Jelang Pemilu, MUI Imbau Umat Islam Pilah Informasi dan Tak Langsung
Percaya Konten di Medsos

Jakarta – Bangsa Indonesia akan berpesta demokrasi pada Pemilihan Umum
(Pemilu) 2024 mendatang. Berbagai dinamika pun telah terjadi ketika
masa kampanye telah dimulai saat ini. Para kontestan Pemilu pun telah
melakukan kampanye baik secara offline maupun online.

Menanggapi hal itu Wakil Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud
berpesan agar umat sebagai masyarakat dapat memilah informasi dan
tidak langsung percaya dengan apa yang diperoleh dari media sosial.

“Kita harus mampu ‘aridh ‘anil jahilin (tidak pedulikan orang-orang
bodoh). Sumber WhatsApp dan media sosial, jangan semuanya dijadikan
dalil. WhatsApp dan media sosial harus ditabayyunkan terlebih dahulu,”
ujar Kiai Marsudi.

Pernyataan itu diucapkan Kiai Marsudi saat membuka Standardisasi
Kompetensi Dai Angkatan 27 dan 28 yang diselenggarakan Komisi Dakwah
MUI di Wisma Mandiri, , Jakarta, Senin (27/11/2023).

Di samping itu, ia berharap agar pemilu yang akan datang berjalan
dengan baik dan tidak terjadi persaingan yang tidak sehat dalam ajang
kompetisi tersebut.

“Jadwal pemilu sebentar lagi, maka ayo kita bersama mengajak bangsa
ini menjaga agar berjalan dengan baik. Jangan sampai persaingan tidak
sehat terjadi sehingga ada gejolak di sana dan di sini,” imbuhnya.

Kiai Marsudi juga mengimbau umat untuk menggunakan hak suaranya dalam
Pemilihan Umum pada 14 Februari 2024. Imbauan itu disampaikan Wakil
Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud.

“Memilih pemimpin, memilih presiden, hukumnya wajib. Nanti jangan ada
yang golput. Cari sesuai keyakinannya masing-masing. Saya tidak akan
mempengaruhi hal ini. Saya atas nama MUI, MUI-nya secara kelembagaan
netral, makhluknya terserah,” jelas Kiai Marsudi.

Kiai Marsudi mengajak untuk melaksanakan kompetisi yang sehat dalam
pemilu. Kompetisi yang sehat itu akan tumbuh jika masyarakat sebagai
aktor utama pemilu sadar. Kesadaran itu muncul dari peran dai yang
hadir dalam Standardisasi ini.

“Pemilu itu kata lain dari membuat persaingan, antar partai bersaing,
antar caleg bersaing. Terkadang kita sudah paham soal perbedaan
pendapat, tapi persoalan persaingan inilah yang bisa mengakibatkan
kita tercerai-berai. Jadi yang merusak organisasi, partai, dan
sebagainya adalah persaingan yang tidak sehat,” katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Ekonomi Darul Uchwah Jakarta ini
menyampaikan, persaingan yang tidak sehat itu yang menjadi bibit
konflik di tengah masyarakat. Keributan yang tidak perlu seringkali
muncul karena persaingan seperti ini.