Jakarta – Kelompok teroris selalu melakukan inovasi dan perubahan dalam melakukan strategi sebelum dan saat melakukan aksi teror. Seperti saat ini, dimana terjadi perubahan serangan terorisme di Indonesia dari penggunaan kekerasan berubah jadi pendekatan politik. Pola yang berubah ini dinilai harus menjadi diskursus khususnya di tengah tahun politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
“Mengubah strateginya yang tadinya pakai peluru dengan menggunakan kotak suara. Supaya bisa masuk ke parlemen, ke DPR (mereka) bisa atur buat Undang-Undang segala macam,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel di Jakarta Selatan, Rabu (5/7/2023).
Rycko mengatakan tren serangan fisik karena isu terorisme memang terus menurun. Namun menurut dia, tren yang menurun tidak bisa dianggap situasi gerakan radikal di Indonesia ikut menurun.
“Saya sampaikan temuan kami, bahwa sel-sel di bawah ini ada pola pendekatan dan strategi yang perlu kita antisipasi,” ucap dia.
Rycko mengatakan temuan ini sudah dibicarakan dengan pemerintah, akademisi dan koalisi masyarakat sipil lainnya.
BNPT bersama mitra kerjanya sedang membicarakan upaya efektif agar bisa menghentikan gerakan radikal bawah tanah yang terjadi. Termasuk juga masuknya pemikiran-pemikiran radikal yang merambah ke dunia pendidikan.
“Terjadinya perubahan pola serangan terorisme dari hard menjadi soft, tidak menggunakan serangan terbuka tetapi menggunakan serangan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat mendekati anak-anak dan sekolah-sekolah, pondok-pondok dan medsos,” tutur Rycko.
BNPT saat ini tidak lagi membicarakan menangkal senjata radikalisme dan terorisme, tapi tentang perubahan pendekatan dari pendekatan kekerasan ke pendakatan yang lebih halus lagi.