Jihad Ulama Perangi Kebodohan, Kemiskinan, dan Perpecahan

Jakarta – Ulama memiliki peran besar dalam mengawal dan membangun Indonesia, sejak belum lahir, merdeka, dan mengarungi era milenial seperti sekarang ini. Kalau dulu ulama berjihad dengan berjuang melawan penjajah, di jaman sekarang perjuangan ulama adalah memerangi kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan.

“Kalau dulu ulama dan kiai jihadnya menjadikan pesantren sebagai tempat perjuangan dan teriakan takbir mereka itu satu nafas dengan teriakan merdeka. Hari ini para ulama dan kiai mengajarkan jihad itu lewat pendidikan, makanya jihad tertinggi dalam islam adalah bagaimana kita melawan kebodohan, melawan kemiskinan, dan perpecahan,” ujar KH Maman Imanulhaq, mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKB di Jakarta, Kamis (22/3/2018).

Menurut Kiai Maman, tiga jihad itulah yang menjadi fokus bagi ulama dan kiai. Juga jihad yang terutama memerangi jangan sampai generasi muda tiba-tiba tuna terhadap nilai-nilali keilmuan dan adab serta etika. Maka pendidikan karakter terus ditanamkan para kiai dan ulama dengan modal keislaman dan nasionalisme. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa jihad di era sekarang bukan pergi ke suatu medan perang yang tidak tahu bagimana medannya yang sama saja dengan bunuh diri.

Ia mencontohkan di era sebelum kemerdekaan, ada perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, juga di tahun 1926-an, ada tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan tokoh Jawa Barat, Abdullah bin Nuh. Ulama-ulama itu tidak sekadar mengajarkan ilmu agama, tapi juga mencintai tanah airnya, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Karena itu, sesuai ajaran itu, tugas pertama ulama di era sekarang adalah menguatkan kembali nilai nilai islam, yaitu islam yang harus jadi spirit untuk perubahan dan perdamaian, bukan membuat teror, atau menyebarkan ketakutan dimana-mana.

Kedua, lanjut Kiai Maman, yang diajarkan ulama itu adalah mencintai tanah air, maka ada ucapan yang sangat terkenal yaitu hubbul wathon minal iman. Artinya mencintai tanah air dalam bentuk komitmen keimanannya.

“Orang yang mengaku beriman dia akan mencintai tanah airnya. Kita tidak mungkin diadu domba, diprovokasi hoax, hate speech, fitnah, dan apapun di sosmed, karena kita tahu negeri ini didirikan dengan air mata, darah, perjuangan dan para ulama didalamnya mempunyai andil besar. Itulah hakekatnya ulama-ulama Indonesia.,” terangnya.

Ia menegaskan, mengacu kepada Al Quran dan Hadits, pertama ulama itu innama yaqsalloha min ibadil ulama yaitu ulama hanya takut pada Allah. Kedua rasulullah Muhammad SAW bersabda al ulama waratsatul anbiya artinya ulama itu pewaris dari perjuangan para nabi. Dari dua definisi itu, maka yang pertama seorang ulama adalah orang yang meyakini bahwa tujuan hidupnya yaitu perjuangan karena Allah. Dan sesuai perintah rasul, ulama harus mengacu kepada bagaimana Allah memberikan manusia nilai kasis sayang dan nilai pemaaf.

“Itulah yang sebenarnya harus dimiliki seorang ulama karena hamba Allah hanya takut pada Allah. Maka sifat-sifat Allah itu yang ia pakai untuk bercermin dalam perjuangannya,” tukasnya.

Dengan demikian, Kiai Maman menegaskan, ulama tidak boleh mengajarkan kekerasan, intimidasi, caci maki, fitnah, apalagi menghancurkan kemanusiaan. Karena ciri orang yang takut kepada Allah dia tidak akan pernah menyakiti kemanusiaan, Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fis samaa’i. Artinya cintailah orang yang ada di muka bumi ini, maka Allah sang maha pemilik langit dan bumi akan mencintai kita.

Kiai Maman menegaskan, para ulama harus konsisten berjuang untuk NKRI. Pasalnya, saat ini, bangsa Indonesia menghadapi besar dari ideologi transnasional dan transaksional. Pertama transnasional itu ada upaya secara global orang ingin masuk ke Indonesia, sebagai negara yang kaya dan berdaulat, serta menunjukkan lewat peran ulama dan dai, Indonesia menjadi umat islam terbesar seluruh dunia.

“Seluruh masyarakat harus betul-betul paham bahwa Indonesia sudah punya Pancasila, Indonesia sudah punya bentuk NKRI, Indonesia sudah sepakat soal Bhinneka Tunggal Ika. Itu sudah lebih dari cukup buat negara ini,” tutur pimpinan pondok pesantren al Mizan, Majalengka ini.

Kedua lanjut Kiai Maman, ancaan itu datang dari ideologi transaksional yaitu ada orang yang tidak teriming-imingi untuk dibayar uang dari kelompok di luar, tapi hanya untuk menghancurkan negara. Untuk menghadapinya, komitmen nasnionalisme terus dipertahankan, terutama kepada anak-anak muda.

“Kita tidak ingin seperti Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, kita tidak ingin Indonesia tiba-tiba tercabik-cabik oleh ancaman tersebut. Caranya memperkuat pemahaman ideologi Pancasila dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tukasnya.