Jokowi Tekankan Pendekatan Agama, Budaya untuk Hadapi Ancaman Terorisme

Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden Rabu (16/12) mengatakan, dalam setiap pertemuan dengan kepala negara atau forum internasional, masalah yang berkaitan dengan terorisme dan gerakan radikal selalu menjadi topik pembicaraan utama.

Namun, pada umumnya menurut Presiden, pemberantasan terorisme di hampir semua negara, selalu dengan pendekatan keamanan. Padahal menurut Presiden, pendekatan agama dan budaya bisa lebih menyentuh akar masalah dari ancaman terorisme.

“Masalah yang berkaitan dengan terorisme, radikalisme, ISIS, itu selalu menjadi sebuah topik pembicaraan utama. Dalam forum-forum internasional baik G20, Asian Summit, APEC, juga forum COP 21, itu menjadi sebuah topik utama. Tetapi yang saya tangkap, hampir semuanya, pendekatannya adalah keamanan dan penegakan hukum. Padahal ada hal lain yang bisa kita lakukan. Tidak hanya hard approach tetapi juga soft approach, yang bisa kita kerjakan. Baik yang berupa pendekatan agama maupun pendekatan budaya,” papar Jokowi.

Pemerintah Indonesia lanjut Presiden, berupaya konsisten mengedepankan pendekatan agama dan budaya dalam melakukan pencegahan munculnya paham-paham radikal. Meski demikian pendekatan keamanan juga dilakukan tergantung situasi di lapangan. Sehingga menurut Presiden, negara hadir memberikan rasa aman bagi seluruh warga negara.

“Saya ingin negara terus dan harus hadir untuk memberikan rasa aman bagi seluruh warganegara. Dan kita ingin agar pengawasan pengamanan terhadap ruang publik (seperti) tempat ibadah, bandar udara, pelabuhan, stasiun, terminal bis dan tempat-tempat lainnya harus ditingkatkan,” tambah Presiden.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan, kepolisian dibantu Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) terus melakukan pendekatan terhadap para mantan pelaku teroris atau para simpatisan kelompok radikal. Pendekatan yang kerap dilakukan menurut Kapolri adalah pendekatan deradikalisasi.

“Konsep-konsep yang harus dilakukan adalah deradikalisasi terhadap mantan-mantap napi teroris, pendukung maupun simpatisannya. Termasuk juga kita harus membentengi masyarakat kita dengan program kontra radikal. Artinya, masyarakat kita yang belum terkontaminasi atau terpengaruh dengan paham-paham radikal ini, bisa diberikan pencerahan. Jangan sampai terkontaminasi,” ujar Badrodin.

Seiring dengan itu lanjut Kapolri, kepolisian terus melakukan pemantauan kelompok-kelompok yang berpotensi melakukan penyebaran paham radikal sekaligus merancang aksi terorisme di Indonesia.

Kapolri menambahkan, “Kita juga melakukan pemantauan terhadap kelompok-kelompok jaringan yang selama ini sudah teridentifikasi. Untuk terus memantau gerakan-gerakan yang kemungkinan yang bisa mengarah pada ancaman masyarakat.

Sumber : voaindonesia