Yogyakarta – Kemajuan teknologi saat ini membuat banyak orang memanfaatkan ruang terbuka untuk mencari kebenaran. Hal inilah yang harus diantisipasi dalam pencegahan terorisme di Indonesia, terutama dalam meluruskan pengertian jihad, takfiri, dan lain-lain.
“Tuhan dan firman-Nya tidak bisa dipahami secara matematik, tapi harus dipahami dengan cara yang benar. Tapi karena selalu tersedia di ruang terbuka, sehingga ada banyak penafsiran berbeda-beda,” ungkap Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan saat menjadi pembicara Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS bersama Muhammadiyah di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta, Kamis (28/7/2016).
Salah satu istilah yang harus diluruskan, kata Abdul Munir adalah pengertian jihad. Selama ini, jihad digunakan oleh penganut paham radikal terorisme untuk menghalalkan tindakan-tindakan kekerasan mereka. Padahal, jihad kekerasan itu tidak pernah ada dalam islam dan Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah mengajarkan jihad seperti itu. Bahkan saat menjadi panglima perang dulu, Nabi SAW juga melarang membunuh wanita, anak-anak, dan lawan yang sudah menyerah.
“Jihad fii sabilillah saat ini seperti yang dilakukan adik-adik ini dengan menuntut ilmu. Bahkan Allah sudah bersabda dalam Al Quran, yang artinya barang siapa yang menempuh perjalanan mencari ilmu, maka Allah akan mempermudah jalan masuk surge. Artinya amal yang dijanjikan ke surga itu tidak hanya perang dan kekerasan, tapi justru mencari ilmu,” lanjut Abdul Munir.
Karena itu, ia meminta para guru dan pengajar tidak hanya mengajarkan tentang Nabi Muhammad SAW sebagai panglima perang, tetapi juga diajarkan bahwa nabi itu sebagai seorang bapak, kakek, suami, dan sahabat.
Menurutnya, orang-orang yang tertarik menjadi terorisme memiliki latar belakang ekonomi susah. Dengan demikian, mereka yakin jalan terorisme itu adalah jalan paling lapang masuk surge.
“Saya tidak tahu training aktivis sekarang. dDlu tahun 1960-an latihan aktivis itu selalu memakai doktrin. Kalau gak bisa menang mati saja. Menang dalam pengertian, islam itu menguasai kondisi politik dan menjadikan semua cara pandang itu merujuk pada pandangan islam. Dan pandangan islam adalah pandangan yang menjadi teroris itu, semua yang lain salah. Padahal kita hidup di zaman terbuka,” paparnya.
Selain itu, imbuhnya, kalau zaman dulu, manusia bisa hidup isolatif atau tidak tergabung dan mendengar yang lain karena waktu itu tidak radio, televisi, bahkan handphone masih mimpi. Berbeda dengan sekarang, dimana dengan kemajuan teknologi informasi, orang hanya butuh hitungan detik untuk mengetahui kejadian di tempat yang jauh.