Sebagai negara besar yang paling menderita akibat serangan terorisme, selayaknya Indonesia melirik dan melihat perkembangan terorisme global dari waktu ke waktu. Kita tidak cukup hanya dengan melihat sejarah lahirnya gerakan sparatis, suversif dan teroris di Indonesia. Tidak juga bijak jika kita hanya menyalahkan rezim kepemimpinan yang menerapkan model pendekatan penanganan terorisme yang kita anggap kurang compatible pada eranya.
Semua sejarah tentu harus menjadi catatan untuk pedoman penanganan domestik ke depan. Tetapi, tanpa melihat perkembangan dan dinamika terorisme global, kita akan menjadi kodok rebus. Merasa paling mampu di antara orang mampu dan pada akhirnya akan tertinggal sendiri . Untuk itu kali ini penulis akan membahas tentang terorisme di Jazirah Magribi yang penulis sempat datangi minimal di dua negara, yaitu Tunisia dan Aljazair
Mengenal AQIM: Al Qaedah di Tanah Islam Magribi
Al-Qaeda in the Islamic Maghrib (AQIM) merupakan organisasi yang dideklarasikan sebagai aliansi pada bulan sepetember 2006. Sebagaimana kita fahami dalam literatur umum bahwa yang disebut tanah Islam Maghribi adalah sebutan untuk komunitas pedagang Arab muslim yang tinggal di negara seperti Aljazair, Tunisia, Lybia, Maroko, Muritania, dan negara sahara barat. Ada tiga pembagian wilayah kesepakatan untuk jazirah Magribi ; Magribi al Adnan adalah Lybia dan Tunisia (sebelah barat), al Aust adalah Aljazair (wilayah bagian tengah), dan Magribi Al Aqsa adalah Maroko, Muritania dan Sahara Barat (wilayah yang terjauh).
Sebagian dari kelompok Magribi ini kemudian menjadi terpecah akibat krisis ekonomi dan juga politik. Ada sebagian yang sudah tidak berkonsentrasi lagi pada sistem tata perekonomian sebagaimana tujuan semula, sebaliknya ada kelompok yang menjadi sangat radikal. Tepat sejak masuknya ajaran Salafist Group for Preaching and Combat (GSPC) yang artinya pengajaran dan pertempuran, pada tahun 2007 misalnya terjadi serangan berkelanjutan terhadap markas PBB, kantor Dewan Hukum Aljazair yang telah menewaskan 42 orang dan melukai sedikitnya 158 orang.
Di Aaljazair, setelah pada perang tahun 1990, dalam berbagai catatan ditemukan bahwa sebetulnya telah terjadi gencatan senjata dengan 35.000 gerilyawan radikalis. Akibatnya terjadi penyusutan jumlah radikalis yang sangat signifikan dan drastis. Gerilyawan radikalis kini hanya tersisa 800 sampai 1000 orang saja. Sebagian dari radikalis ini berasal dari Mali. Mereka masuk ke Aljazair setelah berhasil menyeberang sungai Niger.
Kelompok yang dikenal dengan nama Brigade Al-Muwaqqi’un bid Dima’ yang dipimpin oleh Muhamad al-Amine Bencheneb, walaupun telah gugur ini, kemudian menyatakan diri berpisah dengan AQIM dan menyatakan tetap setia kepada Al Qaedah. Sementara mujahidin yang tidak tertampung dari sebagian Magribi kemudian disusun organisasinya oleh Mokhtar Belmokhtar yang juga dikenal sebagai Khaled Abou El Abbas atau Laaouar dengan menjadikannya sebagai pemimpin Brigade Al Moulathamine.
Bahwa peran teroris Maghribi dalam menciptakan suasana dan keamanan global memang tidak bisa dianggap sederhana. Bisa dibayangkan apa yang diumumkan oleh Komisaris HAM Timur Tengah Haitam Abu Said bahwa orang Tunisia yang bergabung Pada Daesh atau ISIS telah mencapai 15.000 orang, sementara dari Lybia berjumlah 4700 orang. Di Tunisia walaupun ketua Partai Islam Ennahda yang melihat dari sisi kemanusiaan tetap menilai teroris yang bertobat dapat kembali mendapat kecaman yang sangat keras. Bahkan Presiden Tunisia Beji Cais Essebi dengan tegas menolak segala bentuk ampunan terhadap siapapun yang telah dan pernah berjuang untuk terorisme.
Tunisisa sejak revolusi 2011 memang telah menghadapi berbagai serangan yang telah menewaskan ratusan tentara, 20 sipil dan 59 warga asing. Sementara perkembangan menarik lain bahwa pada tanggal 27 Mei 2007 gerakan terorisme Ansar al- Sharia membubarkan diri di Lybia. Gonjang-ganjing, saling mencurigai di antara negara kawasan pun terjadi. Tanggal 29 juni 2017 lalu, bahkan Lybia melalui Jubir militernya Kolonel Ahmed al Mesmari menuduh negara Qatar, Sudan dan Turki mendukung terorisme.
Akibat identifikasi serangan dari berbagai kelompok itulah, pada Desember 2015, Arab Saudi memimpin koalisi anti teror yang terdiri dari 34 negara. Kebijakan politik luar negeri tersebut justru banyak menimbulkan pro dan kontra karena adanya tudingan ke negara-negara tertentu yang dianggap melindungi teŕorisme.
Daya Tarik Terorisme bagi Maghribi
Secara umum dari hasil kunjungan ke Aljazair dan Tunisia, dari komunikasi kepada aparat terkait di sana ada beberapa persoalan yang menyebabkan terorisme senantiasa berkembang. Di antara beberapa faktor krusial adalah persoalan ekonomi. Perkembangan ekonomi di Magribi secara umum mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya migrasi yang cukup masif ke berbagai negara tetangga khususnya Eropa.
Faktor yang tidak kalah pentingnya dari ekonomi adalah masifnya propaganda-propaganda ISIS. Akibatnya, untuk memperbaiki ekonomi ke depan ada propaganda yang sangat meyakinkan masyarakat untuk memilih lebih baik berangkat ke Suriah dan Iraq. Kalau Negara ISIS itu terbentuk, ada harapan mereka untuk menjadi pejabat pada pemerintahan ISIS. Mereka ingin menunjukan kepada Pimpinan ISIS bahwa mereka dapat dijadikan garda terdepan dalam menegakkan negara ISIS.
Faktor lain adalah solidaritas kelompok radiakalis Magribi di luar negeri khususnya di Eropa. Ketika terjadi penyerangan di suatu negara, maka jaringan yang sama akan mencoba melakukan serangan serupa.
Faktor yang paling menentukan dan mudah dimanfaatkan oleh kelompok radikalis adalah lemahnya pemerintahan di negara kawasan gurun terutama persoalan pengamanan perbatasan. Akibatnya, di perbatasan antara Aljazair, Mauritania, Mali dan Niger, banyak kelompok radikalis dan bandit-bandit bebas melakukan aksinya dengan senjata, narkoba dan imigran ilegal. Hal ini tentu saja menjadi PR besar bagi penanggulangan terorisme yang sudah bersifat global.
Karena itulah, ancaman terorisme di kawasan Maghribi tidak boleh dipandang sebelah mata. Kelompok radikalis yang telah ada seperti AQIM bisa saja memanfaatkan kisruh politik domestik dengan menggandeng kelompok separatis yang tidak sejalan dengan pemerintah di negara tersebut. Pola seperti di Irak dan Suriah di mana terjadi simbiosis mutualistik antara kepentingan kelompok radikal teroris dan separatis menjadi tantangan besar khususnya di negara-negara kawasan Magribi yang secara politik tidak stabil.