Naypyidaw – Junta militer Myanmar pada Selasa (23/3/2021) membela diri atas tindakan kekerasan selama 7 pekan yang telah menewaskan 260 pengunjuk rasa anti-kudeta militer.
Sementara, mereka bersikeras tidak mentolerir “anarki” yang menuduh kelompok masyarakat sipil yang melakukannya.
Dikutip dari AFP, Selasa (23/3/2021), junta militer melancarkan kekerasan mematikan saat berjuang untuk memadamkan protes nasional terhadap kudeta yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari.
Dalam konferensi pers di ibu kota Naypyidaw, juru bicara junta militer, Brigjen Zaw Min Tun menyebutkan jumlah korban tewas lebih rendah menjadi 164.
“Saya sedih karena teroris pelaku kekerasan yang meninggal ini adalah warga negara kita,” kata Zaw Min Tun.
Jalan-jalan di kota-kota di seluruh negeri telah memiliki pemandangan kacau selama berpekan-pekan, ketika pasukan keamanan bentrok dengan pengunjuk rasa yang menuntut pemulihan demokrasi dan pembebasan Suu Kyi.
Pihak berwenang telah menggunakan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam untuk membubarkan protes, mendorong seorang ahli senior hak asasi PBB memperingatkan mereka terkait “kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Di antara mereka yang tewas adalah seorang siswa laki-laki kelas 8 di Mandalay yang ditembak ketika dia pergi mengambil air dari depan rumahnya pada Senin (22/3/2021), kata kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP) pada Selasa (23/3/2021).
Save the Children, yang melaporkan anak laki-laki itu berusia 14 tahun, mengatakan “ngeri bahwa anak-anak terus menjadi sasaran serangan fatal ini”. Namun, meskipun ada kecaman internasional yang meluas, Zaw Min Tun membela diri terhadap tanggapan tersebut.
Ia mengatakan bahwa pasukan keamanan berurusan dengan “pemberontak yang memegang senjata” dan 5 polisi serta 4 tentara telah tewas.
“Kita harus memberantas anarki. Negara mana di dunia yang menerima anarki?” tanyanya.
Meskipun terjadi pertumpahan darah, pengunjuk rasa turun ke jalan lagi pada Selasa (23/3/2021), menggelar demonstrasi di beberapa bagian ibu kota komersial Yangon.
Selain membubarkan protes, militer Myanmar berusaha membendung arus berita tentang tindakan keras itu, melarang beberapa media lokal dan menangkap puluhan jurnalis.