dan Amerika) yang bersifat global untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim, baik dari dalam kaum Muslim sendiri maupun dari luar. Ahmadiyah sengaja dibentuk oleh Barat (Inggris) dan diselundupkan ke dalam komunitas Muslim untuk melemahkan dari dalam; Kristenisasi sengaja digencarkan sebagai senjata ampuh dari luar untuk mengurangi jumlah umat Islam; sedangkan Yahudi dan Amerika membidik kaum Muslim dalam skala yang lebih luas dan canggih, yaitu melalui persenjataan, menginvasi negeri-negeri Muslim, menguasai perekonomiannya, serta mendikte budaya masyarakatnya. Alhasil kaum Muslim seakan tak berkutik dan terkepung dari seluruh penjuru mata angin.

Menurut sebagian informan Indonesia menjadi sasaran serangan kekuatan anti-Islam karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar dan karena itu rongrongan terhadap kemapanan Islam di Indonesia dianggap sebagai tindakan strategis untuk merongrong Islam secara global. Hal ini tercermin dari pandangan Ketua MUI Kalbar berikut:

Indonesia secara khusus sebagai negeri [berpenduduk] Muslim mayoritas diharapkan berkembang ke seluruh dunia. Karena yang mayoritas ini akan ‘nampak’ dan ‘nongol’ sendiri bagi musuh-musuhnya, maka tentu saja akan diganggu: “Wah, ini Indonesia kalau tidak dihancurkan, bahaya, kan begitu mereka [musuh Islam] bilang.” Maka bagaimana caranya, kaum Muslim dihantam. Dengan beragam pola, dengan hasil teknologi, internet, facebook, terus diberondong dengan segala hal bangsa kita. Pokoknya mereka tidak akan rela hingga kaum Muslim menjadi Yahudi dan Nashara.

        Di sebagian provinsi imajinasi ancaman berkelindan dengan kontestasi identitas kultural dan kedaerahan. Di Jakarta sebagian tokoh kultural mengidentikkan identitas Betawi dengan Islam dan karena itu melihat persebaran kelompok yang dituduh sesat, Kristenisasi dan faham Islam liberal tidak hanya sebagai ancaman terhadap Islam tetapi juga rongrongan terhadap kultur Betawi. Hal ini sebagiannya menjelaskan penerimaan masyarakat Betawi yang cukup terbuka terhadap organisasi Islam militan seperti Front Pembela Islam (FPI) atau organisasi kedaerahan militan seperti Forum Betawi Rembuk (FBR).

Di Bali, situasi pasca tragedi bom Bali menciptakan tekanan-tekanan terhadap komunitas Muslim yang kerap diidentifikasi sebagai pendatang. Munculnya sejumlah pesantren beraliran Salafi-Wahabi yang membentuk komunitas eksklusif turut memperkuat ketegangan komunal. Situasi ini diperparah oleh narasi yang dibangun oleh sebagian kalangan Muslim yang mengidentifikasi Bali sebagai ‘surga maksiat,’ dan karena itu perlu “diIslamkan.” Dalam situasi seperti ini imajinasi kewaspadaan di Bali bertautan dengan kontestasi ekonomi dan politik antara apa yang dipersepsi sebagai warga asli dan pendatang. Di provinsi lain seperti Lampung, menguatnya identitas etnik kedaerahan berimbas pada ketegangan sosial yang seringkali berujung pada kekerasan massa. Keadaan ini juga ikut menyumbang terhadap menguatnya potensi radikalisme di tengah masyarakat. Dalam konteks yang spesifik ini pengaruh radikalisme dan ektremisme memang perlu diletakkan dalam kerangka etno-sentrisme dan dinamika politik lokal.

Kombinasi antara narasi yang bersifat relijius dan politis juga ditemukan cukup kuat di Aceh. Meski mendapatkan status daerah istimewa yang memungkinkan penerapan syariah dalam lingkup yang luas, sebagian masyarakat Aceh mempunyai keyakinan bahwa pemerintah pusat turut menjadi bagian dari kekuatan besar yang berusaha menghalangi penerapan syariah di Aceh. Hal ini terwujud dalam bentuk izin yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada LSM asing untuk beroperasi di Aceh dengan membawa misi keagamaan. Identitas syariah yang kuat di Aceh berkonfrontasi dengan imajinasi ancaman yang saling bertaut antara Barat, aliran sesat, Kristenisasi dan hegemoni Jawa. Tautan antara imajinasi ancaman dengan pemerintah pusat dilihat pada pembiaran oleh pemeirntah pusat terhadap dinamika di Aceh yang bertentangan dengan syariah Islam, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) NAD berikut:

        Pemerintah pusat tidak ada upaya apa-apa. Polisi sebagai pihak keamanan saja melaksanakan tugas. Yang menghalangi Islam di sini pihak asing ya. Gak bisa dikatakan pemerintah pusat, seperti tidak peduli saja gitu. Membiarkan saja.

        Yang menarik imajinasi ancaman kini mulai meluas tidak hanya diarahkan kepada entitas-entitas lama seperti Barat, Yahudi dan JIL, tetapi juga menyasar kelompok internal Islam yang berkarakter eksklusif seperti Wahabi. Kecenderungan modal dakwah yang dianggap terlalu agresif dengan menyerang keyakinan, praktek dan tokoh kelompok Muslim yang sudah mapan di daerah tertentu mulai membuat risau sebagian kalangan. Di sejumlah tempat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi suasana keterancaman ini sudah menimbulkan ketegangan, tindakan pengusiran dan bahkan kekerasan fisik antara kelompok Islam yang sudah mapan dengan kelompok-kelompok Salafi-Wahabi yang keberadaanya relatif baru di wilayah-wilayah tersebut.9 Beberapa responden yang diwawancarai dalam penelitian ini bahkan mengkaitkan agresifitas penyebaran faham Salafi-Wahabi dengan konspirasi Barat untuk melemahkan Islam di Indonesia.

Mentalitas keterancaman tentunya tidak bisa semerta-merta dikaitkan dengan narasi ekstrimisme, terutama apabila memperhatikan rendahnya tingkat pengaruh narasi ekstrimisme sebagaimana dijelaskan di atas. Meski demikian, mentalitas semacam ini bisa berpengaruh terhadap pola relasi sosial yang terbatas. Secara normatif masyarakat pada umumnya meyakini Islam tidak menghalangi umat Islam untuk bergaul dengan non-Muslim. Narasi tentang kodrat permusuhan Yahudi dan Nasrani terhadap Islam yang merujuk pada ayat al-Qur’an tentang sikap permusuhan tiada akhir umat Yahudi dan Nashrani (QS. 2: 120) memang masih kuat di sebagian besar masyarakat, tetapi ayat ini tidak selalu dipahami secara esensialistis; sikap kewaspadaan terhadap ancaman Yahudi Nasrani lebih merujuk pada situasi empiris yang dipersepsi sebagai agresi terhadap Islam. Hal ini agak berbeda dengan sikap kewaspadaan terhadap konspirasi Kristen dan Barat yang diletakkan di atas persepsi bahwa keduanya terlibat dalam upaya melemahkan umat Islam, bahkan termasuk dengan mendukung persebaran aliran sesat. Faktanya, di Sumatera Utara, narasi kebencian terhadap Ahmadiyah dan Syiah selalu muncul dalam kaitan dengan narasi keterancaman dari Yahudi, Nasrani dan Barat.

Yang patut dicatat, narasi keterancaman biasanya lebih banyak didasarkan pada kecurigaan atau rumor daripada fakta, meski pada tingkat tertentu ada realitas empiris yang bisa digunakan atau dimanipulasi untuk mendukung narasi ini. Di Yogyakarta misalnya, salah satu cerita yang sering disampaikan oleh tokoh radikal untuk membangun narasi keterancaman adalah klaim tentang Kristenisasi yang masif di beberapa wilayah seperti Gunungkidul. Tidak jarang narator radikal bahkan menyebut angka jumlah umat Islam yang pindah ke agama Kristen. Tentu saja ada sebagian pemeluk Islam yang pindah agama di Gunungkidul, tetapi klaim tentang perpindahan agama secara masif bertentangan dengan data demografi yang menunjukkan jumlah umat Islam yang relatif stabil di Gunungkidul.10 Narasi keterancaman ini berkelindan dengan sikap toleransi “bersyarat” atau lazy tolerance yang banyak dijumpai di Yogyakarta karena pandangan dan penerimaan terhadap kelompok liyan (others) masih menjadikan aqidah sebagai pemarka identitas (identity markers).

        Tingkat pengaruh narasi keterancaman ini memang beragam di sejumlah tempat, tergantung konteks yang melatarinya. Perbedaan situasi di Yogyakarta dan Kendari bisa menjadi ilustrasi. Masyarakat di ibukota Sulawesi Tenggara ini merasa terancam dengan gerakan Kristenisasi yang dianggap masif di seluruh provinsi dan hal ini rupanya tidak bisa dipisahkan dari kesenjangan ekonomi yang masih menganga. “Di mana-mana isu kristenisasi muncul. Boleh dikatakan ini gerakan di bawah tanah,” kata Marwan, Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Tenggara. Memang kata informan lainnya, Basuki Rahmat, “di mana ada daerah miskin dan di situ terdapat gereja, isu kristenisasi ikut hadir. Orang-orang Islam yang miskin ilmu dan miskin harta dijadikan sasaran untuk menarik mereka pindah agama,”. Ikhlas Kodar menambahkan, “Di bagian perbatasan Buton dan Muna yang sangat miskin, di situ masuk Kristenisasi. Mereka memberikan bantuan, lalu ada yang tergadaikan akidahnya”.

        Yang patut diwaspadai dari narasi keterancaman ini adalah upaya menarik kekhawatiran yang bersifat empiris dengan imajinasi yang bersifal totalistik berupa pertempuran tiada akhir antara Islam dan kafir atau cosmic war, meminjam istilah ilmuan politik Mark Jurgensmeyer.11 Dari sini, ditarik oposisi biner Islam versus demokrasi, dan syariah Islam versus undang-undang sekuler, misalnya, sebagaimana yang berkembang di dalam narasi radikalisme yang ditemukan di Sumatera Utara. Pola pikir yang menekankan pertentangan antara Islam dan dan realitas ancaman yang diidentifikasi sebagai bagian dari konspirasi besar anti-Islam tidak hanya mendorong polarisasi keagamaan yang mengancam kohesi sosial, tetapi juga bisa membuka medan sosial yang kondusif bagi transmisi narasi ekstrimisme.

LOGIKA KEKERASAN DAN ANTI-KEKERASAN

      Imajinasi keterancaman sebagaimana dijelaskan di atas berkontribusi penting terhadap tingginya tingkat pemakluman (legitimasi) terhadap aksi-aksi kekerasan jalanan (vigilante) atau persekusi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam Islam. Hal ini berbanding terbalik dengan tingkat resonansi yang sangat rendah terhadap narasi ekstrimisme. Meski nampak ada konsensus tentang status final tatanan politik yang ada, tetapi sebagian besar responden yang diwawancarai dalam penelitian ini bersikap mendukung aksi kekerasan meski belum tentu mereka bersedia untuk secara langsung terlibat dalam kekerasan.

      Kekerasan sebenarnya secara prinsip ditolak, banyak yang bersikap kritis terhadap aksi kekerasan terhadap entitas-entitas tertentu seperti aliran sesat, tempat maksiat, dan gereja yang dianggap liar. Namun sebagian besar responden mentolerir aksi kekerasan oleh massa. Yang menarik pemakluman terhadap aksi kekerasan ini tidak hanya datang dari segmen-segmen masyarakat yang berhaluan Islamis dan relijius, tetapi juga kelompok Islam moderat seperti Ansor dan organisasi kepemudaan non-relijius seperti KNPI. Sebagian responden dari kalangan yang menjadi bagian dari negara seperti MUI dan tokoh partai poliitk juga ironisnya turut memaklumi aksi kekerasan, meski tetap menekankan pentingnya memperhatikan prosedur sah yang diperkenankan dalam kerangka konstitusi yang ada.

Di aras spektrum yang berbeda, tentu terdapat banyak pandangan yang lebih bernuansa terkait aksi kekerasan. Misalnya, kalangan tokoh kultural di Jakarta nampak lebih bisa memaklumi kekerasan terhadap aliran sesat daripada kekerasan terhadap gereja karena Kristenisasi dianggap tidak lebih berbahaya daripada aliran sesat yang diyakini jelas-jelas bertujuan untuk merongrong Islam. Aksi kekerasan tidak selalu didukung; tidak sedikit responden yang bersikap resisten terhadap aksi kekerasan. Mereka menilai umat Islam mempunyai kewajiban untuk menghargai otoritas negara dalam penegakan hukum, mengedepankan cara dakwah dengan bijaksana (hikmah) dan persuasi (mauidah al- hasanah). Prinsip nahi munkar yang seringkali digunakan oleh kelompok radikal untuk menjadi dasar aksi kekerasan dibantah dengan menawarkan penafsiran yang lebih moderat terhadap doktrin dalam sebuah hadis nabi yang menempatkan dakwah dengan tangan sebagai level tertinggi dalam Islam. Tuntutan berdakwah dengan tangan mestinya dipahami sebagai merujuk kepada otoritas negara, bukan kekuatan fisik oleh siapapun, termasuk masyarakat.

Selain nalar teologis di atas, salah satu faktor yang mendorong sikap anti-kekerasan adalah pemahaman tentang kondisi multikultural Indonesia, terutama mempertimbangakn potensi ancaman yang bisa menyasar Muslim di wilayah mayoritas non-Muslim. Di Bali potensi ancaman keamanan yang bisa menyasar komunitas Muslim sebagai warga minoritas membuat narasi yang mentolerir kekerasan beresonansi sangat rendah. Nalar ini nampak dalam beberapa kutipan dari tokoh agama di Bali berikut:

Memang diakui bahwa umat Islam memiliki kewajiban untuk melakukan dakwah. Tetapi cara berdakwah umat Islam harus mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat. Jadi di sana tidak ada pemaksaan apalagi kekerasan. Umat Islam harus berpegang pada hadis Nabi : al muslimuna man salima al-naas min yadihi wa lisanihi (dikatakan sebagai orang Islam, jika ia bisa menjamin keselamatan orang lain dari tindakan dan perkataannya).

      Harap dicatat, orang Islam di Bali menjadi buruan orang Bali karena prilaku kerasnya. Kalau saya menemukan orang Islam yang berlaku keras di Bali, saya bisa merobek-robek mulut mereka dengan tangan kosong. Mereka bisa berprilaku keras di luar Bali, tetapi tidak di Bali… !

      Mereka yang menentang aksi kekerasan bukan berarti tidak menerima narasi keterancaman terkait bahaya persebaran aliran sesat. Meski mendukung tindakan untuk memberantas kelompok-kelompok yang dituduh sesat, seorang aktifis gerakan mahasiswa di Palu meyakini cara lain selain kekerasan perlu ditempuh untuk memberantas ancaman seperti aliran sesat:

Bagi saya, ketegasan terhadap aliran-aliran sesat dan juga penutupan tempat-tempat maksiat sangatlah diperlukan, akan tetapi tidak dengan menggunakan cara-cara kekerasan karena cara seperti itu hanya akan merugikan citra Islam itu sendiri. Saya yakin, setiap permasalahan bisa diselesaikan asal kita tegas dan tidak gampang menggunakan cara-cara kekerasan.

Yang menarik di Jawa Timur pandangan lebih damai seperti ini ditemukan cukup banyak di kalangan anak muda seperti Rohis dan LDK. Hal ini menarik kalau dibandingkan dengan penemuan penelitian ini di Jakarta yang menunjukkan idealisme lebih tinggi terhadap penegakan negara Islam dibandingkan dengan tokoh-tokoh tua yang cenderung lebih realistis. Tentu tidak sedikit tokoh muda lain dari kalangan LDK dan Rohis yang toleran terhadap aksi kekerasan. Yang cukup memprihatinkan sikap toleran terhadap aksi kekerasan ini ditemukan cukup banyak di kalangan lebih tua dan moderat seperti tokoh kultural, pemimpin NU dan Muhammadiyah.

Dengan demikian, secara normatif masyarakat pada umumnya menentang kekerasan. Hampir semua responden menekankan pada pentingnya berdakwah dengan cara damai dan menganggap kekerasan bukan pilihan terbaik. Kekerasan dianggap sebagai pilihan terakhir. Ada dua nalar atau logika yang diterima oleh sebagian responden dalam mentolerir kekerasan.

Yang pertama adalah persepsi tentang pembiaran oleh negara. Ketika negara dianggap membiarkan atau tidak berbuat cukup untuk menggunakan otoritasnya dalam memberantas ancaman terhadap agama seperti aliran sesat, kemungkaran dan pembangunan gereja liar maka kekerasan menjadi bisa dipahami. Logika seperti inilah yang sering ditonjolkan oleh tokoh-tokoh FPI dalam melegitimasi aksi kekerasan mereka. FPI seringkali mengklaim bahwa dalam setiap aksi sweeping yang mereka lakukan selalu didahului dengan pemberitahuan atau tuntutan kepada otoritas pemerintahan seperti kepala daerah dan polisi, tetapi setelah proses itu dilalui juga tidak ada penindakan maka aksi sweeping dilakukan. Narasi ini nampaknya diterima secara positif oleh sebagian responden. Persis narasi inilah yang disampaikan oleh seorang aktifis remaja masjid di Bandung:

      Bukan hanya soal FPI sweeping, banyak kasus hukum terpaksa harus deselesaikan oleh masyarakat tanpa melibatkan aparat karena kelalaian aparat itu sendiri. Maka, peristiwa-peristiwa itu harus dilihat dari konteksnya. Sebab kalau polisinya tegas, tampaknya tidak akan muncul begitu. Kalau ketika polisi tidak tegas, penegak hukum tidak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam itu, apalagi mengganggu kepentingan umat Islam, kelihatannya FPI ini sudah on the track, Dan dia sudah mengingatkan penguasa. Kecuali memang polisinya bisa menunjukkan bahwa mereka itu serius, maka pelaku sweeping bisa ditegur kenapa masih melakukan hal itu, sesuatu yang tidak semestinya dilakukan oleh ormas. Jadi hal ini balik lagi kepada persoalan penegakan hukum yang tidak tuntas oleh aparat.

Hal senada disampaikan oleh seorang aktifis LDK Unversitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunungjati Bandung sebagaimana dilaporkan oleh peneliti kami di Bandung di bawah ini:

Aktivis LDM UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Yusuf Bahtiar, berpandangan bahwa sweeping pada dasarnya tidak bisa diterima, tetapi bukan berarti secara keseluruhannya. Dia berargumen, orang yang melakukan sweeping terhadap aliran-aliran itu sudah menjelaskan pula bahwa mereka sudah mengadakan perdamaian, namun ternyata tetap terjadi. Karena tidak ada lagi cara lain yang bisa mereka lakukan, dan karena kelompok yang disweeping melanggar perjanjian, maka wajar jika orang Islam melakukan sweeping itu.

Nalar yang sama dijumpai di kalangan masyarakat Riau, yang menganggap kekerasan adalah sah terutama ketika pemerintah dianggap lalai dan abai dalam memberantas kemaksiatan dan tidak mampu mengambil langkah-langkah konkrit dalam mengatasi berbagai penyimpangan agama. Namun persetujuan terhadap kekerasan semacam ini kerap terlihat ambigu dan mendapatkan reservasi ketika, misalnya, mereka menyampaikan ketidaksetujuan terhadap kekerasan yang justru berlebihan dan cenderung anarkis. Mereka menyetujui kekerasan dilakukan secara sangat terbatas, artinya tidak berlanjut pada anarkisme dan perusakan fasilitas umum dan negara.

Nalar kedua yang tidak jarang muncul dalam membela aksi kekerasan adalah pandangan bahwa dalam beragama diperlukan satu kelompok yang bersikap tegas atau keras dalam melawan kemungkaran. Di satu sisi Islam memang berdakwah secara lemah lembut atau damai, tetapi ada persepsi bahwa sikap keras atau tegas sesekali diperlukan sebagai semacam shock therapy agar umat Islam tidak diremehkan. Identifikasi radikalisme dengan sifat ‘tegas’ tentu menempatkan radikalisme sebagai tindakan positif, membela agama yang perlu didukung. Seorang politisi partai nasionalis di Surabaya melihat aksi sweeping yang dilakukan sebagian ormas Islam sebagai bentuk kontrol sosial terhadap peran pemerintah; hal ini diperlukan untuk memperkuat tekanan pelaksanaan kewajiban memberantas kemungkaran. Yang menarik pandangan seperti ini tidak jarang muncul dari sebagian kalangan tokoh agama yang dikenal moderat.

       Yang patut menjadi catatan, ada satu nalar kekerasan yang sering disampaikan oleh tokoh FPI tetapi tidak beresonansi di kalangan masyarakat, yakni logika mayoritas- minoritas. Pemahaman bahwa umat Islam mempunyai hak lebih besar secara politik di Indonesia dan karenanya kekerasan bisa dipahami dalam frame ini tidak mengemuka dalam penelitian ini. Pemahaman tentang kondisi multikultural Indonesia cukup dominan sehingga narasi yang mendorong polarisasasi atau mempertentangkan hak-hak sosial politik berdasarkan identitas keagamaan tidak beresonansi di masyarakat.

    Namun demikian tingginya tingkat penerimaan narasi yang mentolerir aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas patut menjadi perhatian. Sejumlah laporan tentang mobilisasi terorisme di Indonesia memberikan banyak indikasi keterkaitan secara tidak langsung antara gerakan intoleran dengan mobilisasi sel teroris. Laporan International Crisis Group (ICG) dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya di Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa aksi-aksi solidaritas untuk memberantas entitas-entitas yang dianggap mengancam Islam seperti aliran sesat, Kristenisasi, dan penyebaran maksiat, seringkali menjadi ruang interaksi antara mereka yang berada dalam lingkaran ekstrim (teroris) dengan mereka yang masih berada pada ranah militan atau intoleran. Interaksi ini memungkinkan relasi dan transmisi ideologi ekstrim ke individu yang masih berada pada tahap militan.12 Oleh karena itu, meski toleransi terhadap aksi kekerasan tidak pararel dengan rendahnya penerimaan terhadap narasi ekstrimisme dan terorisme. Hal ini juga tidak bisa menjadi dasar kesimpulan bahwa kekerasan minimal adalah penangkal terhadap kekerasan dalam skala lebih tinggi seperti terorisme. Sebaliknya toleransi terhadap kekerasan dalam skala kecil patut dilihat sebagai kondisi yang bisa mendukung bagi penyebaran narasi ekstrimisme.

KONTRA-TERORISME DAN AMBIGUITAS MASYARAKAT

        Penemuan penelitian ini tentang tingkat penerimaan masyarakat terhadap narasi yang melegitimasi terorisme tidaklah mengagetkan. Sebagaimana lazim di mana-mana, kecuali di negara-negara yang sedang dilanda perang seperti Afghanistan, penelitian ini menunjukkan resistensi yang cukup tinggi terhadap terorisme. Penelitian ini sama sekali tidak mendapati responden yang secara terbuka mendukung aksi terorisme. Sikap demikian tidak hanya umum di kalangan tokoh moderat, tetapi para Islamis dan responden yang mentolerir aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas. Sebagian masyarakat nampaknya bisa menarik batas yang tegas antara militansi dengan ekstrimisme atau terorisme. Tentu ini tidak menutup kemungkinan terjadinya peningkatan posisi seseorang dari militansi atau radikalisme ke tingkat yang lebih tinggi berupa ekstrimisme atau terorisme.

        Banyak penelitian menunjukkan bahwa ideologi tidak selalu menjadi dasar terjeratnya seseorang dalam lingkaran terorisme. Ideologi atau pemahaman yang bersifat kognitif, termasuk pemahaman tentang keabsahan terorisme, biasanya terbangun melalui proses lebih lama yang diawali interaksi secara sosial dan personal secara berulang atau terus menerus. Simpati, kedekatan personal, nilai solidaritas dan ketergantungan seringkali berperan penting dalam menarik seseorang ke dalam lingkaran terorisme yang lebih terbatas dan tertutup. Perubahan pemahaman (congnitive dissonance) biasanya diawali oleh keprihatinan bersama yang terbangun dari persepsi tentang ketidakadilan yang menimpa umat Islam yang dilakukan secara sistematis oleh kekuatan luar. Sebagaimana ditunjukkan dalam pembahasan tentang imajinasi kewaspadaan, narasi tentang konspirasi anti-Islam demikian beresonansi cukup tinggi di kalangan masyarakat.

Patut diperhatikan, meskipun penelitian ini tidak mendapati adanya resonansi narasi terorisme, bukan berarti terorisme sama sekali tidak berkembang di masyarakat. Hal ini karena jaringan teroris biasanya bergerak di bawah tanah sehingga sangat kecil segmen ini bisa terjangkau oleh penelitian ini. Kalaupun ada responden di luar lingkup jaringan teroris yang mendukung ideologi teror, sangat kecil kemungkinannya ia akan secara terbuka menyampaikan keyakinan kepada peneliti yang dianggap pihak luar. Sikap paling dekat dengan narasi terorisme yang didapati dalam penelitian ini adalah ambiguitas di kalangan sebagian masyarakat. Sikap ambigu ini ditunjukkan oleh penentangan secara prinsip terhadap aksi terorisme, tetapi pada waktu bersamaan bersikap simpati terhadap pelaku terorisme.

Paling tidak ada tiga nalar yang mengemuka dalam penentangan masyarakat terhadap terorisme. Yang pertama adalah keyakinan bahwa terorisme adalah akibat dari pemahaman yang salah atau dangkal terhadap ajaran Islam, khususnya doktrin jihad. Kedangkalan pemahaman keagamaan kelompok teroris oleh sebagian reponden dikaitkan dengan salah tafsir mereka terhadap doktrin jihad. Sebagian responden bahkan menyatakan bahwa terorisme adalah ajaran sesat yang harus diberantas. Banyak responden yang meyakini para pelaku terorisme merupakan orang-orang yang baru mengenal Islam. Laporan peneliti kami di Jawa Timur merangkum beberapa nalar penentangan terhadap terorisme sebagai berikut:

Para pelaku terror adalah orang-orang yang terjebak pada pemahaman agama (tafsir) yang tidak tepat. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk membunuh. Jihad dalam bentuk perang harus ada perintah dari penguasa (ulil amri). Banyak ayat al-Qur’an yang melarang berbuat kerusakan seperti la tufsidu fi’l-ardh (janganlah membuat kerusakan di bumi), dan wa la tufsidu fiha.

        Fakta ini menunjukkan bahwa pemahaman alternatif terhadap makna jihad yang lebih toleran atau damai tidak begitu relevan dalam menangkal transmisi ideologi terorisme. Masyarakat pada umumnya sudah memiliki daya tolak terhadap penafsiran ekstrim atas doktrin jihad. Kalaupun ada upaya untuk melawan penafsiran terhadap doktrin jihad untuk melegitimasi aksi terorisme, kecil kemungkinan ini akan berpengaruh terhadap mereka yang sudah memiliki keyakinan yang mapan tentang jihad. Tersebarnya otoritas keagamaan di dalam Islam membuat daya pengaruh kelompok tertentu terhadap kelompok lain kecil. Setiap kelompok, termasuk para teroris, memiliki sumber otoritas atau fatwa yang mereka yakini; sehingga pemahaman alternatif yang berbeda akan dikontraskan dengan pemahaman pemahaman yang mereka dapat dari otoritas keagamaan yang mereka ikuti.

Sebagian responden memahami para pelaku terorisme sebagai orang-orang yang kehilangan akal dan putus asa akibat kemiskinan. Meski patut diapresiasi, pemahaman demikian tidak sepenuhnya akurat. Persepsi tentang kedangkalan agama mungkin lebih tepat diarahkan kepada para eksekutor gerakan teroris yang pada umumnya adalah anak- anak muda yang belum lama belajar agama. Patut dicatat para tokoh teroris pada umumnya memiliki mempunyai pengalaman pendidikan agama yang cukup lama, meski itu pembelajarannya terbatas pada sumber pengetahuan yang mendukung faham keagamaan yang ekstrim atau intoleran. Demikian juga persepsi tentang kemiskinan sebagai sumber terorisme. Tentu ada sebagian dari pelaku teror yang berasal dari keluarga miskin, tetapi sejumlah telaah penelitian menunjukkan banyak anggota jaringan teroris berasal dari keluarga yang kaya dan mapan. Jaringan terorisme juga pada umumnya menerapkan gaya hidup sederhana; karena itu kecil kemungkinan kemiskinan menjadi motif seseorang masuk dalam jaringan teroris.

Nalar kontra-terorisme kedua yang banyak mengemuka adalah pemahaman bahwa Indonesia bukanlah negara yang sedang dalam suasana perang. Kata perang di sini lebih banyak dipahami dalam makna perang bersenjata secara fisik. Karena itu sebagian responden yang menentang terorisme berdasarkan nalar ini menyarankan para pelaku teror untuk memilih wilayah perang seperti Palestina sebagai medan perjuangan. Indonesia secara umum dianggap sebagai negara yang aman sehingga tidak dibenarkan melakukan aksi teror di wilayah ini. Kalaupun ada yang memahami adanya serangan kekuatan anti-Islam terhadap Muslim di Indonesia itupun patut dilihat dalam wujud serangan pemikiran atau kebudayaan. Bagi kebanyakan responden, perang pemikiran sepatutnya dilawan dengan pemikiran, tidak dengan serangan fisik bersenjata yang hanya menimbulkan korban tidak berdosa.

Yang menarik, narasi yang berkaitan dengan kultur lokal juga muncul dalam penentangan terhadap terorisme. Di Sumatera Selatan misalnya, seorang responden dari tokoh agama membandingkan situasi Indonesia pada masa kini dengan masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, pemimpin kesultanan Pelembang, Sultan Mahmud Badaruddin, adalah pemimpin perjuangan bersenjata melawan Belanda dengan semangat jihad dan mati syahid. Tetapi menurutnya situasi saat ini tidak bisa disamakan dengan situasi penjajahan Belanda. Terorisme dikontraskan dengan karakter masyarakat Palembang yang terbuka dan menghargai perbedaan. Karena itu tokoh ini dengan bangga bercerita tantang keberadaan komunitas dari beragam suku selain Melayu, seperti India dan Cina, yang diterima dengan terbuka oleh para tokoh kerajaan karena mereka datang dengan baik-baik melalui perdagangan, bukan penjajahan. Ia bercerita:

Ketika terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan pihak Belanda dulu, dikumandangkan saat itu istilah Syahid. Saat itu memang benar dan bisa ditunjang oleh berbagai argumen yang kuat. Orang lain (penjajah) datang ke wilayah kita dan ingin menguasai daerah ini, maka adalah kewajiban masyarakat untuk membela diri dan mempertahankan daerahnya. Karenanya berjuang saat itu bisa dikatakan sebagai syahid. Namun apabila mereka datang secara baik- baik, melakukan usaha perdagangan, dan sebagainya, silahkan saja. Banyak contoh yang terlihat, seperti kedatangan pedagang China, India, Arab, dan sebagainya. Semua bisa diterima dan aman-aman saja. Warga Palembang sangat bisa menerima perbedaan ini.

Narasi yang mengunakan nilai kebijaksanaan lokal (local wisdom) untuk melawan narasi terorisme seperti ini patut dikembangkan karena bisa beresonansi di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih memegang kultur kedaerahan secara kuat.

Yang ketiga penentangan terhadap terorisme didasarkan pada nalar rasional yang melihat terorisme sebagai tindakan yang kontraproduktif terhadap citra Islam. Aksi terorisme dipandang hanya akan memperkuat citra tentang Islam sebagai agama yang penuh kekerasan dan kekejaman. Dampak lebih nyata dari nalar ini terutama dirasakan oleh masyarakat Muslim yang tinggal di wilayah non-Muslim seperti Bali. Aksi terorisme hanya akan memperkuat narasi permusuhan terhadap umat Islam dan karena itu komunitas Muslim yang hidup sebagai minoritas akan menerima konsekuensi dari suasana permusuhan yang ditebar oleh para teroris.

Meski sikap kontra- terorisme nampak sudah menjadi konsensus, sebagian dari mereka yang tidak setuju dengan terorisme mempunyai sikap yang ambigu. Di satu sisi mereka menentang aksi terorisme, tetapi di sisi lain mereka terkesan melegitimasi pelaku teror dengan nada simpatik atau cenderung memaklumi aksi teror. Ada dua nalar pemakluman yang mucul. Yang pertama adalah perspesi bahwa terorisme merupakan hasil konspirasi kekuatan anti-Islam untuk memecah belah umat Islam. Narasi ini sekilas nampak menekankan pada doktrin Islam yang tidak mengajarkan terorisme, tetapi di sisi lain bisa mendelegitimasi upaya menangkal terorisme. Pembelaan yang kaku terhadap nilai perdamaian dalam Islam disertai dengan pengingkaran terhadap aksi-aksi terorisme yang didasarkan pada pemahaman yang berbeda terhadap ajaran Islam. Logika yang berlaku dalam narasi ini adalah “karena Islam mengajarkan kedamaian, tidak mugkin umat Islam melakukan aksi teror; karena itu terorisme pasti berasal dari konspirasi kekuatan di luar Islam untuk merusak citra Islam.” Amrozi dan kawan-kawan yang ditangkap dan mengaku bertanggungjawab melakukan aksi teror dianggap hanya menjadi korban atau alat untuk menjalankan skenario teror yang bertujuan untuk merusak citra Islam. Hal ini nampak misalnya dari narasi yang disampaikan oleh seorang aktifis LDK di Jakarta berikut:

        Amrozi itu siapa. Tidak ada itu. Itu sengaja dibuat oleh Amerika, untuk supaya bisa mengontrol Indonesia. Indonesia ini adalah negara yang mudah diadu domba. “Ada pihak yang mendanai. Dan dana itu sangat besar. Harga bom itu mahal. Dan tidak mungkin tukang ojeg mampu mendanai bom. Ini dibiayai oleh Amerika. Ini adalah upaya Amerika untuk mengontrol Indonesia sebagaimana juga mereka lakukan kepada irak dan negara-negara lainnya”.

Percakapan antara peneliti kami di Jakarta dengan seorang siswa SMA di bawah ini menunjukkan sikap ambigu yang cenderung membela terorisme:

“(tentang para pelaku bom, seperti Amrozi, Nordin M Top. Apakah mendukung?)… mendukung. (alasannya apa?) … karena mereka itu Islam. (yang dibom kafir?) nggak juga, ada yang Islam. (lalu kenapa setuju?) … kurang tahu…. (yang ngebom itu ngakunya mati syahid. setuju?)… nggak, karena alasannya bukan untuk memperjuangkan Islam. (mereka kan mengatasnamakan Islam?)… mereka tidak berperang di jalan Allah. (jadi di di mana mereka?) ehhh.. (diam, red). (mereka hanya cari sensasi/perhatian?) ..ya.”

Nalar konspirasi terkait terorisme juga muncul dalam bentuk keraguan terhadap kemampuan pelaku terorisme seperti Amrozi dalam menciptakan bom berteknologi tinggi. Fakta bahwa keahlian membuat bom dimiliki oleh banyak tokoh radikal, termasuk panduan pembuatan bom yang kerap diunggah di internet, tidak melemahkan keyakinan sebagian kalangan bahwa sosok seperti Amrozi dan kawan-kawan tidak mungkin mampu membuat bom berteknologi tinggi seperti yang meledak di Bali. Karena itu mereka yakin bahwa pelaku terorisme sebenarnya adalah Barat. Sejalan dengan teori konspirasi ini, unit-unit kontra- terorisme yang ada di Indonesia seperti Densus 88 dilihat sebagai alat Barat. Persepsi bahwa Densus mempunyai dana berlimpah dan dilatih oleh ahli kontra-terorisme dari Barat dijadikan dasar untuk memperkuat teori konspirasi tentang terorisme.

Narasi demikian bisa menjadi dasar delegitimasi terhadap tindakan penanggulangan terorisme oleh negara sebagaimana disampaikan seorang tokoh Muhammadiyah Sulawesi Tenggara. Dia bertutur bertutur:

“Densus lahir dan dibiayai Amerika Serikat. Saya mendengar dalam Densus 88 ada agenda menciptakan terorisme. Jadi yang menciptakan itu adalah Densus 88 sendiri. Mereka memanfaatkan kaum muda. Di mana jiwa muda mudah terpancing emosinya.”

        Narasi lain yang bisa membangun simpati terhadap terorisme adalah perspektif yang melihat aksi terorisme sebagai wujud sikap ‘gregetan’ sebagian kalangan Muslim karena melihat ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Laporan peneliti kami di Ambon yang merekam narasi dari seorang dosen perguruan tinggi Islam di bawah ini memberi ilustrasi sikap kritis dan simpatik yang mentautkan aksi terorisme dengan perlawanan terhadap ketidakadilan.

        Seorang informan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri, Kota Ambon, bahkan menantang pewacanaan terorisme yang digalang negara, khususnya aparat kepolisian. Model perlakuan aparat terhadap teroris yang dipertontongkan secara terbuka melalui media elektronik, televisi, sungguh tidak manusiawi. Dia menegaskan bahwa kekerasan memang tidak bisa ditolerir, tetapi jika kita mengetahui beberapa alasan seseorang menjadi teroris, kita sebenarnya bisa memahami mereka. Banyak di antara mereka yang tertuduh dan belum terbukti sebagai teroris sudah diperlakukan layaknya lebih rendah dari binatang…“Negara kita tidak adil, dan hukum kita tebang pilih,” tegas informan tersebut. Ia bahkan mengaitkan situasi dirinya dengan apa yang diceritakannya. “Saya yang selama mengelola program studi selalu dipersulit dengan berbagai aturan aneh yang tidak mungkin dipenuhi. Pangkat saya yang sudah beberapa kali saya urus ke pusat terus terkatung-katung karena diarahkan kesana-kemari, dibebani dengan aturan ini dan itu, dan seterusnya.” “Saya,” dengan nada tegas, “bisa-bisa jadi teroris. Kalau ketemu dengan mereka yang bertanggung-jawab dengan urusan saya, ingin rasanya saya membunuhnya.”

        Peta narasi sebagaimana dijelaskan di atas memberi gambaran yang berbeda tentang potensi ancaman radikal-terorisme di Indonesia. Di satu sisi ada cukup banyak kabar gembira dalam bentuk rendahnya resonansi narasi ekstrim dan terorisme, tetapi di sisi lain kuatnya imajinasi kewaspadaan, toleransi kepada kekerasan terhadap kelompok minoritas dan sikap ambigu terhadap terorisme bisa menjadi lahan subur bagi keberlangsungan persebaran narasi radikal-terorisme.

POLA PENYEBARAN DAN PENERIMAAN

        Modus lama transmisi narasi radikal berupa forum-forum kajian atau pertemuan keagamaan yang berlangsung dalam proses yang singkat atau tidak berkelanjutan masih menjadi pola dominan. Pola ini terjadi misalnya melalui pengajian umum atau tabligh akbar yang menghadirkan pembicara dari kalangan tokoh radikal dan kegiatan pesantren kilat. Pola interaksi yang terbatas dengan jenis pengetahuan yang tidak utuh, teks keagamaan dan informasi yang diseleksi untuk menekankan narasi radikal mempunyai kekuatan mendorong keterkaitan individu untuk berkomitmen pada orientasi radikal. Media transmisi narasi yang bersifat singkat ini berperan menjadi pembuka pintu bagi ketertarikan untuk belajar lebih jauh baik langsung kepada tokoh radikal dan mengikuti kelompok kajian yang lebih terbatas seperti halaqah, maupun secara otodidak melalui internet, buku, majalah, belajar. Hal kedua ini membuka jalan bagi self-radicalization.

        Peran diklat keagamaan yang berlangsung singkat misalnya dialami oleh seorang responden kami di Samarinda yang kini menjadi ustaz di sekolah Hidayatullah. Ia mengaku mulai mempunyai minat untuk belajar agama sejak mengikuti pesantren kilat selama tiga hari waktu masih sekolah di tingkat SMP. Terpikat oleh informasi dan pengetahuan yang diterima selama pesantren kilat, ia kemudian bergabung dengan gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII). Dia kemudian mengikuti sejumlah training lanjutan di beberapa kota di luar Kalimantan yang kemudian mengantarkannya bergabung dengan Hidayatullah. Organisasi Hidyatullah yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah memang tidak bisa dilihat secara mutlak sebagai organisasi radikal. Namun publikasi utama organisasi ini, yakni Majalah Hidayatullah, adalah salah satu sumber narasi radikal utama di Indonesia.

Media transmisi narasi radikal yang juga tidak bisa dianggap remeh adalah tabligh akbar atau konferensi umat yang diselenggarakan oleh kelompok radikal. Beberapa kelompok radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia biasanya menyelenggarakan tabligh akbar yang terbuka untuk membuka kegiatan konferensi atau kongres yang bersifat lebih tertutup. Ceramah-ceramah yang provokatif dan penuh dengan narasi radikal mempunyai kekuatan untuk membuka semangat dan kongnisi (cognitive opening) yang bisa mendorong seseorang untuk mulai atau berkomitmen lebih jauh dalam gerakan radikal. Penelitian Quintan Wicktorowitz tentang proses radikalisasi di kalangan kelompok garis keras di Barat menunjukkan congnitive opening bisa menjadi wadah penyaluran individu yang resah dengan situasi ketidakadilan karena dorongan dari luar (exogenous condition). Interaksi dengan tokoh garis keras, meskipun terjadi dalam waktu yang singkat, bisa memberi penjelasan terhadap kegelisahan atau kemarahan terhadap situasi ketidakadilan yang dihadapi. Proses cognitive opening ini menjadi gerbang yang bisa membawa individu ke proses lebih lanjut hingga bergabung dengan kelompok radikal. Proses ini gambarkan oleh Wicktorowitz dalam skema di bawah.

Proses ini tercermin dari pengalaman seorang aktifis LDK di Universitas Mulawarman di Samarinda. Interaksi dia dengan kajian-kajian yang diselenggarakan LDK membuka jalan bagi dia untuk hadir ikut serta dalam kegiatan yang disebut Muktama Forum Umat Islam diselenggarakan oleh di Solo dengan menghadirkan Abu Bakar Ba’asyir sebagai penceramah. Aktifis LDK ini sekarang telah menjelma menjadi tokoh penting gerakan Islam di Kalimantan Timur yang secara terus terang mempromosikan idealisme pendirian negara Islam melalui konsep khilafah sebagaimana diperuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

      Yang menarik kegiatan pengajian terbuka yang menghadirkan pembicara radikal ini tidak jarang dilakukan di masjid-masjid yang notabene bukan masjid radikal. Di banyak tempat kami menemukan eskpresi kekhawatiran di sebagian tokoh agama moderat terhadap masuknya aktifis keagamaan dari luar yang berusaha mengisi kegiatan di masjid dengan mengundang pembicara dari kelompok mereka. Yang dimaksud aktifis keagamaan dari luar biasanya merujuk pada beberapa gerakan atau organisasi seperti Salafi, Jemaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Diagram Radikalisasi Wicktorowitz (2005)

     Penggunaan masjid moderat untuk kajian atau tabligh akbar yang menghadirkan tokoh radikal terkadang bahkan terjadi atas persetjuan takmir masjid. Wawacara peneliti kami dengan sejumlah pengurus takmir masjid di Jakarta menemukan adanya minat dari sebagian pengurus takmir untuk menghadirkan pembicara radikal yang terkenal atau kontroversial seperti Abu Jibril (Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia) untuk menarik daya tarik jamaah. Dalam bahasa responden, “sesekali diperlukan pembicara yang keras biar ramai.”

        Contoh lain transmisi model ini juga dialami oleh seorang dai terkemuka di Palembang. Ia mengaku mendapatkan banyak informasi yang mengemukakan tentang konspirasi untuk menghancurkan Islam, terutama melalui berbagai modus Kristenisasi, dari ceramah agama yang disampaikan oleh Irene Handono. Irene adalah seorang Muslimah yang dulunya beragama Kristen.15 Setelah masuk Islam ia dekat dengan sejumlah kelompok ekstrim seperti Hizbut Tahrir Indonesia yang memfasilitasi dia untuk memberi ceramah di berbagai kota di Indonesia unutk menunjukkan situasi ancaman terhadap umat Islam. Salah satu narasi dari Irene yang dipercaya oleh dai Palembang ini adalah klaim bahwa pada tahun 2012 umat Kristen sedunia telah mencanangkan program untuk mengkristenkan seluruh umat Islam di Indonesia. Salah satu strategi yang digunakan menurut narasi yang diterima dari Irene adalah para misionaris berusaha untuk memecah belah umat Islam dengan menanamkan sikap saling memusuhi diantara umat Islam. Salah satu isu yang digunakan untuk menanamkan sikap saling membenci sesama Muslim adalah isu terorisme. Dalam narasi ini, terorisme digambarkan sebagai alat kekuatan anti-Islam untuk memecah belah umat Islam.

     Pola penyebaran narasi radikal tidak selalu bersifat kognitif atau melalui pemikiran. Relasi interpersonal yang dibangun berdasarkan pertemanan dan solidaritas sosial patut diperhatikan. Hal ini terutama banyak terjadi dalam konteks masa-masa awal pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Masa orientasi sekolah atau proses registrasi mahasiswa baru di perguruan tinggi ada contoh ruang kritis yang seringkali dimanfaatkan oleh aktifis radikal untuk rekrutmen. Bantuan dalam bentuk membantu registrasi atau menamani siswa atau mahasiwa baru dalam proses adaptasi dengan situasi baru di kampus atau sekolah berfungsi menjadi alat untuk membangun relasi interpersonal dan ikatan solidaritas yang bisa membuka kesempatan bagi transmisi narasi radikal.

Namun responden bukan berarti bersikap pasif menjadi target penyebaran Islamisme. Ada proses agensi dan controlled elicitation (elisitasi terkontrol). Elisitasi artinya proses memilah secara induktif untuk mendapatkan yang benar. Dalam kasus ini elisitasi dilakukan secara terkontrol baik dari sisi pilihan-pilihan maupun alternatif yang harus dipilih dan pandangan akhir yang harus diterima. Karena itulah maka proses ini dinamakan elisitasi terkontrol. Istilah ini dapat dijelaskan sebagai proses pemilahan kebenaran dengan menghilangkan alternatif-alternatif pilihan. Proses ini diawali dengan keinginan untuk menciptakan kehidupan yang Islami. Sejumlah informan di Kalimantan Selatan, terutama dari kalangan muda, menuturkan perkenalan mereka pertama kali dengan narasi Islamisme berangkat dari pertanyaan sederhana dan umum dari senior, teman, atau guru yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam narasi tersebut: apakah mereka senang dengan cara hidup yang Islami? atau senangkah mereka jika Islam itu muncul dalam setiap aspek kehidupan kita? Pertanyaan seperti ini tentu saja hampir selalu mendapatkan jawaban positif. Jawaban positif terhadap pertanyaan sederhana ini menjadi pintu untuk masuk ke fase kedua; negasi terhadap kehidupan yang tidak Islami. Mereka mulai diajak untuk mengidentifikasi mana cara hidup yang tidak Islami dan dari mana sumbernya.

        Dalam kasus remaja Rohis, misalnya, seorang tidak jarang mulai menyesali dan meninggalkan gaya hidup ala anak gaul sebelumnya, nongkrong bareng cewek cowok setiap akhir pekan, merokok, dan begadang sampai larut malam. Pada fase ketiga, mulai tejadi proses eksklusi. Jika pada fase kedua yang diidentifikasi adalah perilakunya, maka pada fase ketiga yang diidentifikasi adalah pelakunya, pelaku kehidupan yang tidak Islami. Mereka mulai diyakinkan, bahwa untuk dapat melakukan negasi, mereka perlu dukungan lingkungan dan teman. Pada fase ini, mereka mulai membatasi pergaulan dengan orang lain, dan lebih intensif berkumpul dengan teman (baca: ikhwan dan akhwat) yang senarasi. Sebagian informan menuturkan bahwa orang-orang di luar kelompok mereka sering menyebut “anak ROHIS itu saleh-saleh dan mainnya di mesjid aja”. Tetapi bagi mereka ekspresi itu tidak bermakna negatif, justru semakin meyakinkan bahwa mereka sudah berada di alur yang benar. Fase keempat, masuk ke dalam substansi narasi di dalam kelompok eksklusif ini. Pada fase ini, mereka mendengar ceramah, biasanya dari senior, berdiskusi, dan mendapatkan bahan bacaan. Namun, substansi pembicaraannya selalu mencoba mengafirmasi proses pada fase terdahulu, sehingga yang terjadi adalah tawaran alternatif tunggal atas problem kehidupan yang tidak Islami. Alternatif-alternatif lain, dibicarakan sebagai ancaman terhadap kehidupan ideal yang mereka inginkan. Alternatif tunggal inilah yang membentuk narasi Islamisme dan politik identitas mereka. Dalam proses controlled elicitation ini, narasi Islamisme adalah ujung dari proses tersebut. Alternatif tunggal ini juga menjadi salah satu faktor utama penyebaran dan penerimaan narasi Islamisme.

       Media penyebaran yang perannya semakin penting adalah publikasi melalui media komunikasi, termasuk internet, majalah dan buku. Di antara website yang menyampaikan narasi radikal yang disebut banyak responden adalah Voice of Islam, Hidayatullah, Sabili, Ar Risalah, Suara Muhammadiyah, Era Muslim, Nahi Mungkir, Hizbut Tahrir, dan Muslim.or.id. Seseorang yang mengikuti website-website seperti ini besar kemungkinan akan mengakses link-link lain dalam jaringan website yang menyampaikan narasi serupa. Di era digital yang semakin berkembang, publikasi konvensional dalam bentuk buku juga tidak bisa dipandang remeh. Responden kami dari tokoh pemuda di Palembang, misalnya, menjadi sangat tergugah dengan membaca buku berjudul Bom Dahsyat Pelembang yang ditulis oleh Ahmad Humaidi. Buku ini membahas apa yang disebut sebagia konspirasi besar anti-Islam terkait penangkap teroris. Membaca buku seperti ini kami menangkap simpati yang besar responden kami terhadap mereka-meraka yang ditangkap atau dibuhuh atas kasus terorisme. Buku ini menceritkaan tentang penderitaan yang dalami oleh keluarga teroris sehingga menggugah simpati. Lebih jauh buku ini menggiring dukungan pembaca kepada organisais FAKTA di Palembang yang berujuan untuk melawan apa yang diidentifikasi sebagai ancaman terhadap umat Islam melalui program pemurtadan oleh para biara Kristen.

        Di luar pola-pola penyebaran baru yang menggunakan media komunikasi mutakhir, radikalisme dan terorisme juga masih menyebar melalui pola lama melalui rekrutmen berbasis sistem sel. Sekalipun sudah dilarang, NII misalnya tetap beroperasi di kampus- kampus di Jawa Tengah. Gerakan ini secara aktif melakukan persuasi kepada mahasiswa untuk menerima narasi radikal-terorisme mereka yang mendorong kekerasan. Ini dilakukan melalui pamphlet, poster, dan selebaran yang dipampang dan dibagikan kepada mahasiswa. Selain itu, gerakan tersebut aktif melakukan infiltrasi terhadap lembaga-lembaga kemahasiswaan. Di sebuah kampus yang tim peneliti datangi, infiltrasi tersebut tidak saja dilakukan terhadap lembaga kajian Islam saja, semisal LDK, tapi juga terhadap lembaga intra mahasiswa atau Unit Kegiatan Mahasiswa/UKM yang aktifitasnya tidak memiliki kaitan langsung dengan Islam. Misalnya, di sebuah kampus di Semarang, peneliti kami menemukan infiltrasi NII melalui Korps Sukarelawan/KSR, organisasi intra kampus yang peduli pada aktifitas humanitarian. Salah satu aktifis KSR di kampus ini berupaya melakukan kampanye dan mengajak koleganya di KSR untuk masuk NII. Meski upayanya berakhir dengan ‘pengusiran’ aktifis NII dari aktifitas KSR, upaya aktifis NII untuk menginfiltrasi organisasi KSR pernah terjadi. Hal ini, tentu saja, menuntut perhatian dari semua pemangku kepentingan.

RESISTENSI TERHADAP EKSTRIMISME DAN RADIKALISME

   Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya tokoh masyarakat dan pemuda pada umumnya menentang ekstrimisme dan terorisme. Sikap ini didasari oleh pandangan bahwa ekstrimisme dan terorisme bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak sesuai dengan konteks Indonesia. Namun apakah sikap demikian menimbulkan respons perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme di wilayah mereka? Laporan ini menunjukkan di sebagian wilayah seperti Aceh, banyak masyarakat yang tidak melihat terorisme sebagai ancaman. Meski secara prinsip mereka menentang terorisme, namun hal ini nampaknya tidak dilihat sebagai isu yang relevan di tengah kuatnya arus aspirasi penerapan syariah Islam dan perlawanan terhadap apa yang dipersepsi sebagai ancaman terhadap Islam yang berasal dari Kristen, aliran sesat, Barat dan hegemoni Jawa.

      Meski menjadi satu-satunya wilayah yang menerapkan syariah dalam cakupan yang lebih luas dari pada wilayah-wilayah di Indonesia pada umumnya, Aceh bukanlah wilayah yang sepenuhnya aman dari terorisme. Wilayah Aceh pernah dipilih oleh jaringan Jemaah Islamiyah untuk menjadi pusat pelatihan teroris di tingkat regional (qaidah aminah) yang digagalkan oleh aparat kepolisian pada tahun 2010. Tidak lama setelah itu pada pada tahun 2012, dua orang anggota jaringan teroris ditangkap di Aceh. Hingga saat ini aparat keamanan mengklaim masih ada sejumlah orang yang dianggap mempunyai keahlian merakit bom yang masih buron.

      Teror yang dilakukan diAceh dalam bentuk penembakan terhadap warga sipil, bisa jadi ditujukan untuk membangkitkan kembali perlawanan terhadap pemerintahan pusat dan dengan demikian diharapkan Aceh bisa menjadi wilayah yang aman bagi pembentukan pusat pelatihan teroris.16 Namun sejarah terorisme ini nampaknya belum dilihat sebagai ancaman serius di kalangan masyarakat. Lebih-lebih tidak sedikit tokoh masyarakat yang meyakini isu terorisme adalah bagian dari konspirasi Barat.

        Mereka yang tertangkap melakukan aksi teror dianggap telah dijebak oleh Barat untuk mengkaitkan Islam dengan kekerasan. Seorang Sosiolog dari Universitas Syah Kuala (Unsyiah) yang diwawancarai peneliti kami di Aceh meyakini bahwa “kekerasan dan terorisme sudah tidak ada lagi di Aceh. Setidaknya sudah tidak mengemuka. Dahulu ketika ada operasi militer dan masih dalam gerakan GAM, ada kekerasan dan ajakan ke arah kekerasan atas nama agama. Tapi kini sudah tidak relevan lagi.”

     Ilustrasi dari situasi di Aceh ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap terorisme berkontestasi dengan dua hal, yakni (a) perhatian yang lebih besar terhadap ancaman yang dianggap lebih nyata seperti Kristenisasi dan aliran sesat dan (b) persepsi bahwa terorisme tidak benar-benar nyata sebagaimana pemberitaan media melainkan hanya rekayasa Barat yang ingin merusak citra Islam.

Sikap demikian tidak hanya kami temukan di Aceh tetapi juga di banyak tempat lain termasuk wilayah-wilayah di mana pernah terjadi penangkapan teroris seperti Medan, Jawa Barat dan Maluku. Di Ambon misalnya, resistensi terhadap terorisme nampak kuat. Sejarah kelam konflik masa lalu membuat sebagian besar tokoh masyarakat yang kami wawancarai mempunyai keinginan yang kuat untuk mencegah segala sesuatu yang berpotensi menciptakan ketegangan komunal sehingga bisa membuka kembali luka lama.

Resistensi terhadap terorisme tercermin dalam klaim bahwa masyarakat Ambon tidak mempunyai karakteristik yang mendorong orang untuk menjadi teroris. Ada kepercayaan sangat kuat, kalau bukan overconfidence (kepercayaan terlalu tinggi), bahwa orang Ambon tidak mungkin menjadi teroris. Kalaupun ada teroris yang ditangkap di Ambon,17 ini diyakini sebagai pendatang dari luar, berjejaring secara personal dan tidak mempunyai kaitan dengan masyarakat Ambon.

Namun ini bukan berarti sama sekali tidak ada kewaspadaan terhadap terorisme. Di sejumlah provinsi kami menemukan ketidaksetujuan terhadap terorisme mendorong resistensi terhadap penyebaran faham teroris. Di luar jaringan pencegahan terorisme yang dikoordinasi oleh pemerintah melalui organisasi Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT), ada inisitaif-inisiatif lokal yang dilakukan masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang damai di lingkungan mereka, termasuk keamanan dari ancaman militansi, radikalisme dan terorisme.

       Penggunaan framing “ancaman terhadap kedamaian atau kerukunan” nampaknya lebih mudah menggerakkan banyak orang daripada framing perlawanan terhadap terorisme. Hal ini karena pada tingkat tertentu di Ambon, sebagaimana di Aceh dan banyak provinsi lain, kecurigaan terhadap narasi terorisme sebagai rekayasa juga masih cukup kuat. Maka resistensi terhadap ancaman terorisme bisa dilihat dari inisiatif-inisiatif lokal yang lebih bertujuan dan dibingkai sebagai upaya untuk menciptakan kerukunan daripada melawan terorisme. Namun perlawanan kepada ancaman terhadap kerukunan ini bisa dilihat secara tidak langsung sejalan dengan pencegahan terhadap terorisme.

Di Ambon, problem serius yang dilihat sebagai ancaman keamanan adalah munculnya wilayah perkampungan kelompok-kelompok eksklusif seperti Salafi atau Wahabi, yang pada umumnya dihuni oleh ex-combatant konflik tahun 1999-2002.

Meski tidak sedikit kalangan Muslim yang merasa berhutang budi kepada para ex-combatant dari luar Ambon yang dulu pernah membela mereka dalam situasi perang, tetapi kami menangkap adanya kekhawatiran yang cukup kuat terhadap ancaman keamanan yang bisa timbul dari segregasi sosial dan intoleransi keagamaan akibat dari menguatnya kelompok keagamaan eksklusif.

Dalam jangka panjang dikhawatirkan ini bisa menumbuhkan kembali benih-benih permusuhan antar-agama yang bisa sewaktu-waktu meledak. Terbukti, pasca konflik tahun 1999-2000 beberapa kali terjadi ledakan konflik komunal dalam skala kecil yang untungnya bisa dilokalisir. Sebagaimana terjadi pada tahun 1999-2002 di Ambon dan Poso, situasi konflik agama tidak hanya menjadi medan pertempuran, tetapi menjadi lahan yang subur bagi perkembangan jaringan teroris.

Salah satu insitiatif melawan ancaman keamanan yang dilakukan masyarakat Ambon adalah inisiatif perdamaian yang disebut gerakan “Sajadah Fajar.” Gerakan ini dipelopori oleh seorang pegawai Kementerian Agama Provinsi Maluku yang mengkaitkan upaya untuk menggalakkan kesalehan beragama dengan upaya membangun toleransi. Peneliti kami di Ambon melaporkan inisiatif ini sebagai berikut:

Ide dasar dari gerakan ini…adalah bahwa kekuatan umat Islam berada pada keaktifan mereka dalam solat berjamaah. Shalat subuh secara berjamaah dianggap paling sulit dilakukan sehingga jika umat terbiasa dengannya maka waktu lain akan mudah dilakukan. …manfaat dari kegiatan solat jamaah subuh yang mulai dilakukan hampir setahun ini dengan pengikut sudah mencapai hampir ratusan. … ini semua berdampak langsung pada penguatan persatuan umat Islam.

Melalui “sajadah fajar” ini pula, kampanye penolakan terhadap faham terorisme dan radikalisme digalakkan. Sang informan menjelaskan bahwa panitia dalam memilih penceramah selalu didasari oleh kesadaran akan wacana tersebut. Penitia selalu menyampaikan kepada penceramah agar memasukkan wacana tersebut dalam konten ceramah. Kesadaran tersebut sebenarnya sudah ada sejak awal gerakan ini, tapi baru mengental setelah suatu kali seorang penceramah menyampaikan isi ceramah yang terkesan radikal. “Ini dan itu tidak boleh (seperti tahlil, ziarah dan tradisi-tradisi lain), padahal semua itu sudah mentradisi di masyarakat Ambon,” cerita sang informan.

Panitia saat itu kecolongan. Panitia tidak begitu mengenal penceramah tersebut. Dia bisa ceramah karena direkomendasikan oleh seseorang yang panitia kenal. Setelah panitia menyampaikan kasus tersebut kepada yang memberi rekomendasi, sang pemberi rekomendasi juga tidak menyangka kalau orang tersebut berfaham seperti yang diceramahkannya. Sejak itu, panitia semakin selektif dan berhati-hati. Intinya, tegas sang informan, bahwa “sajadah fajar” ini adalah sarana melawan faham-faham baru yang eksklusif.

     Dari pespektif pencegahan ancaman terorisme, inisiatif di atas memberi dua pelajaran penting. Pertama, kegiatan pencegahan terorisme sebaiknya dikaitkan dengan modal sosial- keagaman yang ada di masyarakat. Kaitan kegiatan keagamaan dengan penanggulangan terorisme perlu dilakukan untuk memperkuat basis keagamaan dalam melawan berkembangnya narasi terorisme.

        Dalam konteks ini tokoh kultural mestinya mempunyai peran yang kuat dalam pencegahan terorisme karena mereka bisa memberikan pengetahuan tentang budaya dan tradisi lokal yang bisa melawan narasi radikal-terorisme. Kedua, framing kegiatan sebaiknya tidak dipersempit kepada pencegahan terorisme. Hal ini karena isu wacana terorisme sendiri masih kontroversial di sebagian masyarakat.

       Selain itu terorisme biasanya tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan ancaman keamanan sosial yang beragam dari satu tempat dengan tempat lain. Penelitian ini menunjukkan narasi kontra-terorisme tidak beresonansi cukup kuat di banyak tempat, dan karena itu narasi ini perlu dikaitkan dengan narasi atau ancaman yang lebih nyata di masyarakat seperti konflik komunal.

SITUASI PENDUKUNG BAGI PENYEBARAN EKSTREMISME DAN TERORISME

Sebuah masjid dalam sebuah kompleks perumahan di perbatasan Jakarta dan Banten hanya masjid biasa yang terbuka dan tidak menonjol sebagai basis kelompok ekstrim dan radikal. Penampilan para jemaah yang hadir di masjid ini juga tidak menonjol secara fisik. Ciri-ciri tampilan fisik kelompok radikal yang biasanya mudah diidentifikasi seperti memelihara jenggot, baju gamis, celana cingkrang dan perempuan yang memakai cadar tidak umum terlihat di masjid ini.

Tetapi seorang pemuda aktifis pemuda masjid ini yang diwawancari peneliti kami menunjukkan keterpengaruhanya terhadap narasi ekstrim. Pemuda masjid yang hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA ini dikenal sebagai ustaz di lingkungan tempat tinggalnya. Ia mengaku belajar agama secara langsung melalui ustaz-ustaz yang menjadi penceramah di masjid dan pengajian keliling di kompleks perumahanya. Ia mempunyai idealisme yang kuat terhadap penerapan syariah Islam secara total, mendukung aksi kekerasan dan simpati terhadap palu terorisme. Ia mengaku salah satu penceramah di masjid yang berpengaruh terhadap dia adalah Abu Jibril.

Sebagaimana dilaporkan peneliti kami, ia sangat terkesan dengan pengetahaun Abu Jibril yang nampak sangat mendalam: “beliau (Abu Jibril) adalah orang yang sangat mendalam agamanya, sehingga ia dan teman-temannya dahulu suka datang ke pengajiannya di daerah Tangerang Selatan, meskipun pengajiannya bersifat tidak tetap.” Jelas interaksi yang singkat saja dengan seorang tokh radikal, melalui pengajian yang tidak rutin, bisa menarik seseorang ke dalam lingkaran narasi ekstrimisme. Interaksi di masjid yang mungkin hanya terjadi sesekali bisa membuka pintu bagi seseorang yang tertarik untuk belajar lebih jauh melalui kesempatan lain. Pemuda masjid yang diceritakan di sini berusaha mencari dan hadir di pengajian Abu Jibril di tempat lain, setelah ia terkesan dengan ceramah Abu Jibril di masjid lingkungannya.

Penelitian ini mengidentifikasi paling tidak tiga kondisi yang mendukung persebaran narasi ekstrimisme, yakni:

(a) sikap permisif kelompok militan
(b) memudarnya peran tokoh moderat, dan
(c) inkonsistensi pemerintah.

Cerita di atas memberi ilustrasi satu kondisi yang mendukung penyebaran narasi ekstrim dan radikal, yakni sikap permisif sebagian Muslim terhadap peran tokoh atau kelompok ekstrim. Sikap permisif demikian biasanya terjadi karena adanya kesamaan dari segi semangat keagamaan dan perhatian terhadap isu-isu tertentu yang menjadi kesadaran bersama umat Islam dari berbagai kelompok baik yang berada di dalam atau di luar lingkaran ektrimis atau radikal. Tentu masih perlu digali lebih jauh bagaimana prosesnya sehingga sosok ekstrimis seperti Abu Jibril bisa diizinkan untuk menjadi penceramah di masjid yang bukan menjadi basis radikal. Tetapi bukan tidak mungkin narasi dominan berupa kekhawatiran terhadap apa yang dipersepsi sebagai “musuh-musuh” yang lebih nyata di dalam Islam seperti aliaran sesat, JIL dan dan ancaman dari dari luar Islam seperti Kristenisasi.

        Seringkali aktifis anti kesesatan dan Kristenisasi tidak bisa menarik batas yang tegas antara ekspresi perlawanan terhadap kedua gejala tersebut dengan radikalisme. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa laporan, aktifitas-aktifitas kelompok penekan dalam isu-isu di atas menjadi ruang terbuka bagi mobilisasi narasi ekstrimisme. Dalam momen-momen aksi atau tabligh akbar narasi ekstrimisme seperti perlawanan terhadap demokrasi dan pemerintah yang diidentifikasi sebagai kafir bisa jadi disampaikan secara terbuka atau tidak terbuka. Meskipun narasi ekstrimisme tidak disampaikan secara terbuka, tetapi ruang yang tersedia bisa dimanfaatkan oleh aktifis ekstrim untuk membangun relasi interpersonal dengan peserta aksi atau pengajian; sebagian dari mereka yang berada dalam situasi perlawanan yang menggelora dan mempunyai pengetahuan yang rendah untuk membedakan antara ekstrimisme dan militansi akan dengan mudah dipersuasi untuk masuk bergesar lebih jauh dari militansi ke radikalisme, ekstrimisme dan bahkan terorisme.

       Beberapa laporan lembaga riset independen tentang potensi terorisme menunjukkan situasi demikian bisa jadi dicontohkan dalam kasus M. Syarif, pelaku bom bunuh diri di Cirebon pada tahun 2011. Syarif diketahui pernah aktif dalam gerakan Kristenisasi dan aliran sesat di Jawab Barat bernama GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat). Jelas, narasi ekstrimisme tersebar melalui gerakan militan.

Mencermati situasi seperti ini, kegiatan kontra-terorisme dituntut mencari cara untuk mendorong kelompok-kelompok militan menarik batas yang tegas antara militansi dan ekstrimisme. Penelitian ini menunjukkan banyak sekali responden dari kalangan tokoh masyarakat yang berada pada level militansi. Secara prinsip mereka tidak setuju dengan ekstrimisme dan radikalisme, tetapi pada prakteknya seringkali secara tidak sadar bersikap permisif bagi penyediaan ruang-ruang yang menjadi alat penyebaran narasi ekstrimisme. Yang patut diingat, sikap permisif seperti ini tidak hanya terjadi dalam konteks masjid. Sekolah, kelompok pengajian dan bahkan birokrasi pemerintahan bisa menjadi ruang pertemuan militansi dan ekstrimisme.

Banyak contoh di masyarakat yang bisa diperkuat dan menjadi inspirasi bagi upaya menarik garis batas yang tegas antara militansi dan ekstrimisme. Masjid Baitur Rohim di Jakarta misalnya. Takmir masjid yang diwawancarai peneliti kami menyatakan masjidnya mempunyai kebijakan merekrut penceramah atau khatib yang beragam; tidak ada khotib tetap yang secara berulangkali bertugas menjadi khotib. Sistem ini menurutnya membuat kecil kemungkinan seorang khatib radikal bisa membangun pengaruh karena kesempatan yang dia dapat di masjidnya sangat jarang. Kalaupun ada khatib yang dianggap ekstrim, biasanya ia berharap bisa dapat laporan dari masyarakat mengundang lagi khatib yang radikal.

Ia sengaja mendorong jemaah untuk melaporkan kalau ada penceramah yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan mereka, dalam hal ini penceramah yang ekstrim. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi upaya-upaya dari kalangan militan atau moderat untuk menarik garis batas yang tegas antara militansi dan radikalisme atau ekstrimisme. Penelitian kami di berbagai tempat menunjukkan banyak indikasi praktek “menarik garis batas” dengan ekstrimisme yang perlu dikaji lebih dalam dan disebarkan sebagai pengetahuan.

Kondisi kedua yang bisa memungkinkan persebaran ekstrimisme adalah semakin terbukanya struktur kesempatan bagi elemen-elemen keagamaan baru yang bersifat lebih militan, tertutup dan ekstrim. Selain daya tarik yang dimiliki kelompok-kelompok baru ini, struktur kesempatan yang mereka dapat juga didukung oleh memudarnya peran sebagian lembaga, tokoh atau otoritas keagamaan tradisional yang bersifat lebih toleran dan terbuka terhadap keragaman.

      Peran pesantren dan ulama semakin memudar karena terjebak pada wilayah politik praktis di saat kekuatan-kekuatan dakwah baru mulai menguat. Politik identitas kerap menjerat banyak tokoh keagamaaan dalam arus politik praktis sehingga membuka ruang kosong yang ditinggalkan oleh kepemimpinan tokoh keagamaan tradisional atau modernis yang sebenarnya sudah mempunyai akar yang luas di masyarakat.

Masyarakat yang galau dengan ancaman demoralisasi dan kehilangan tempat sandaran dari kalangan tokoh tradisional yang perannya memudar mencari sandaran untuk memperkuat basis keagamaan dalam keluarga mereka. Terkadang tokoh-tokoh mapan sebenarnya terus berjuang keras mempertahankan peran mereka, tetapi kelompok- kelompok baru yang lebih terorganisir, militan, lebih agresif dan didukung oleh sumberdaya yang lebih memadai bisa jadi bergerak lebih cepat atau efektif. Banyak sekali bukti yang menunjukkan sekolah-sekolah Islam terpadu atau pesantren yang dikelola oleh kelompok militan atau radikal mampu berkembang lebih pesat daripada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh kekuatan arus-utama. Banyak ruang kosong yang ditinggalkan oleh kelompok arus-utama.

Ruang kosong inilah yang diisi oleh oleh kekuatan-kekuatan Islam baru yang tidak jarang bersifat radikal atau ekstrim. Ketika sebagian tokoh agama yang mapan tersadar oleh situasi ini, maka terjadilah kontestasi antara kekuatan-kekuatan tradisional dan kekuatan baru. Laporan ini menunjukkan di banyak tempat terjadi ketegangan antara kelompok Salafi- Wahabi yang dianggap “mengambil alih” kontrol atas masjid-masjid yang selama ini menjadi basis kekuatan tradisional dengan kelompok-kelompok Islam arus-utama.

Kondisi ketiga yang mendukung penyebaran narasi radikal atau ekstrim adalah inkonsitensi yang kerap ditunjukkan oleh negara. Ada dua wajah berbeda yang ditunjukkan oleh negara tetapi sekaligus keduanya menciptakan struktur kesempatan bagi persebaran radikalisme dan ekstrimisme. Di satu sisi negara sering dipersepsi oleh kelompok radikal sebagai “absen” dalam pemberantasan apa yang dianggap sebagai ancaman terhadap relijiusitas seperti peredaran alkohol, perjudian, prostitusi dan aliran sesat. Sebagaimana dibahas di bagian sebelumnya, persepsi bahwa negara membiarkan kemaksiatan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat melegitimasi aksi kekerasan.

Di sisi lain, negara seringkali tidak konsisten dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok radikal. Meski ada dukungan yang kuat dari banyak tokoh Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah agar negara menindak tegas kelompok radikal yang melakukan kekerasan, tetapi banyak kasus yang menunjukkan terjadinya pembiaran oleh negara terhadap aksi kekerasan (vigilante) yang dilakukan oleh kelompok radikal. Terkadang pemeritah melakukan tindakan hingga menangkap pelaku kekerasan, tetapi tindakan ini seringkali bersifat minimal; tidak semua pelaku ditindak; tokoh intoleransi tidak tersentuh dan ketika sebagian pelaku dibawa ke pengadilan, hakim seringkali memberikan hukuman yang sangat ringan dan bahkan membebaskan pelaku.

       Inti dari ketiga kondisi di atas adalah ruang gerak dan toleransi yang tersedia bagi ekspansi pengaruh narasi ekstrimisme masih cukup luas. Ruang gerak dan sikap toleran terhadap radikalisme ini bisa tersedia akibat sikap ambigu pemerintah dan memudarnya peran tokoh arus-utama, dan sekaligus keberhasilan kelompok radikal memanfaatkan ruang terbuka tersebut secara lebih efektif daripada kelompok moderat.

MENAKAR TINGKAT ANCAMAN RADIKALISME DAN TERORISME

       Bagaimana mengukur tingkat potensi ancaman radikalisme dan terorisme berdasar fakta-fakta yang dijelaskan di atas? Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memahami spektrum variasi gerakan Islamisme dari tingkatan paling kurang berbahaya sampai paling berbahaya, dalam hal ini adalah kemauan melakukan aksi terorisme. Tentu saja, sebagaimana ditunjukkan dalam laporan ini, sama sekali tidak ada responden yang bisa masuk dalam kategori paling ekstrim, terorisme. Tidak ada yang setuju dan siap melakukan aksi terorisme. Ini bisa dipahami karena subyek penelitian ini bukanlah gerakan bawah tanah yang masuk dalam jaringan teroris. Namun demikian penelitian ini menunjukkan masyarakat pada umumnya berada pada level atau tangga yang berbeda di bawah terorisme.

      Mengikuti matriks sebagaimana dijelaskan di bagian awal, penelitian ini menunjukkan masyarakat pada umumnya berada pada level di bawah ekstrimisme dan terorisme. Dari segi orientasi politik keagamaan, semua reponden bisa dibilang berada di luar lingkaran matriks, di bawah level terendah militansi yang merupakan level Islamisme yang paling rendah. Ini karena hampir tidak ada responden yang mempunyai sikap anti-sistem dalam pengertian menolak partisipasi dalam proses politik yang ada. Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat pada umumnya tidak menolak pilar-pilar utama sistem yang ada yakni seperti NKRI, Pancasila,dan bahkan demokrasi. Memang ada sebagian yang menganggap demokrasi bertentangan dengan Islam, tetapi kelompok dalam ketegori ini memilih untuk tidak berkonfrontasi melainkan bersiasat dengan melihat demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan sistem Islam.

     Hal ini bukan berarti masyarakat tidak menginginkan penerapaan syarah Islam. Sebagian besar masyarakat mempunyai aspirasi untuk menerapkan syariah Islam, tetapi cakupan dan bentuk syariah beragam. Penerapan syariah pada umumnya dilihat sebagai proses gradual yang harus mempertimbangkan keunikan situasi di Indonesia. Sebagian masyarakat yang menginginkan penerapan syariah pada tingkat tertentu bisa dikategorikan radikal dalam pengertian menginginkan perubahan sistem secara total untuk mewujudkan sistem Islam, tetapi mereka bukanlah penganut faham revolusioner yang memilih untuk konfrontasi dengan sistem yang ada.

      Namun dari sisi yang berbeda, banyak masyarakat yang bisa diketegorikan militan mendekati ekstrimis dalam pengertian memegang aspirasi penerapan sistem Islam sebagai alternatif dan mentolerir kekerasan dalam skala kecil. Kategori inipun mesti diberi catatan, karena mereka yang melegitimasi kekerasan pada umumnya tidak anti-sistem. Terseraknya posisi masyarakat pro-sistem dalam spektrum antara militansi dan ekstrimisme dalam hal orientasi politik keagamaan dan sikap terhadap kekerasan menunjukkan situasi labil yang memungkinkan terjadinya pergesaran dari satu level ke level lain. Situasi ini menyediakan medan kontestasi bagi penyebaran narasi yang mendukung ideologi ekstrimisme dan terorisme.

    Kewaspadaan terhadap situasi ini menjadi lebih mendesak karena perekrut teroris dan organisasi radikal terus berupaya menyebarkan ideologi radikal, narasi ekstrimisme dan sentimen diskriminatif. Misalnya, International Crisis Group ( ICG ) melaporkan adanya puluhan penerbit terafiliasi dengan JI yang bertanggung jawab di balik penyebaran ratusan buku yang berupaya menyemai ideologi jihad dan gagasan radikal Islam lainnya di pasar buku di Indonesia. Ini termasuk al- Alaq, al-Arafah Group, al- Aqwan Group, Kafayeh Cipta Media (KCM ), dan Ar-Rahmah. Dijalankan oleh Ikhsan Miarso, yang pada saat kejadian bom Bali 2002 adalah kepala subdivisi wilayah JI (wakalah) di Solo, al- Alaq, misalnya, menerbitkan serangkaian tulisan dan ceramah Abdullah Azzam berjudul Tarbiyah Jihadiyah dan terjemahan dari sebuah buku karya penulis Arab Abdul Baqi Ramdhun, berjudul al-Jihad Sabiluna. Menurut ICG, penerbitan ini menunjukkan upaya JI untuk bertahan dan menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.20

       Sumber lain dari radikalisasi berasal dari pesantren radikal yang berkembang di seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah ini tidak hanya berupaya menyebarkan ideologi radikal, mereka juga rupanya mengajarkan petunjuk ’praktis’ dalam pembuatan bom dan penanganan senjata. Ada sekitar 50 pesantren terkait JI, yang meliputi Pesantren Al-Muttaqien di Jepara dan Cirebon, Pesantren Maratus Sholeh di Bekasi, Ma’had Aly di Solo, Ibnu Masud di Depok, Millah Ibrahim di Pamulang, al- Islam di Lamongan dan al-Mukmin Ngruki di Solo. Sepintas, pesantren ini telah mengembangkan kurikulum yang sama seperti yang dikembangkan pesantren-pesantren NU dan Muhammadiyah. Al-Mukmin, misalnya, tidak hanya mengadopsi sistem bertingkat, tetapi juga mengajarkan mata pelajaran sekuler, seperti Matematika dan Bahasa Inggris. Namun, selama sesi kelas pelajaran agama siswa diperkenalkan dengan semangat puritanisme dan ide-ide militan dengan menggunakan buku-buka karya ideologi militan, seperti Aqidah Islamiyah karya Abu Bakar Ba’asyir, al – Wala’ wa-l-Bara’ karya Salim Sa‘id al-Qahtani, dan Jund Allah karya Sa’id Hawwa. Untuk lebih meningkatkan militansi mereka, siswa didorong untuk menghadiri kelas-kelas tambahan di mana ustaz senior menyuarakan permusuhan mereka terhadap pemerintah serta Amerika Serikat dan sekutu mereka.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, kami dapat memberikan daftar kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:

  1. Penelitian ini mengkaji potensi pengaruh narasi radikalisme dan terorisme di kalanganmasyarakat secara umum di 20 provinsi di Indonesia. Di setiap ibu kota provinsi tim peneliti melakukan wawancara terhadap sekitar 28 informan yang dipilih berdasarkan kepemimpinan mereka di berbagai segmen masyarakat yang berbeda seperti tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh politik, aktifis organisasi keagamaan SMA dan perguruan tinggi.
  2. Secara umum narasi ektremisme dan terorisme dalam pengertian tuntutan untuk melakukan perubahan tatanan sosial dan politik secara fundamental, inkonstitusional atau dengan cara kekerasan tidak beresonansi di kalangan masyarakat di berbagai segmen, termasuk kelompok-kelompok militan yang memperjuangkan peran agama secara luas dalam kehidupan publik.
  3. Rendahnya pengaruh ektrimisme dan terorisme berkelindan dengan tingginya komitmen masyarakat terhadap NKRI, Pancasila, dan demokrasi.
  4. Narasi yang membangun imajinasi ancaman atau mental kewaspadaan (siege mentality) akan bahaya kekuatan-kekuatan anti-Islam seperti Barat, Amerika Serikat, Kristenisasi, Zionisme, liberalisme dan aliran sesat beresonansi cukup kuat di sebagian besar masyarakat terutama tokoh agama dan aktifis keIslaman SMA dan kampus.
  5. Di banyak tempat imajinasi ancaman keagamaan bertautan dengan isu-isu lokal yang berhubungan dengan ketidakadilan ekonomi, sosial dan polarisasi komunal.
  6. Nalar yang melegitimasi tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas beresonansi cukup kuat di sebagian besar masyarakat. Meski sedikit yang ikut serta dalam tindak kekerasan jalanan (vigilante), banyak yang membenarkan aksi kekerasan dengan alasan kelemahan negara dalam menindak kemungkaran dan keyakinan perlunya sebagian anggota masyarakat yang bersikap ‘keras’ dalam beragama.
  7. Terorisme ditentang oleh hampir seluruh informan dengan beberapa alasan, termasuk diantaranya: terorisme adalah wujud kedangkalan pemahaman keagamaan, terorisme bersifat kontrapoduktif dengan kepentingan Islam, dan keyakinan Indonesia adalah negara damai yang tidak berada dalam kondisi perang.
  1. Namun demikian di kalangan masyarakat yang menantang terorisme, ada sebagian yang bersikap kritis dan simpatik terhadap aksi terorisme. Ada dua narasi yang umum digunakan untuk mendukung sikap ini yakni: (a) pandangan bahwa terorisme adalah bagian dari konspirasi Barat terhadap umat Islam, (b) terorisme adalah wujud perlawanan terhadap kezaliman.
  2. Ditemukan banyak nilai-nilai dan inisiatif untuk mencegah terorisme yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan kultur budaya lokal.
  3. Meski narasi ektrimisme dan terorisme tidak beresonansi di kalangan masyarakat pada umumnya, ada beberapa situasi yang mendukung atau menjadi struktur kesempatan bagi potensi transmisi narasi radikalisme, termasuk diantaranya:
    1. (Persepsi) ketidakadilan dan inkonsistensi pemerintah dalam penegakan hukum.
    2. Sikap permisif sebagian masyarakat dan politik identitas yang memberi strukturkesempatan politik terhadap peran tokoh dan media radikal.
    3. Inkonsistensi pemerintah dalam hal penindakan terhadap problem keagamaan yang menjadi perhatian umat Islam dan sikap tidak tegas kekerasan kelompokradikal.
  4. Penguatan nilai dan kultur lokal untuk menangani situasi-situasi pendukung di atassangat penting agar potensi radikalisme dan terorisme tidak berkembang ke arah yang lebih serius karena sebenarnya simpul-simpul organisasi Islamis militan terus berusaha membina militan-militan baru, terutama di kalangan kaum muda, yang suatu saat bisa saja bermetamorfosis menjadi radikal, ekstrimis dan bahkan teroris.

Catatan Kaki

1. Kajian tentang modus regenerasi dan rekonstruksi jaringan terorisme di Indonesia diulas dengan baik dalam peneltiian International Crisis Group (ICG) berjudul, How Indonesian Extrimists Regroup, 16 Juli, 2012.

2. Jeffry R. Halverson, H.L. Goodall & S. Corman, Master Narratives of Islamist Extremism, (New York: Palgrave Macmillan, 2011).

3. Mark Jurgensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, (California: University of California Press, 2003).

4. Jeffry R. Halverson, H.L. Goodall & S. Corman, Out of Their Heads and Into Their Conversation: Countering Extremist Ideology, Consortium for Strategic Communication, Arizona State University, 14 September, 2009.

5. Lembaga Survei Indonesia, Prospek Islam Politik (Jakarta: LSI, 2006).
6. Pengantar tentang gerakan ini lihat see D. Commins, “Taqiy al-Din al-Nabhani and the Islamic Liberation

Party,” The Muslim World Journal 81 (1991): 194-211; S. Taji-Farouki, A Fundamental Quest: Hizb ut-

Tahrir and the Search for the Islamic Caliphate (London: Grey Seal, 1996).
7. Lebih jelas tentang kemunculan gerakan Salafi di Indonesia, lihat Noorhaidi Hasan, “The Salafi

Movement in Indonesia: Transnational Dynamics and Local Development,” Comparative Studies of South

Asia, Africa and the Middle East 21, 1 (2007): 83-94.
8. Mohammad Iqbal Ahnaf, The Image of the Enemy; Radical Discourse in Indonesia (Bangkok: Silkworm

Press, 2006).

9. Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Agama Tahun 2012, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM, 2012).

10. Agus Indiyanto, Agama di Indonesia dalam Angk: Dinamika Demografis Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000-2010 (Yogyakarta:Center for Religious and Cross-cultural Studiies, Sekolah Pascasarjana UGM, 2013).

11. Jurgensmeyer, ibid.
12. Lihat International Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, 26 January, 2012;

lihat juga Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2011 (Yogyakarta: Centre for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM, 2011).

13. Max Abrahms, “What Terrorists Really Want Terrorist Motives and Counterterrorism Strategy,” International Security, Vol. 32, No. 4 (Spring 2008): 78–105

14. Quintan Wiktorowicz, Radical Islam Rising: Muslim Extremism in the West (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2005).

15. Lihat profil Irene Handono dipublikasikan dalam majalah Al-Wa’ie yang diterbitkan old Hizbut Tahrir

Indonesia, http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/14/ustz-hj-irena-handono-pakar-kristologi-ht-bukan musuh-pemerintah/ ,

16. BBC Indonesia, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/04/120415_acehteroris.shtml 15  April 2012,

 17. Salah satu contoh penangkap teroris di Ambon terjadi pada 9 September, 2012. Densus 88 menangkap 4 terduga teroris di di kawasan Gunung Malintang, Kebun Cengkeh Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Ambon: http://regional.kompas.com/read/2012/09/09/21063689/Empat.Terduga.Teroris. Ditangkap.di.Ambon

18. Laporan ICG dan CRCS
19. Ketidaktegasan pemerintah terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal nampak jelas misalnya dalam kasus kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik pada tahun 2011 dan kekerasan terhadap penganut Syi’ah di Sampang. Dalam kedua kasus ini banyak pelaku dan provokator kekerasan dibiarkan bebas, sebagian kecil eksekutor diadili tetapi dihukum dengan hukum yang sangat ringan. Di Cikeusik, pelaku yang nyata-nyata melakukan pembunuhan secara terencana hanya dihukum 6 bulan penjara.

20. International Crisis Group, “Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry”, ICG Asia Report No. 147 (Jakarta/Brussels: International Crisis Group, 2008).

21. See, for instance, Noorhaidi Hasan, “Salafi Madrasas of Indonesia,” in Farish Noor, Yoginder Sikand and Martin van Bruinessen, eds., The Madrasa in Asia, Political Activism and Transnational Linkages (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008), pp. 247-274.

Bibliografi

Abrahms, Max. “What Terrorists Really Want Terrorist Motives and Counterterrorism Strategy,” International Security, Vol. 32, No. 4 (Spring 2008): 78–105.

Ahmad, Irfan. Islamism and Democracy in Indonesia; The Transformation of Jamaat-e-Islami. Princeton: Princeton University Press, 1999.

Ashmore, Richard D., Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen, “Toward a Social Identity Framework for Intergroup Conflict,” dalam Richard D. Ashmore, Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen (eds.), Social Identity, Intergroup Conflict dan Conflict Reduction, vol 3. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Bayat, Asef. “Islamism and Social Movement Theory”, Third World Quarterly 26, 6 (2005): 891- 908.

Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University Press, 1977.

Castells, Manuel. The Information Age: Economy, Society, and Culture, vol. II, The Power of Identity. Oxford: Blackwell, 1999.

 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2011, Centre for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2011.

Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures, Selected Essays. New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1973.

Halverson, Jeffry R, Goodall, L.H., & Corman, S., Out of Their Heads and Into Their Conversation: Countering Extremist Ideology, Consortium for Strategic Communication, Arizona State University, 14 September, 2009.

Halverson, Jeffry R, Goodall L.H., & Corman, S., Master Narratives of Islamist Extremism. New York: Palgrave Macmillan, 2011.

Hasan, Noorhaidi. “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, Prisma Vol. 20 (2010): 28-51.

Hasan, Noorhaidi. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, Teori. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2012.

International Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, 26 January, 2012.

Jurgensmeyer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. California: University of California Press, 2003.

Kepel, Gilles. Jihad: The Trail of Political Islam. London: I.B. Tauris, 2002.

Roy, Oliver. The Failure of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 1996.

Silke, Andrew. “An Introduction to Terrorism Research,” dalam Research on Terrorism: Trends, Achievements and Failures, ed. Andrew Silke. London: Frank Cass, 2004.

Varisco, Daniel. “Inventing Islamism: The Violence of Rhetoric”, dalam Richard C. Martin dan Abbas Barzegar (eds.), Islamism: Contested Perspectives on Political Islam. Stanford: Stanford University Press, 2010.

Wiktorowicz, Quintan, ed. Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2003.

Wiktorowicz, Quintan, Radical Islam Rising: Muslim Extremism in the West. Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2005.